LAIR – Ngelar
Album kedua LAIR, Ngelar, membuat saya bertanya-tanya mungkinkah Barasuara melakukan cultural appropriation? Itu yang ada di benak saat menyimak album kedua mereka yang direkam dengan bantuan produser Jepang, Go Kurasawa (drummer sekaligus vokalis band psikedelik, Kikagaku Moyo) serta penyanyi/penulis lagu Monica Hapsari yang ikut menulis dan menyusun tiga lagu dalam album.
Culture appropriation sendiri adalah lawan kata culture appreciation. Diartikan kurang lebih sebagai “perampasan budaya” yang kerap terjadi di dalam budaya populer. Kira-kira seperti yang dilakukan oleh Khruangbin -ini masih jadi perdebatan umum- ketika mengambil unsur-unsur musik Asia dan Timur Tengah dan menjadikannnya hanya sebatas estetika musik mereka semata.
Album kedua LAIR, Ngelar, membuat saya bertanya-tanya mungkinkah Barasuara melakukan cultural appropriation?
Dalam kasus ini kesamaan LAIR dengan Barasuara adalah penggunaan notasi pentatonik bernuansa Timur Tengah dan Asia Tenggara dalam musiknya. Bedanya, Barasuara berasal dari kota Jakarta, dan LAIR murni tulen berasal dari Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
Personil LAIR juga sehari-harinya dikelilingi musik Tarling khas Jawa Barat. Mereka juga terlibat dalam tradisi obrog-obrog, musik ‘alarm’ sahur yang biasa dilakukan selama bulan Ramadan di Jatiwangi, Majalengka. Semua itu menjadi faktor kuat pembentuk musiknya. Ditambah mereka juga memiliki latar belakang dari kolektif seni rupa kontemporer, Jatiwangi Art Factory (JAF) yang membuat kemasan LAIR menjadi lebih menarik.
Secara historis dan geografis, LAIR lebih bisa mempertanggungjawabkan penggunaan nada pentatonik mereka yang sudah tercampur aduk dengan pengaruh nada-nada Timur Tengah maupun Asia dalam notasi khas Jawa Barat ini. Ditambah penggunaan alat musik utama gitar elektrik dan bass elektrik yang menggunakan bahan genteng dan seruling tanah liat serta tambur (gentong) dari genteng yang berfungsi perkusif. Semua itu karena mereka murni berasal dari daerah Jatiwangi, penghasil materi tanah liat terbesar di Asia Tenggara.
Secara historis dan geografis, LAIR lebih bisa mempertanggungjawabkan penggunaan nada pentatonik yang sudah tercampur aduk dengan pengaruh nada-nada Timur Tengah maupun Asia dalam notasi khas Jawa Barat ini
Menilik album Ngelar, agaknya tur 20 titik ke luar negeri pada 2022 lalu, ditambah kehadiran Monica Hapsari jadi faktor utama pembeda album kedua mereka ini. Banyak lagu dibiarkan mengalir dominan instrumental dengan imbuhan chanting tipis. Tidak seperti di album sebelumnya, yang didominasi oleh vokal pria dan perempuan yang bernyanyi pecah suara dan bernyanyi notasi nada Timur Tengah dan Asia. Bagi kuping awam hal ini tentu terdengar dan mengingatkan seperti apa yang sudah dilakukan oleh Barasuara.
Namun dalam Ngelar hal ini sudah jauh berbeda. Dominasi musik instrumental ini menambahkan nuansa psikedelik lagu-lagu dalam Ngelar. Dengan struktur lagu mengalir berputar-putar di satu kord saja menambah unsur rasa trippy dan memabukan. Penggunaan efek gitar distorsi/fuzz dalam palet audio yang ditaruh di depan dan dominan pun menambah unsur memabukkan dan keliaran.
Seperti dalam “Tetalu” lagu pembuka dengan lick gitar elektrik kesetanan yang mampu membuat badan goyang lepas kendali. Juga pada “Pesta Rakyat Pabrik Gula” dan “Hareeng” yang bertempo lambat dengan nyanyian chanting yang terasa mistis. Intro “Boa-Boa” yang mengingatkan pada lagu “Taxman” nya The Beatles di era psikedelik mereka juga bisa terdengar menarik ketika temponya mencepat.
Dengan struktur lagu mengalir berputar-putar di satu kord saja menambah unsur rasa trippy dan memabukan. Penggunaan efek gitar distorsi/fuzz dalam palet audio yang ditaruh di depan dan dominan pun menambah unsur memabukan dan keliaran
Kehadiran vokal Monica Hapsari dalam tiga lagu juga memberikan sentuhan baru yang vital dalam eksplorasi musik LAIR, Ngelar. Ekspresi vokalnya bisa terdengar mistis sekaligus liar seperti dalam “Bangkai Belantara” dan, “Kawin Tebu”, juga menggelora dalam “Setan Dolbon”. Yang terakhir ini favorit saya. Berkisah tentang kejadian mistis melibatkan feses yang terjadi di desa Jatiwangi. Album ditutup dengan “Lagu Pemecah Malam” yang instrumental dan “Mencari Selamat” yang bertempo cepat dengan liukan riff gitar dominan memainkan notasi nada comotan sana-sini, dari Asia hingga Timur Tengah.
Kembali soal cultural appropriation, di era sekarang tentu yang Barasuara ataupun Khruangbin lakukan tidak salah. Saya justru penasaran jika semua musisi dari penjuru Indonesia bereksperimen memadukan musik populer dengan musik daerah mereka sendiri. Seperti yang dilakukan LIAR juga yang tengah diperbincangkan, Lorjhu dengan rock Madura nya. Melengkapi musik-musik eksperimental yang telah diusung oleh Modus Gaber Operandi, Senyawa, Kuntari dkk yang telah melalang buana. Dari situ kemungkinannya tidak terbatas. Mungkin akan ada kelahiran senarai khusus untuk musik Indonesia dalam DSP.
Senarai Nusantara Groove, mungkin?
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …
I’m Kidding Asal Aceh Tetap Semangat Berkarya di Tengah Keterbatasan
Setelah merilis 2 single bulan Juni lalu, band pop punk asal Aceh, I’m Kidding akhirnya resmi meluncurkan album penuh perdana mereka dalam tajuk Awal dan Baru hari Minggu (10/11). I’m Kidding terbentuk …