Kenapa Merasa Guilty Jika Memberikan Pleasure?

Sep 22, 2021

Tidak bisa dipungkiri dulu hingga sekarang, tolak ukur seseorang bisa disebut keren atau tidak itu selalu mengarah kepada selera. Entah membicarakan tentang selera berpakaian hingga selera musik.

Oke, saya paham jika berbicara mengenai hal-hal keren itu sama saja dengan berbicara mengenai sesuatu yang relatif dan subjektif. Tapi pernah nggak sih kalian seperti me-look-up seseorang yang keren, namun ia melakukan hal yang menurut kalian nggak keren banget? Seperti menyukai sesuatu yang menurut orang lain itu tidak biasa bahkan aneh. Dan hal tersebut adalah hal yang biasa orang sembunyikan dari orang lain. Atau mungkin kalian sendiri yang melakukan hal itu?

Yep, jika kalian sendiri pernah mengalami hal itu, mungkin kalian juga pernah merasakan guilty pleasure. Menurut definisi yang saya temukan melalui laman internet, guilty pleasure ialah rasa senang atau kepuasan atas sesuatu seperti film, program televisi, maupun musik, meskipun ia sendiri memahami bahwa hal yang disenangi itu dianggap kurang umum atau tidak biasa. Berbicara mengenai guilty pleasure, kebanyakan orang juga biasanya berusaha untuk menutupi hal tersebut dan tidak menginginkan seorang pun untuk tahu.  Kalau dari definisi yang saya baca tersebut, lingkup dari guilty pleasure ini bisa bermacam-macam. Tapi kali ini saya akan membahas dalam lingkup musik.

Guilty pleasure ialah rasa senang atau kepuasan atas sesuatu  meskipun hal yang disenangi itu dianggap kurang umum atau tidak biasa

Kenapa ada yang dinamakan guilty pleasure?

Sebetulnya pertanyaan di atas itu bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Se-simple gini, ada orang yang dikenal sebagai orang yang menyukai musik rock, metal dan sub-kultur oleh orang sekitarnya, misalkan ia merupakan pendengar dari salah satu band metal ternama Indonesia, DeadSquad atau Jasad. Namun, dia tidak mau impresi orang lain mengenai dirinya luntur karena dia mendengarkan musik yang sekiranya pelan seperti Rafika Duri atau musik-musik lainnya yang tidak metal banget. Maka dari itu, sebisa mungkin orang tersebut menyembunyikan kebiasaan yang dia anggap orang lain tidak boleh untuk tahu. Tapi apakah hal seperti itu salah? Ya, sebetulnya nggak salah juga sih, tapi kalo caranya begitu hal tersebut akan terasa seperti “pretensius” gak sih? Seperti dia menolak sebagian kecil yang hadir dalam dirinya sendiri.

Guilty Pleasure dalam kehidupan sehari-hari

Sejujurnya, berbicara guilty pleasure ini juga pernah saya alami sendiri juga sih. Yakni ketika saya sedang getol-getolnya mendengarkan musik so-called indie, rasanya haram banget tuh ketika ada teman yang tahu jika saya masih suka mendengarkan musik-musik seperti Wali, ST-12, terlebih lagi Armada dengan tembangnya yang berjudul “Pergi Pulang Pagi” yang sampai sekarang masih saya putar dalam rotasi playlist. Begitupun ketika saya melihat ada salah satu teman yang mendengarkan musik yang tidak sesuai dengan tren musik yang ada pada saat itu, ingin rasanya kita mengolok-olok selera musik teman kita tersebut.

Beberapa kali saya amati juga, terkadang fenomena ini tidak hanya terjadi pada tren yang tidak biasa atau umum. Kita bisa ambil contoh pada salah satu musisi Tanah Air yang beberapa waktu lalu sedang trend, yaitu Pamungkas. Saat itu salah satu lagu Pamungkas yang berjudul “To The Bone” yang bisa dibilang menjadi heavy rotation, hampir selalu terputar di segala tempat yang memiliki fasilitas pemutar audio seperti café, minimarket, dan berbagai tempat lainnya. Namun dalam waktu singkat, lagu tersebut menjadi bulan-bulanan para netizen pada linimasa media sosial.

Seperti “pretensius” gak sih? Dengan menolak sebagian kecil yang hadir dalam dirinya sendiri

Menurut analisa abal-abal saya, bulan-bulanan itu terjadi karena orang-orang mulai bosan dengan lagu tersebut yang diputar secara terus menerus, yang sebetulnya menurut saya itu bukan masalah kalau memang sesuai dengan selera pendengarnya. Sampai-sampai pada suatu saat ada salah satu foto bermuatan candaan di media sosial dengan latar yang sepertinya di dalam sebuah indekos, yang kurang lebih mengisyaratkan bahwa penghuni indekos tersebut dilarang memutar lagi lagu “To The Bone”. Bayangkan bagaimana jika hal itu memang dilarang, dan bagaimana rasanya jika ada seorang penghuni yang memang suka terhadap lagu tersebut namun dilarang untuk mendengarkannya. Lantas dia akan mendengarkan lagu tersebut secara diam-diam, agar orang lain tidak mengetahui hal tersebut.

Ada momen ketika salah satu personel grup musik .Feast pada saat itu beropini bahwa musiknya-lah yang paling keras, dan tak memakan waktu lama baginya untuk menuai tanggapan negatif dari seluruh teman-teman penyuka musik metal seluruh Indonesia. Setelah itu, beberapa teman saya yang menyukai band .Feast juga secara sembunyi-sembunyi mendengarkan lagu dari grup tersebut, memaksa diri mereka untuk menjadikan apa yang mereka suka sebelumnya menjadi sebuah guilty pleasure, yang sebetulnya tidak masalah juga sih kalo memang masih menyukai musik tersebut, toh musik juga tentang preferensi.

Bahkan seorang teman rela menghapus history search dari platform musik seperti Spotify agar orang lain tidak mengetahui apa yang telah ia dengarkan. Padahal terkadang hal yang guilty pleasure buat kita bisa saja menjadi pleasure untuk orang lain.

Sebetulnya tidak masalah juga sih kalo memang masih menyukai musik tersebut, toh musik juga tentang preferensi.

Berkaca pada diri sendiri atau mungkin beberapa orang lain, stigma mengenai guilty pleasure di sini pasti seperti memiliki kaitannya tersendiri dengan musik pop melayu 2000-an. Pada saat terlaksananya Synchronize Fest 2019, seakan-akan perasaan guilty pleasure yang saya atau bahkan orang lain miliki merasa diberikan tempat untuk membuka diri selebar-lebarnya. Line up yang ditawarkan dimulai dari Andika vokalis Ex-Kangen Band, Charlie Van Houten ST-12, hingga Ian Kasela dari Radja. Saya yang saat itu berada dalam kerumunan juga merasakan ambience dari penonton, sejauh mata memandang saya melihat semua orang ikut bernyanyi juga, ceritanya sampai situ saja hehe.

Apakah Guilty Pleasure itu salah?

Menurut saya enggak juga sih. Meski kita tahu pada saat ini banyak orang menganggap bahwa guilty pleasure itu hal yang tabu untuk diketahui banyak orang, tapi balik lagi seperti yang sudah saya bilang sebelumnya. Penolakan besar-besaran mengenai sesuatu yang kita nyaman atau kita suka untuk lakukan itu terkesan agak “pretensius” dan seolah-olah tidak menerima bagian dari dirinya sendiri.

Teringat ada salah seorang musisi yang berkata, “Bukan kita yang memilih musik, melainkan musik yang memilih kita”. Mengacu pada perkataan tersebut, bayangkan jika ada sebuah musik yangtelah memilih untuk disukai oleh kita dan terasa sangat cocok dengarkan, namun kita tidak mau menerima hal tersebutakibat komentar seseorang.

Seorang teman rela menghapus history search dari platform musik agar orang lain tidak mengetahui apa yang ia dengarkan

Saat kecil, ketika kita membeli sesuatu yang entah itu baju, sepatu, atau hal lainnya, pertanyaan yang orang tua kita seringlontarkan adalah “Enak enggak dipakainya?” atau “Suka enggak sama modelnya?”. Ketika kita sudah merasa suka dan nyaman mengenakannya, kita akan selalu mengiyakan tanpa peduli apakah hal itu diterima oleh orang lain atau tidak.

Hidup terasa simple pada masa itu, tapi mengapa sekarang tidak? Apakah karena kita terlalu peduli terhadap omongan orang? Percuma kita menggembar-gemborkan konsep self acceptance dan berdamai dengan diri sendiri kalau dengerin lagu yang notabene-nya guilty pleasure masih malu-malu. Setel lagu sesuka anda yang sekiranya membuat anda nyaman tanpa pedulikan omongan orang lain, karena sebetulnya yang membuat hal itu menjadi guilty pleasure adalah orang lain bukan diri anda sendiri.  

 


Penulis: Novaldi Surya
Mahasiswa UPN Jakarta jurusan Ilmu Politik yang saat ini sedang belajar di jurusan ilmu politik, dan paruh waktu sebagai mitra perusahaan start-up dalam bidang distribusi logistik dan sumber daya manusia. Alias driver Gojek. IG: @novaldisurya

 

 

Penulis
Pop Hari Ini

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Dimas Pradipta Sum It! Studio: Cita-cita Masa Kecil Arsitek, Besar Jadi Arsitek Suara

Di kalangan pendengar, sosok Dimas Pradipta mungkin tidak familiar. Namun jika melihat keterangan kredit lagu-lagu populer, namanya banyak tersemat di layanan streaming musik.  Melihat unggahan Instagram Sum It! Studio miliknya, Dimas yang terlibat dalam …

Ramalan 9 Musisi Indonesia yang Bersinar di 2025

Kami menerbitkan artikel ramalan musisi sejak awal 2022 sebagai bentuk harapan bahwa dengan menghasilkan karya yang bagus musisi tersebut pantas untuk mendapatkan apresiasi yang lebih di industri musik. Dari memilih 10 nama, semenjak 2023 …