Kompilasi Tribute to Mocca: Kado Dua Puluh Tahun Hingga Jadi Legenda

Nov 28, 2019

Dua dekade ke belakang, Arina, Riko, Indra, dan Toma nampaknya tak pernah membayangkan kalau apa yang mereka mulai pada 1999 akan bertahan hingga hari ini. Pada prosesnya, membawa empat kepala berbeda tetap ada di satu rumah yang sama juga tentu tak adem-adem saja. Kita semua tahu kalau unit musik Mocca yang mereka rintis lewat persahabatan di kampus sempat menggelar konser perpisahan pada 2011. Belum kebosanan dan cerita lain di luar sorot lampu yang mungkin tak semua orang tahu.

Dua puluh tahun memang usia yang bisa dibilang matang. Di fase ini, manusia mulai hidup dengan proyeksi. Begitu juga kiranya sebuah band. Dua puluh tahun bukanlah usia yang lagi muda. Di dekade kedua rasanya hidup di persimpangan zaman mulai semakin terasa. Mau terjebak di kejayaan masa lalu atau mencoba banyak kemungkinan baru? Mocca nampaknya tegas memilih nomor dua.

Setidaknya itu yang saya pikirkan saat Mocca merilis sebuah album kompilasi. Mengajak band/musisi yang sedang hangat di kancah, kompilasi bertajuk You and Me Against The World: A Tribute to Mocca ini menyajikan sejumlah lagu Mocca yang diinterpretasikan ulang oleh mereka yang terlibat.

Secara umum, sebetulnya musisi yang ikut andil dalam kompilasi besutan Lucky Me Music bersama Berita Angkasa, UNKL, dan ALS Studio ini banyak bermain di ranah aman. Meski ada juga yang berani bereksperimen lebih sehingga menghasilkan lagu yang agak berbeda, hampir separuhnya tetap bermain dengan template a la Mocca. Tapi sejujurnya ini tak membuat hambar, karena ternyata personel Mocca piawai mencari siapa saja yang dirasa tepat.

Meski ada juga yang berani bereksperimen lebih sehingga menghasilkan lagu yang agak berbeda, hampir separuhnya tetap bermain dengan template a la Mocca

Setahu saya, masing-masing personel Mocca memilih dua jagoannya untuk disertakan di album ini. Arina misalnya memilih Asteriska dan Nona Ria, Riko mendapuk The Panturas dan Sky Sucahyo, Toma dengan Coldiac dan Mardial, serta Indra yang mendelegasikan solois Bilal Indrajaya dan unit folk Mustache and Beard. Sementara satu trek lagi dipersilakan untuk “diacak-acak” oleh Swinging Friends yang tergabung dalam Kelas Mocca. Bayangkan bagaimana meriahnya.

Tak heran kalau kemudian kompilasi ini tetap jadi sajian yang banyak warna dan kaya rasa. Menembus banyak segmentasi atas nama Pop serupa pesta keluarga di belakang rumah yang mana hiburannya adalah penampilan dari anggota keluarga itu sendiri.

Pembukaan yang khusyuk serupa syukur misalnya tersaji dalam “On the Night Light This” oleh Coldiac yang kemudian dihantam oleh ajakan berkumpul dalam dansa sederhana yang dipandu Asteriska dengan “My Only One”. Musik Pop yang mengalun pun berdinamika, dari yang megah seperti ketika Bilal Indrajaya membawakan “The Object of My Affection” dengan wibawa, syahdunya “Ketika Semua Telah Berakhir” oleh Mustache and Beard, atau kesederhanaan Sky Suchayo pada trek klasik “Secret Admirer”.

Imaji pesta keluarga semakin lekat dengan “Do What You Wanna Do” yang dibuat ramai oleh Kelas Mocca hingga minimalisnya “Teman Sejati” di tangan trio NonaRia. Ya, meski ada saja anak muda bengal seperti The Panturas yang keukeuh mengajak rusuh dalam “You and Me Against The World” atau Mardial yang membawa bola disko ke arena saat “Lucky Man” dimainkan. Maka rasanya, semua tetap bisa berpesta bukan?

Tapi sejujurnya ini tak membuat hambar, karena ternyata personel Mocca piawai mencari siapa saja yang dirasa tepat.

Eksperimentasi Mocca memang bukan kali ini saja. Selain diberkahi talenta, Mocca piawai membaca momen. Di tengah masifnya musik pop alternatif di TV, Mocca berani ambil langkah swing pop manis yang ternyata bisa mencuri dua pasar sekaligus: arus pinggir dan utama. Tak heran kalau kemudian sejak awal kemunculannya, kuartet ini langsung menarik perhatian. Dan semuanya tak pernah berhenti sampai di situ.

Mocca menjadi lebih dari sekadar pembawa lagu. Bagi beberapa orang, karya-karya Mocca adalah trek latar masa muda. Tak heran kalau kemudian kerap diwariskan. Dari generasi yang mendengarkannya sejak 2002 hingga kemudian menjadi orang tua. Melahirkan generasi baru yang diperdengarkan lagi lagu Mocca, hingga kini, sampai entah kapan lagi. Dan rasanya kini Mocca sadar akan hal itu!

Maka tak heran kalau kemudian band ini selalu memperpanjang nafasnya. Bukan hanya lewat You and Me Against the World ya, tapi juga lewat kolaborasi dengan Ardhito Pramono misalnya, Indrakustik yang membawa lagu Mocca ke njelimetnya permainan enam senar klasik, atau album kolaborasi dengan Aldin, putra dari sang drummer.

Mocca ada di mana-mana.

Begitu pun akrabnya pertemanan mereka dengan fans yang mewujud wadah Swinging Friends. Arina sempat ke Amerika? Oh tentu Mocca tak tumbang juga. Karena muncul kemudian kelas Mocca, sebuah proyek tribut rutinan dari fans-fans Mocca yang berkumpul dengan alat musiknya sambil membawakan lagu-lagu Mocca di taman. Ya, sebegitunya memang.

Lalu You and Me Against The World? Ini adalah penegas!

Sebetulnya proyek serupa juga sudah dilakukan oleh band-band yang lebih dulu ada. Ekspresi fans Koil misalnya, pernah terwadahi dalam kompilasi Kami Peracaya Kau Pun Terbakar Juga (2009). Themilo pernah dibuat versi remix-nya dalam Interpretation: Themilo Remixes pada 2007, sementara Naif, mahsyur dengan proyek kompilasi Mesin Waktu: Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif (2007).

Ini adalah sebuah konsep yang dibangun menjadi kepanjangan jembatan generasi yang sudah mulai terbentang sejak Swinging Friends, Kelas Mocca, Indrakustik, Aldin, dan Ardhito Pramono tadi

You and Me Against The World pun boleh jadi bakal punya jejak yang sama. Tapi rasa-rasanya dengan zaman yang sudah semakin berbeda, kompilasi ini kok kayaknya lebih dari sekadar sebuah perayaan ulang tahun ya. Ini adalah sebuah konsep yang dibangun menjadi kepanjangan jembatan generasi yang sudah mulai terbentang sejak Swinging Friends, Kelas Mocca, Indrakustik, Aldin, dan Ardhito Pramono tadi. Jembatan yang menjadi sarana generasi lama mengenal kebaruan dan sebaliknya menjadi sebuah ziarah bagi mereka yang mengenal Mocca belum lama. Dan titiannya nampaknya akan semakin panjang ke depan.

Dengan sejumlah pandangan tersebut, saya akui kalau Mocca memang piawai merangkul banyak hal dan tak main-main untuk jadi legenda . Kita ketahui bersama, banyak band yang dulu besar namun tak bisa bertahan lama karena ketidakmampuan membaca zaman. Sementara Mocca, di samping kuatnya karakter, mereka seolah tak pernah mau terjebak di satu kotak saja. Sejak lama Mocca membuktikan: Kalau mereka bukan hanya milik kami, tapi kita semua.

 

____

Penulis
Irfan Popish
Irfan Muhammad adalah jurnalis asal Bandung yang gemar musik. Sejak tiga tahun terakhir dia bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

Eksplor konten lain Pophariini

5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR

Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …