Melacak Denyut Musik Di Kota Malang Hari Ini
Berbicara mengenai geliat musik di kota Malang memang perlu tenaga yang ekstra serta ingatan yang tajam. Di sini, dari waktu ke waktu, musik terus hidup dan dihidupkan oleh kawan-kawan dari lintas tongkrongan, generasi dan bahkan warung kopi. Penyebaran serta pergerakan yang masif dan semakin luas menyebabkan melacak denyut musik di kota Malang secara keseluruhan agak mustahil untuk diceritakan dalam waktu singkat apalagi dengan hanya sekadar tulisan satu halaman saja.
Perlu saya tekankan terlebih dahulu jika tulisan ini hanyalah sebagai pengantar singkat bagi mereka yang mungkin ingin mengetahui kabar scene musik di kota Malang hari ini. Pasalnya, saya yakin masih banyak denyut musik di sudut luar sana yang belum masuk dalam radar penulis.
Sedikit perkenalan, saya cukup beruntung jika sampai detik ini diberi kesempatan untuk mengelola jaringan distribusi bernama Toko Rekam Jaya. Dari sini saya bisa belajar sekaligus berkenalan dengan banyak orang yang pernah atau sampai detik ini terus menghidupi scene di kota Malang. Termasuk juga generasi baru yang penuh gairah dan berapi-api untuk melanjutkan denyut musik di kota ini agar terus berdetak. Hal tersebut menyadarkan saya, meski dalam kondisi yang serba terbatas seperti sekarang, kota Malang selalu punya caranya sendiri untuk membuat musik terus menyalak.
Mari kita mulai dari buku berjudul Ritmekota. Narasi, menurut saya, sangatlah penting untuk sebuah kota dengan scene musik yang terus tumbuh berkembang secara dinamis seperti kota Malang dengan generasi yang terus datang silih-berganti. Sayangnya, untuk urusan dokumentasi dan arsip, kota Malang agak terlalu abai. Alhasil terlalu banyak kisah-kisah yang sampai detik ini hanya tersimpan di ingatan kolektif atau tercecer di banyak tempat perihal bagaimana arena musik, khususnya pada gelombang sidestream/indie/underground atau apapun itu kalian menyebutnya, bisa tumbuh sedemikian berkembang hingga detik ini di kota Malang.
Ritmekota adalah sebuah buku yang mencoba untuk menjawab keresahan akan minimnya sebuah narasi pada scene music di kota Malang. Diterbitkan oleh Pelangi Sastra pada tahun 2019, hingga detik ini Ritmekota menjadi salah satu buku yang selalu saya rekomendasikan untuk menjadi awalan bagi mereka yang ingin mengenal arena musik kota Malang.
Ritmekota merupakan buku kumpulan tulisan musik yang ditulis oleh 12 penulis yang pernah atau masih hidup juga menghidupi scene musik di kota Malang. Di buku ini, mulai dari zine maker, jurnalis musik, pegiat label rekaman, musisi hingga hanya sekadar seorang penikmat musik menuliskan beragam kisahnya selama bersinggungan dengan musik di kota Malang. Pembahasannya pun terbentang mulai dari tumbuh kembang scene alternatif, hardcore, emo, hip-hop, event organizer, public space, records label, hingga sekadar kisah nostalgia antara musik di kota Malang dengan penulisnya. Seru dan menyenangkan.
Boleh dibilang gelombang sidestream (atau yang dulu lebih dikenal dengan idiom underground) di kota Malang terbentuk beriringan dengan budaya fanzine. Sejak tahun 1994 hingga sekarang terbitan mandiri tersebut terus lahir untuk menjadi corong serta siar kabar perihal musik di kota Malang. Sadar atau tidak, berjalannya waktu, dokumen-dokumen itu kini menjadi harta karun untuk mengetahui narasi scene musik sidestream di kota Malang. Beruntung ada kawan-kawan yang rela menyisihkan tenaga serta waktu untuk bekerja menjaga narasi yang selama ini berjalan di ruang yang sunyi ini. Mulai dari Hang Out Is Good hingga kolektif-kolektif pada acara bertitel Malang Zine Fair. Kini Sebagian dokumen-dokumen itu bisa kalian akses di sudut perpustakaan yang dikelola secara swadaya di Rekam Jaya.
Hingga detik ini sejatinya semangat untuk menyusun narasi musik di kota Malang masih dijaga dan diteruskan oleh generasi-generasi baru. Salah satunya adalah Grave Dead, sebuah media musik lokal yang punya banyak program propaganda untuk mengabarkan setiap denyut pada arena musik cadas di kota Malang dengan melahirkan fanzine dalam bentuk cetak.
Pembahasan media musik memang selalu menjadi topik perbincangan hangat dan seru ketika menyinggung soal arena musik di kota Malang. Padahal jika mau menelusuri lebih dalam, media musik lokal selalu lahir dan beregenerasi di tengah hingar-bingar arena musik kota Malang. Sayangnya, selain faktor konsistensi, keberadaan media musik lokal ini kerap berjalan di jalur yang sunyi. Selain Grave Dead, faktanya saat ini masih banyak kawan-kawan yang masih berani membentuk media musik dengan beragam bentuk seperti Terpapar Musik, Niskala, IRL, Stone Heat hingga siar podcast yang memang punya porsi besar terhadap pembahasan musik lokal. Bahkan, Haum Entertainment yang notabenya dikenal sebagai label rekaman kini juga mengorganisir media musik. Jangan sungkan colek mereka!
Menyinggung sektor rilisan fisik, kota Malang juga memiliki kolektif bernama Malang Records Label yang diorganisir oleh sekumpulan pemilik label dan toko rekaman dengan agenda tahunan seperti Malang Records Store Day dan Malang Cassette Store Day. Adapula Records Street Day di mana pada setiap malam minggu para pelapak berkumpul untuk meniagakan rilisan di sekitaran Pasar Besar. Bagaimana jika anda bukan termasuk orang-orang yang gemar merayakan malam minggu dengan keluar rumah? Tenang, terdapat destinasi-destinasi jajanrock di kota Malang seperti Toko Rekam Jaya, Nadapita, Atim Music Store, Tono Boldi, Distortion Store, dan Higain Store yang siap memenuhi hasrat jajanrock-mu.
Rilisan fisik memang akan selalu memiliki tempat di arena musik kota Malang. Meski arus digital semakin mendominasi, tapi tak sedikit pelaku musik lama maupun baru dari lintas warna musik yang masih produktif dan tetap merilis karya mereka dalam bentuk fisik; mulai dari CD, kaset pita, piringan hitam, bahkan buku!
Sebut saja Extreme Decay, Iksan Skuter, No Man’s Land, Screaming Factor, Tani Maju, Begundal Lowokwaru, Primitive Chimpanze, Christabel Annora, Ravage, Beeswax, Oneding, Remissa, Sharkbite, Coldiac hingga generasi baru seperti Mati Di Saturnus, Tirant, Gagal Ginjal, Excrowded, Vospison, Monohero, Hilmo, dan banyak lainnya. Itu belum termasuk proyek split dan album kompilasi.
Seiring berjalan waktu dan perkembangan teknologi, wajah label rekaman di kota Malang juga kian berkembang. Selain masih banyak label rekaman yang masih “bermain” dengan cara klasik, kini di era digital tak sedikit label rekaman di kota Malang yang mulai mengorganisir label mereka dengan “serius” dengan mengambil peran lebih saat berurusan dengan rooster-nya. Mulai dari terlibat dalam urusan visual, publikasi, hak cipta, distribusi digital, hingga menyusun program-program lainnya. Seperti Yallfears, PopsYouGood, GZZ Records, dan Olsen.
Kerja-kerja musik yang semakin luas tersebut sejatinya tak luput dari kerja kolaborasi yang hari ini kerap terjadi antar pelaku dan pegiat musik. Sadar atau tidak, budaya nongkrong arek Malang yang akut ternyata ikut memberikan dampak bagi wajah arena musik kota Malang. Salah satunya ialah dampak dari kian berjamurnya warung kopi di kota Malang.
Yap, keberadaan warung kopi yang kian berjamur ternyata secara tidak sadar memberikan dampak bagi wajah musik di kota Malang di mana tempat nongkrong ini kerap dijadikan wadah atau ruang untuk meleburnya para pelaku, pegiat dan penikmat musik di kota Malang. Di antara ratusan meja-meja warung kopi itulah ide-ide kolaborasi kerap terjadi. Entah itu antara musisi maupun pegiat musik. Hasilnya, warung kopi kerap menjadi rahim lahirnya banyak proyek musik yang dibidani oleh lintas pelaku dan pegiat musik di kota Malang. Termasuk juga menyediakan ruang atau venue untuk para musisi juga pegiat untuk berkarya.
Beberapa tahun belakagan kota Malang memang sedang malang. Kita harus menerima kenyataan jika venue-venue musik penting di kota Malang dengan berat hati mengakhiri usianya. Sebut saja Houtenhand dan Backline yang selama berdirinya menjadi wadah untuk para musisi dari kota Malang hingga luar kota unjuk gigi.
Beruntung peran venue itu kini diteruskan oleh beberapa warung kopi dan tempat nongkrong yang banyak lahir belakangan. Meski kerap dibenturkan oleh masalah perijinan dan serta dianggap bukan menjadi representasi venue musik, namun tak jarang tempat-tempat nongkrong ini berani mengambil resiko untuk mempersilahkan tempat mereka dijadikan venue musik. Sebut saja Droomheaven, Kedai Mbah Lemmy, Baraka, Sriwijaya, Roemah Kantja, Levels, Kalcer, Twin Vaults, Garage Hub, Manalagi dan masih banyak lainnya.
Tak jarang pula tempat nongkrong yang disebutkan tadi merancang program musik, entah itu sekadar playlist, sharing session, hearing session, hingga live session. Seperti Kalcer dengan program live session bernama Kalceristic,Droomheaven dengan agenda Mercusuara, Twin Vaults dengan program Twin Vaults Show.
Menariknya, dari program dan agenda yang dirancang oleh tempat nongkrong tersebut nama-nama baru di arena musik kota Malang mulai mencuat ke permukaan dan semakin dikenal. Dari sanalah band seperti Nan, Glorius Friends, Fahem, The Rentenir, Ruang Kendali, Porthlash, Mati Di Saturnus, Girl and Her Bad Mood, mulai dikenal publik di kota Malang secara luas.
Tidak hanya pelaku musik, keberadaan tempat nongkrong ini ternyata juga dimanfaatkan para pegiat musik di kota Malang untuk memperluas ruang gerak mereka dengan membuat kolaborasi-kolaborasi menarik. Salah satunya acara bertajuk Kamar Gelap Fest yang diinisiasi oleh kawan-kawan Kamar Gelap Sound yang sebelumnya hanya dikenal sebagai vendor jasa sewa soundsystem di mana Kamar Gelap bekerja sama dengan beberapa kawan juga usaha tongkrongan untuk menginisiasi acara musik di dua kafe sekaligus dalam satu hari.
Begitulah cerita singkat ritme dan denyut musik kota Malang hari ini yang selalu dihidupkan oleh anak-anak muda dari berbagai generasi. Arek-arek Malang memang selalu punya cara mereka sendiri untuk terus bersenang-senang dengan berbagai kondisi.
Tentu saja, selain urusan konsistensi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperhatikan oleh mereka yang selama ini hidup di arena musik kota Malang. Salah satunya adalah urusan dokumentasi juga usaha untuk menjaga cerita-cerita ini agar terus abadi dari generasi ke generasi. Pasalnya, bagaimana kita tahu seberapa jauh kita berdiri sekarang tanpa sedikit menoleh ke belakang bukan? Atau jangan-jangan selama ini kita hanya berputar-putar cepat di satu tempat saja?
Penulis: Radinang Hilman
Saat ini tinggal di kota Malang. Sehari-hari bekerja sebagai pengatur ritme stok di gudang Toko Rekam Jaya dan menjaga speaker agar terus menyalak | Instagram: @radinanghilman
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian
Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW. …
Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024
Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11). Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …
satu lagi, Malang itu melting pot, penggiat musiknya nggak ada yang seratus persen kelahiran Malang, tapi memberikan banyak warna untuk keanekaragaman musik di Malang.
[…] Janis Joplin, maka di Indonesia kita mengenal sosok Sylvia Saartje. Penyanyi rock legendaris asal Malang ini adalah satu dari lady rocker legendaris yang tersisa yang dimiliki bumi […]