Pemilu 2019: Kenapa Seniman Harus Netral?
“Seniman sejatinya di tengah”
Itu kata seseorang yang mengirimkan pesan buat saya di Instagram. Saya tak membalas kembali pesan orang itu. Saya seringkali malas berdebat di media sosial. Buat saya, perdebatan di media sosial tak ada manfaatnya. Orang-orang cenderung sudah punya pendapatnya sendiri dan tak akan mau terbuka juga kalau dikasih pendapat lain. Kalau ada yang bilang, netizen harus diluruskan supaya tercerahkan atau terdidik, ah saya tak peduli. Saya tak merasa punya kewajiban mendidik orang yang tak saya kenal. Lagian, belum tentu juga mereka terdidik dengan penjelasan saya. Yang wajib saya didik ya cuma anak-anak saya. Kan, saya bukan guru atau dosen. Hehe.
Nah, kalaupun ada yang mau saya ungkapkan, mending saya bikin tulisan yang agak lebih panjang dari sekadar reply di Twitter atau Instagram. Jadi, tak perlu berdebat. Orang tinggal baca, syukur-syukur sependapat. Kalaupun tak sependapat, ya tak apa-apa. Yang penting, saya tak perlu melayani atau membaca komentar orang-orang. Kan saya juga seperti netizen pada umumnya: sudah punya pendapat dan tak mau mendengarkan pendapat lain. Haha.
Ah, sungguh bertele-tele tulisan saya. Padahal, tadi kan mau ngomongin soal keberpihakan seniman di dunia politik.
Saya menganggap sah-sah saja seniman berpihak. Seniman tak harus selalu netral. Lagipula, Netral saja sudah tak netral, tapi sekarang jadi NTRL (Maafkan lawakan standar ini). Yang seharusnya tak berpihak, ya media massa, karena media massa tugasnya memberi informasi kepada masyarakat. Ini pun, kalau diteliti sebenarnya nyaris ditemukan media massa yang tak berpihak. Ada yang terang-terangan menunjukan keberpihakan. Ada yang seakan-akan tak berpihak, tapi sebenarnya malu-malu kucing menunjukan dukungannya.
Seniman bukan media massa. Seniman bukan yang bertugas menyampaikan informasi atau kebenaran. Seniman ya orang yang berkesenian, alias menghasilkan karya seni. Sebuah karya seni yang bagus biasanya datang dari hati. Umumnya kita mengharapkan seniman berkarya dari hati. Dan biasanya, semakin keren itu seniman, dia melakukan sesuatu bukan karena omongan orang, alias tak diatur-atur.
Lantas, kenapa kalau pilihan politik, kita cenderung ingin mengatur seniman?
Siapa tau, memang yang mereka lakukan itu datang dari hati. Tak semuanya yang gencar koar-koar di media sosial memberi dukungan itu adalah buzzer yang dibayar timses. Kalau sudah datang dari hati, siapa kita mau mengatur kata hati orang lain? Banyak orang menuduh Pandji, ketika jadi juru bicara buat Anies Baswedan, mendapat bayaran sejumlah uang yang sangat besar. Maklum, yang dilakukan Pandji seperti menghancurkan yang telah dia bangun bertahun-tahun. Ya Anda paham maksud saya lah. Nasionalis seperti Pandji sepertinya cukup mengagetkan mau kompromi dan merapat ke sisi yang sepertinya jaman dulu termasuk yang dikritisi Pandji.
Saya beberapa kali menanyakan soal ini dan jawaban dia selalu sama: dia tak mendapat uang sepeser pun. Pada akhirnya, alasan Pandji yang selalu konsisten adalah: bahwa dia cinta Anies. Argumen soal menjembatani atau ngobrol dengan orang yang berseberangan sih masih bisa diperdebatkan. Tapi, soal cinta Anies, itu sudah susah diperdebatkan. Pandji bilang bahwa dia tak ingin jadi teman yang meninggalkan Anies di saat dibutuhkan. Itu salah satu alasan yang sering diucapkan Pandji, bahwa ketika baru maju pencalonan, teman-teman Anies meninggalkannya, dan Pandji tak ingin jadi teman yang seperti itu.
Yah intinya mah, cinta. Orang kalau sudah cinta, tak bisa diberi argumen apapun sama orang lain. Kita pasti punya pengalaman lah, melihat teman yang cinta mati pasangannya, padahal menurut pendapat kita, si pasangan itu tak layak diperjuangkan. Hehe.
Lalu Slank. Meskipun mereka punya slogan “Berdiri di atas semua golongan,” dan kemudian melanggarnya dengan menyatakan terang-terangan dukungannya pada Jokowi. Motivasi mereka, ya kurang lebih sama dengan yang Pandji lakukan: bentuk kecintaan pada sosok yang didukung dan dipercaya. Slank sudah menjalin pertemanan sejak Jokowi masih jadi walikota Solo. Sama seperti Pandji yang sudah menjalin hubungan sejak Anies belum jadi calon gubernur.
Ahmad Dhani juga. Sebagian dari kita mungkin merasa sikap Ahmad Dhani belakangan ini agak susah dimengerti. Tak suka petahana. Padahal, ya itu mungkin karena dia cinta Prabowo dan merasa kinerja Jokowi tak bagus sehingga harus diganti. Buat yang lupa, Ahmad Dhani pernah mengeluarkan album “Ideologi Sikap Otak” yang bagus bersama Ahmad Band dan menyanyikan lagu-lagu yang sarat kritik sosial. Salah satu hitsnya adalah “Distorsi” yang berteriak-teriak meluapkan emosi pada koruptor, dan anak muda yang setiap hari mabuk tapi selalu ngoceh politik.
Sebenarnya, kalau mau jujur pada diri sendiri, alasan kita tak setuju pada seniman yang berpihak, itu sebagian besar karena pilihan politik yang tak sama. Buat pecinta Anies, keputusan Pandji adalah bagus. Buat pecinta Jokowi, Slank dimaklumi. Buat pecinta Prabowo, Ahmad Dhani harus didukung.
Kalau mau mengomentari seniman yang berpihak, sebetulnya bisa kita kembalikan pada kesenimanan mereka. Karya apa yang dihasilkan oleh mereka untuk mendukung keberpihakannya itu? Pandji tak membuat lagu rap atau stand-up special show yang isinya kampanye buat Anies, tapi dia menulis artikel opini di situs pribadinya. Ya komentari lah tulisannya. Apakah argumennya kuat? Apakah tulisannya bagus? Atau, komentari, kok tak mengeluarkan lelucon yang bisa mendukung kampanye Anies? Ahmad Dhani membuat “Lagu Prabowo Sandi”, Slank membuat lagu “Bareng Jokowi.” Kalau mau komentari, lebih adil mengomentari lagu mereka yang dibuat sama-sama untuk menarik rakyat awam sehingga secara musik bersentuhan dengan nuansa dangdut padahal dua nama itu bukan berasal dari skena dangdut. Jadi, siapapun nanti yang menang, maka dangdut lah juaranya, dan benarlah kata Project Pop, “Dangdut is the music of my country.” Artinya, mau Cebong atau Kampret, sebenarnya sama-sama dianggap bakal menyukai hal yang sama: dangdut.
Nah, mungkin situs ini perlu bersentuhan dengan nuansa dangdut juga supaya lebih banyak yang membaca. Pop Hari Ini, tapi Dangdut juga Tak Apa.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …