Meneroka Festival Musik di Indonesia Pada 2022

Jan 6, 2023

Pandemi COVID-19 selama dua tahun praktis menghentikan semua kegiatan konser, pertunjukan, dan festival musik. Pascapandemi di tahun 2022 ini, konser dan festival musik di Indonesia mulai kembali ramai diselenggarakan.

Tercatat setidaknya hingga November 2022 ada kurang lebih 40an Festival musik diadakan. Itu jika kita juga memasukkan nama seperti Colour Music Fest di Karawang yang lebih cocok disebut konser ketimbang festival.

Memang apa perbedaan konser musik dan festival musik? Festival musik dan konser itu berbeda. Konser musik adalah sebuah pertunjukan musik di mana hanya ada satu panggung utama, di panggung itu bisa tampil beberapa musisi berbeda yang tampil berurutan, atau satu musisi spesifik.

Pascapandemi di tahun 2022 ini, konser dan festival musik di Indonesia mulai kembali ramai diselenggarakan.

Sementara itu, Festival musik adalah sebuah perhelatan di mana ada banyak panggung yang disebar di beberapa titik berbeda di dalam satu venue. Panggung itu menjadi tempat musisi bermain sesuai waktu yang sudah ditentukan panitia, kadang waktunya berbarengan, jadi penonton bebas memilih mau menonton yang mana. Tak seperti konser musik yang lazimnya cuma diadakan sehari, festival musik bisa diadakan lebih dari sehari.

Dengan jumlah musisi yang tampil bisa puluhan jumlahnya, jumlah pengunjung yang bisa mencapai puluhan ribu orang, dan faktor-faktor lainnya, sudah sangat jelas mengelola festival musik lebih sulit dan rumit ketimbang mengelola konser musik. Ada banyak variabel yang harus dipertimbangkan event organizer sebelum mengadakan festival musik, mulai dari standar operasional baku yang jadi patokan berlangsungnya festival, faktor keamanan untuk menghindari hal tidak diinginkan terjadi, sampai perkara modal yang digunakan untuk mendukung keberlangsungan festival itu.

Secara finansial, mengadakan festival musik memang menggiurkan. Ada pangsa pasar besar di situ, yaitu orang-orang yang berusia antara 17-40 tahun yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi bisa menonton musisi-musisi idolanya tampil di panggung. Wajar jika kemudian sepanjang tahun 2022 festival musik tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Namun, sayangnya penyelenggaraan festival musik ini kemudian ada yang dikelola event organizer yang amatir, tidak berpengalaman, dan tidak punya kapabilitas mengadakan acara besar.

Secara finansial, mengadakan festival musik memang menggiurkan. Ada pangsa pasar besar di situ, yaitu orang-orang yang berusia antara 17-40 tahun yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi bisa menonton musisi-musisi idolanya tampil di panggung.

Event organizer amatir ini hanya mempertimbangkan keuntungan yang didapat dari pangsa pasar besar itu, tanpa mau berpikir bahwa mengelola festival musik tak semudah membalikkan telapak tangan.

Ada festival musik yang memang sudah mapan dan dikelola dengan baik oleh event organizer yang berpengalaman. Misalnya sebut saja Festival Pesta Pora, Synchronize Fest, Rock In Solo, hingga Soundrenaline. Tidak ada kendala berarti terjadi di festival itu. Event organizer untung, musisi yang tampil mendapatkan bayaran manggung yang layak, dan para penonton juga gembira.

Potret Soundrenaline 2022 / Dok. Syauqi Ibrahim

Namun, ada juga festival musik yang kacau balau. Mulai dari Tegal Amazing Festival yang dibatalkan beberapa jam sebelum festival dimulai, Berdendang Bergoyang yang dihentikan paksa oleh kepolisian karena menyalahi aturan di mana mereka memasukkan jumah penonton dua kali lipat dari kapasitas asli venue, Playlist Live Festival di Bandung yang juga bikin ngamuk banyak penonton, Fosfen Festival di Bandung yang batal berlangsung karena panitia tak mampu memenuhi kewajiban membayar musisi-musisi yang tampil, Mahameru Festival di Lumajang yang batal berlangsung meski ribuan tiket sudah terjual, hingga Hayu Festival di Sukabumi yang juga batal.

Banyak faktor yang menyebabkan festival-festival musik itu gagal. Yang jelas ini disebabkan event organizer amatir yang berpikir “bikin aja dulu festival musiknya, risikonya dipikir belakangan”.

Hasilnya, festival itu gagal karena panitia tak mampu memenuhi kewajiban membayar para musisi. Biasanya ini terjadi karena EO hanya mengandalkan penjualan tiket untuk menutup biaya yang dibutuhkan. Ternyata tiket yang terjual tak sesuai harapan, akhirnya beberapa hari atau bahkan jam sebelum festival berlangsung tiba-tiba mereka mengeluarkan pernyataan dan permohonan maaf bahwa festival batal diselenggarakan.

Banyak faktor yang menyebabkan festival-festival musik itu gagal. Yang jelas ini disebabkan event organizer amatir yang berpikir “bikin aja dulu festival musiknya, risikonya dipikir belakangan”.

Izin keamanan dari pihak kepolisian juga menjadi faktor penting gagalnya beberapa festival musik. Setelah festival Berdendang Bergoyang yang secara tidak profesional memasukkan penonton melebihi kapasitas venue, pihak kepolisian mulai lebih selektif dan berhati-hati dalam mengeluarkan izin keramaian untuk festival musik. Hasilnya seperti efek domino, banyak festival musik yang mengumumkan festival dibatalkan beberapa waktu sebelum festival dimulai karena pihak EO belum mengantongi surat izin keramaian dari pihak kepolisian.

Di dalam ilmu ekonomi dikenal yang namanya bubble. Kita sudah melihat banyak bubble terjadi di seluruh dunia, di antaranya adalah bubble properti, batu akik, tanaman anthurium, bubble dot com di era 2000an, dan masih banyak lagi. Bubble ini berbahaya karena sedikit demi sedikit ia membesar, dan lama-lama akan meletus.

Maka, ramainya festival musik yang diselenggarakan di Indonesia adalah bubble yang baru. Begitu banyaknya festival musik yang diadakan EO amatir ini menjadikan festival musik di Indonesia masuk di tahap awal sebuah bubble ekonomi. Jika dibiarkan, jangan heran jika akan ada titik ketika bubble ini meletus, dan banyak pihak yang akan dirugikan.

Hasilnya seperti efek domino, banyak festival musik yang mengumumkan festival dibatalkan beberapa waktu sebelum festival dimulai karena pihak EO belum mengantongi surat izin keramaian dari pihak kepolisian.

Mulai dari promotor atau EO yang profesional akan ikut terkena imbasnya, para musisi juga tentu dirugikan karena mereka biasanya sudah membuat kesepakatan jauh-jauh hari untuk tampil di festival tertentu, namun dengan batalnya festival musik berlangsung, musisi dirugikan karena mereka tidak mendapatkan bayaran yang harusnya mereka peroleh.

Terakhir, para penikmat musik tentunya yang dirugikan. Mereka sudah membayar tiket yang kadang harganya lumayan mahal, dan meluangkan waktunya untuk hadir di sebuah festival musik. Akhirnya mereka harus menanggung kekecewaan karena festival ternyata dibatalkan.

Sebelum semuanya terlambat dan festival musik di Indonesia menjadi gelembung ekonomi yang meletus, harus segera ada semacam regulasi yang mengatur penyelenggaraan festival musik. Pemerintah harus membuat regulasi itu untuk mencegah bubble meletus. Kehadiran Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) juga adalah langkah awal yang bagus.

Suasana konferensi pers dari APMI pada November silam / Dok. Istimewa

Mungkin selanjutnya harus ada semacam komite khusus yang berisi promotor atau event organizer yang lebih senior dan berpengalaman. Ketika ada EO baru yang bermaksud mengadakan sebuah festival musik, mereka harus mendapat lampu hijau dulu dari komite ini. Komite ini akan bertugas melacak segala hal tentang EO baru ini. Bagaimana rekam jejaknya, sudah pernah bikin acara apa saja, bagaimana kondisi keuangan EO ini, bahkan sampai ke siapa sosok-sosok di balik EO ini.

Apabila EO baru ini tidak memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan bersama, komite khusus ini bisa memberikan lampu merah pada EO baru ini, sehingga festival musik amatir ini bisa dihentikan.

Walau tentu saja pembentukan komite seperti ini bukannya tanpa masalah. Sebabnya, bisa saja komite ini pada suatu waktu bisa menjadi sangat berkuasa dan otoriter sehingga mereka bisa saja melarang adanya suatu festival musik bukan berdasarkan penilaian yang objektif. Namun, mereka melarang berlangsungnya suatu festival musik karena alasan-alasan subjektif dari para anggota komite. Namun, tampaknya opsi ini yang paling masuk akal saat ini. Selain pembentukan ini, harus dicari cara lain untuk mengatur penyelenggaraan festival musik. Entah dalam bentuk apapun itu.

Sebelum semuanya terlambat dan festival musik di Indonesia menjadi gelembung ekonomi yang meletus, harus segera ada semacam regulasi yang mengatur penyelenggaraan festival musik.

Festival musik bisa menjadi perhelatan yang berbahaya apabila tidak dikelola dengan profesional. Bahkan nyawa bisa menjadi taruhannya, dan pernah terjadi kejadian di mana nyawa bisa melayang karena festival musik serampangan yang over capacity.

Bayangkan saja, ada 20,000 orang berkumpul di venue yang sama. Jika tidak dikelola dengan baik, banyak hal berbahaya bisa terjadi seperti misalnya penonton yang berdesak-desakan, beberapa mungkin akan kesulitan bernapas dan bisa meregang nyawa.

Festival musik harusnya menjadi sebuah acara yang menyenangkan bagi semua orang. Tempat penikmat musik bisa melupakan sejenak problem kehidupan, dan bersenang-senang bersama ribuan orang lainnya dengan menonton musisi idola mereka. Jangan sampai kesenangan ini harus hilang hanya karena segelintir pihak amatir yang sekadar berpikir tentang profit.

Sebelum makin membesar dan meletus, gelembung festival musik di Indonesia ini harus segera diatur dengan baik. Baik oleh otoritas, pihak berwenang, event organizer, hingga musisi, semua harus bahu-membahu mengadakan festival musik yang lebih baik dan bisa mengakomodir kepentingan semua pihak.

Kesimpulannya, kaleidoskop musik 2022 ini riuh dengan banyak festival musik. Banyak penyelenggara atau event organizer baru yang meneroka festival musik. Mereka mencoba membuka lahan baru festival musik dalam rangka meraup keuntungan finasial yang menggiurkan. Namun, keinginan meraup cuan besar tanpa dibarengi kemampuan manajemen yang baik pada akhirnya hanya akan berujung pada kekacuan dan kegagalan.

Festival musik harusnya menjadi sebuah acara yang menyenangkan bagi semua orang.

Kacaunya Berdendang Bergoyang dan Fosfen Festival serta beberapa festival musik lain seharusnya menjadi refleksi kita bersama, agar di tahun 2023 penyelenggaraan festival musik bisa dijalankan dengan lebih baik. Kita harus bisa belajar dari kesalahan yang terjadi sepanjang 2022, dan menjalankan festival musik dengan lebih baik dan profesional di tahun 2023.

Sudah cukup rasanya banyak pihak menderita karena bubble alias gelembung ekonomi di banyak bidang meletus. Jangan sampai festival musik menjadi gelembung yang sama dan meletus, menyisakan kerugian dan penyesalan yang mendalam di banyak pihak.


 

Penulis
Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Co-founder dan editor Serunai.co. Bercerita di arissetyawan.com.

Eksplor konten lain Pophariini

Marsahala Asal Denpasar Rilis Single Kedua Bertajuk Love Yourself

Solois yang mengusung gaya musik soul alternatif asal Denpasar bernama Marsahala resmi meluncurkan single anyar bertajuk “Love Yourself” hari Jumat (26/04). Sebelumnya sang musisi sudah menandai kemunculannya lewat single “Still Spinning” bulan Februari lalu. …

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …