Makassar Bukan Lagi Hanya Sekadar Daerah
Apa yang melintas dalam kepala jika saya menyebutkan Makassar? Apakah makanan khas seperti Coto? Konro? Palubasa? Minyak Tawon? Badik? (kedengaran antik? Haha) Atau Markisa, atau mungkin ada yang kepikiran Ballo’ a.k.a susu naga a.k.a bir hutan? Haha! Nama-nama tersebut tidak bisa dipungkiri sudah sangat melekat dengan nama Makassar yang (katanya sih) digadang-gadang menjadi kota dunia (entah yang mana).
Sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak atau bisa dikatakan tergeletak dekat dengan pantai yang membentang sepanjang koridor barat dan utara, Makassar, -menurut mereka yang mengenyam pendidikan tertentu-, juga bisa dikatakan sebagai “waterfront city” yang di dalamnya terdapat beberapa sungai. Apapun yang melekat dalam kepala kita soal kota Makassar, semoga bukan jargon “Makassar Bisa Tonji” (artinya Makassar bisa juga) yang menurut saya pribadi adalah slogan terburuk dan paling mengganggu yang pernah ‘disepakati’ bersama. Lebih baik yang melekat dalam kepala soal kota Makassar adalah dikejar becak mistis liar jika dibandingkan dengan slogan tersebut.
Lalu, apa lagi yang menarik dibahas soal Makassar? Dari sekian (kemungkinan) jawaban yang sudah berjejer, salah satu yang menarik dibahas adalah ekosistem musik yang dibangun dan terbangun karena jejaring pertemanan dan atau yang lebih luas lagi seperti bisnis misalnya. Selain itu ya musisi dan atau grup musik itu sendiri yang sekarang lagi giat-giatnya melahirkan musik dan melempar gimmick. Membahas musisi atau grup musik dari Makassar, nama-nama seperti TOD, Kapal Udara, Loka’, Frontxside, Is (Pusakata), dan Opa Fadli (Padi Reborn) tidak bisa dilewatkan. Nama-nama ini sudah bisa dibilang menjadi ‘representasi’ atau mungkin menjadi sebagian ‘identitas’ dari kota ini.
yang menarik dibahas soal Makassar adalah ekosistem musik yang dibangun dan terbangun karena jejaring pertemanan dan atau yang lebih luas lagi seperti bisnis misalnya
Untuk ekosistem musik, Makassar bukanlah kota yang kekurangan apresiasi. Kita hanya perlu pintar-pintar mencuri perhatian sebanyak-banyaknya, lalu memikat hati penikmat atau mereka yang penasaran yang sudah dibuat menoleh. Harus diakui mencari perhatian yang bermuara kepada apresiasi agak sulit, namun itu bukanlah hal yang mustahil. Kenapa demikian? Sini saya bisikin… gengsi orang Makassar tinggi sekali loh. Entah karena faktor budaya, kebiasaan, atau bisa jadi karena gengsi tinggi adalah jalan ninja. Meski begitu, tetap ada banyak metode yang bisa dilakukan untuk menciptakan apresiasi itu sendiri (walaupun hal ini terdengar sangat narsis haha). Cara gampangnya? Ya asik sendiri aja. Tapi, mau sampai kapan asik sendiri terus? Hehe.
Kita perlu sepakat dulu, jika berbicara soal musik, daerah atau kota itu hanya menjadi identitas daerah belaka. Adapun nama-nama baru yang mulai rutin beredar dan menebar gema di belantika musik ‘underground’ tipis-tipis di Indonesia adalah Beijing Connection, The Sugar Spun, dan Inis misalnya. “Loh?! Katanya underground?! Kenapa tidak cadas? Kenapa bukan yang berdistorsi?” Yaaa kenapa tidak? ‘underground’ kan tidak selalu merujuk kepada musik cadas, bising, dan sebagainya yang terkait, melainkan movement dari satu tongkrongan ke tongkrongan lain, tidak tertangkap radar di awal kemunculan, kemudian masuk dalam pemantauan ketika sudah cukup dikenal luas.
gengsi orang Makassar tinggi sekali loh. Entah karena faktor budaya, kebiasaan, atau bisa jadi karena gengsi tinggi adalah jalan ninja
Berbicara soal skena musik di Makassar, ada sosok yang menurut saya sangat pas mantap jiwa untuk diajak ngobrol. Dia adalah Juang Manyala, seseorang yang agak sulit untuk dideskripsikan sebagai apa. Intinya adalah Juang Manyala ini adalah salah satu orang yang berperan dan terlibat jika membahas soal skena musik di Makassar bersama dengan Prolog Studio dan Loka’. Juang melihat Makassar telah menjadi salah satu kota besar dengan dinamika kreatif yang tengah bergairah di dalamnya.
“Makassar sekarang menjadi kota besar yang musisi dan anak mudanya berkembang pesat cakrawala bermusiknya. Semua genre musik modern dan kontemporer ada di sini. Jauh lebih maju dari 10-15 tahun yang lalu. Ekosistemnya pun bergerak agresif. Media independen, festival, hingga kolaborasi lintas sektor Kreatif saling berkaitan erat dalam bekerja. Makassar telah sampai di fase kebebasannya berekspresi di jalur musik, semua musisi dan ekosistemnya tidak berhenti ekplorasi, dan yang paling utama adalah kita bekerja dengan cara kita sendiri.” Tuturnya. Meski sekarang Makassar adalah kota besar, nyatanya, masih banyak pula talenta-talenta yang lebih memilih untuk keluar dan berkarya.
Hal seperti ini adalah biasa, dan telah terjadi dari jauh-jauh hari dan membuat nama kota Makassar memiliki andil yang cukup besar dalam industri musik di Indonesia. Soal ini, Juang pun sadar dan mengungkapkan bahwa “Ini bukan hal baru, Makassar sudah lama berkontribusi di industri musik nasional. Era Meriam Mattalatta dan sebelumnya, hingga nama-nama seperti Once Dewa19, Abdee Slank, Fadli Padi, dan kini selalu datang kreator-kreator muda yang berkarakter dan berkarya dengan spirit independensinya.”. Lantas, bagaimana dengan mereka yang memilih atau ‘dikutuk’ untuk tetap berkarya di Kota Makassar?
Makassar sudah lama berkontribusi di industri musik nasional. Era Meriam Mattalatta dan sebelumnya, hingga nama-nama seperti Once Dewa19, Abdee Slank, hingga Fadli Padi
“Kolaborasi dengan musisi atau seniman lainnya di berbagai daerah dan berbagai negara bisa menjadi jembatan kuat untuk amplifikasi. Membuka diri untuk bekerjasama dengan siapapun, tidak terbatas wilayah. Besar kemungkinan untuk diapresiasi lebih luas. Dan Saya fikir tidak ada faktor seperti budaya lokal yang mempengaruhi. Ini hanya persoalan sadar untuk membuka peluang kerjasama. Justru budaya kita kan budaya solidaritas dan pekerja keras. Selama kita membuka diri, itu kunci koneksi.” Tambahnya.
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, batasan seperti di mana kita sekarang berada nampaknya bukan menjadi masalah serius untuk terus menciptakan karya. Walau begitu, yang harus kita (terlebih yang tinggal di Indonesia Timur) amini bahwa beberapa dari kita masih memiliki pandangan ‘Jakartasentris’ dan sebenarnya tidak masalah juga. “Itu sudah pasti, Industri pastinya Jakarta Sentris. Ya namanya ibu kota, Pusat. Capital Company, Media besar, hingga persoalan akses, pastinya Jakarta selalu lebih dominan. Tapi saya fikir itu bukan problem. Teknologi membuka posibility tinggi untuk akses segala hal yang mendorong kerja kerja lebih cepat dan peluang berpromosi massal untuk mencuri perhatian seluruh lapisan market. Kalau di Makassar positioningnya mudah, kuncinya nongkrong saja dengan komunitas. Kalau kedengaran di Tanah orang ya itu saja; produktif – kolaboratif – dan sadar teknologi dipake.” Tutup Juang. Harus diakui, nongkrong dan berjejaring adalah senjata ampuh bagi pelaku di industri musik di manapun.
yang harus kita (terlebih yang tinggal di Indonesia Timur) amini bahwa beberapa dari kita masih memiliki pandangan ‘Jakartasentris’ dan sebenarnya tidak masalah juga
Bicara soal berjejaring ada lagi sosok yang tidak kalah mantap jiwa. Dia adalah Gilang, personil dari The Sugar Spun yang kini mantap menciptakan gaung dari Bandung. “Saya melihat ekosistem musik Makassar sudah mulai terbentuk, setiap tahun pasti ada saja perkembangannya, dan sekarang sudah banyak wadah untuk menunjang itu semua, terlebih lagi dengan adanya tempat-tempat seperti Prolog studio, Resolusi, Siku terpadu, dan juga Pink mic yang selalu aktif memberi inovasi-inovasi dan ruang untuk para pegiat kreatif dan penikmatnya.
Selain itu, menurut saya Makassar adalah salah satu kota yang sangat ideal kok untuk memulai berkarya. Saya sendiri sih tidak pernah ada masalah soal bermusik di Kota Makassar mulai dari jaman saya masih SD sampai sekarang saya merantau. Selalu saja ada sesuatu yang membuat saya ingin aktif berkarya di sana. Cuman kendalanya pada saat kita mau membawa karya kita ke ranah yang lebih luas dan serius, masih sangat terasa gap antara pendengar dan pelaku kreatif (sotoy bet hehe ).” Ungkap Gilang saat saya bertanya soal apa yang Gilang lihat dari ekosistem musik di Makassar dan bagaimana ia menyikapi jika membahas Makassar sebagai tempat (yang ideal) untuk berkarya.
Berada di daerah berkembang atau maju, berjejaring dan nongkrong (dengan menerapkan prokes biar tidak anu) adalah kunci. Rangkul siapapun yang mau merangkul, jangkau mereka yang terus meracau. Jalin komunikasi. Dengan begitu batas-batas wilayah atau kedaerahan bukan lagi menjadi masalah yang serius. Hal terpenting dari semuanya adalah kesehatan. Ya, semoga kita semua senantiasa sehat selalu ya. Kalau kamu baca sampai di sini, sedang berencana atau lagi di Makassar , berkabar ya.
Penulis: Brandon Hilton
Rogue. Penulis musiman, musisi dadakan, pseudo-metropolitan. Individu (nyaris) merdeka yang menjaga kewarasan dengan berbagai macam geliat nafsu neraka. Selebihnya di IG: @brandonhiltoncavalera
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …
Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024
Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11). Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …