Larung – insom

Jun 2, 2023

Jurnalis musik itu ibarat Indiana Jones, selalu bertualang dengan hal-hal yang mengasyikkan. Dalam kasus musik, melihat penampilan talenta-talenta yang belum pernah didengar menjadi pengalaman yang berharga. Sama halnya ketika jurnalis musik menemukan album yang keren yang belum banyak didengar khalayak ramai. Sebuah harta karun yang rasanya harus diberitakan kepada semua orang ketimbang disimpan sendiri. Dalam kasus ini, harta karun ini adalah Larung dengan album insom-nya.

Larung dan album insom adalah harta karun yang lahir dari kota Tangerang. Saya menemukannya dari program Irama Kotak Suara. Lagu “Berenang” adalah awal perkenalan saya dengan mereka. Sebuah komposisi akustik, mendekati folk-hippie yang direkam live. Ada suara vokal perempuan di sana, trumpet dan celo di sini semua berotasi dalam lingkaran blues yang diaransemen sedemikian rupa. Gaya loosen-up, bernyanyi santai, saya tebak rekaman ini dilakukan tengah malam, atau di jam-jam kasual namun dengan mengonsumsi sesuatu, sesi rekaman ini bisa terdengar begitu hidup.

Jatuh cinta pada pendengaran pertama, saya berpikir dengan mendengar “Berenang”, Larung adalah sejenis penyembah Fairport Convention, Mothers of Inventions (di album Freak Out!) namun di satu sisi ada warna Grateful Dead era country dengan sedikit aroma Potlot yang menyeret-nyeret di sana.

Namun saya kegocek.

Anak-anak Tangerang yang dinahkodai oleh Joshua pada gitar dan vokal sekaligus penulis lirik ternyata adalah sebuah band rock yang bising yang dicirikan dari suara-suara distorsi dari amplifier yang emosional. Hal ini tergambar jelas di debut album mereka, insom yang tersedia di digital juga di cakram padat.

Jika kalian mendengarkan “Penebusan”, anda akan tertipu dengan aransemen akustik sepanjang 40 menit lebih yang menyiratkan bahwa ini akan menjadi sebuah balada di waktu senja, namun menginjak menit ke 45, lagu ini berubah menjadi sebuah ‘Seattle Rock’ dengan ledakan yang dahsyat.

ledakan-ledakan power rock ini juga tergambar di lagu-lagu selanjutnya. “Matser”, “nekabluri”, “calonarang” ,”lakuna”,”Surga”, “Elif” dan lagu-lagu lainnya sampai akhir menjadi oase saya kira bakal menjadi oase bagi para headbangers yang haus akan musik-musik rock berdistorsif yang membuat rambut gondong mereka bergoyang-goyang.

Meski demikian, Larung tak selurus dan tak senaif band-band yang ingin menjadi seperti idolanya dengan membuat musik yang sama. Dalam perjalanan satu jam mendengarkan album insom, saya justru menemukan banyak liukan spektakuler yang membuat mereka justru terdengar lebih menarik dan berkarakter.

Nomor-nomor seperti “Sirkus” misalnya. Bagaimana tiupan-tiupan harmonika menjadikan lagu ini justru sebuah blues rock klasik ketimbang menjadi rock alternatif. Atau bagimana “Kasuari” bisa menghadirkan suasana funk yang atraktif, atau ketika filler macam “Residu” dimainkan, saya menemukan suasana khas sinematik yang menarik. Sama seperti mendengar “Murder Mistery”-nya Velvet Underground untuk pertama kalinya yang dalam kasus Larung punya dimensi yang berbeda. Dan ya, lagu terakhir “Berenang” yang punya balada yang gesrek, yang justru menurut cocok lahir dari anak-anak hippie tahun ’69.

Nyali mereka untuk mengajak Anda Perdana boleh diacungi jempol. Hasilnya “Bliss” adalah sebuah track sing-a-long, dengan distorsif yang tak terlalu mendominasi, namun cukup baik untuk didengar. Hanya sayangnya, kehadirkan Anda tak terlukiskan dengan baik di kanvas, mungkin hanya gitar akustik, atau nyaris hanya humming (jika itu adalah Anda?).

Hal lain yang menarik perhatian saya akan Larung adalah sound drumnya yang gak kaleng-kaleng.  Saya jadi ingat sound yang serupa yang diberikan Komunal di album Gemuruh Musik Pertiwi. Setelah album ini saya tak pernah mendengar lagi sound drum yang berkarakter tebal dan seganas ini. Di Larung, saya kembali menemukannya. Ini membuktikan bahwa rekaman ini memang digarap dengan serius.

Pada akhirnya, dengan segala macam kebisingan dan agresivitas yang ditawarkan Larung, album insom cukup diperhitungkan untuk didengar. Lebih sip lagi jika didengar lewat ekspresi langsung di atas panggung.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Olivia Diani
Olivia Diani
10 months ago

🔥🔥🔥

Eksplor konten lain Pophariini

Konser Sheila On 7 Tunggu Aku di Berlanjut ke 5 Kota di Indonesia

Awal April 2024, Antara Suara selaku promotor Sheila On 7 Tunggu Aku di Jakarta (TADJ) mengunggah video promosi pertama yang mengisyaratkan Adam, Duta, dan Eross akan melanjutkan konser tunggal mereka ke kota lain.   …

5 Kuliner Pilihan Nadhif Basalamah

Penyanyi solo Nadhif Basalamah yang makin dikenal lewat “penjaga hati” mengunjungi Mad Haus untuk mempromosikan single “tiba-tiba jum’at lagi” bulan Februari lalu yang tayang dalam video Bertemuhariini.    Berbicara soal menyanyikan lagu bernuansa pop …