Meraba Wajah Industri Musik Semasa Pandemi
Wendi Putranto hanya tersenyum kecut saat disinggung jadwal manggung Seringai selama sebulan terakhir ini. Rata-rata dalam satu bulan, grup rock oktan tinggi ini punya sekitar lima kali jadwal manggung. Namun pandemi Covid-19 membuat band yang digawangi Arian Arifin, Ricky Siahaan, Sammy Bramantyo, dan Edy “Khemod” Susanto ini untuk sementara waktu menggantung peralatan tempurnya. “Ada sepuluh agenda show yang dibatalkan atau dijadwal ulang, termasuk sekali show di Kuala Lumpur, Malaysia bulan Maret lalu,” kata Wendi yang menjadi manajer Seringai sejak tahun 2017 ini.
Sebagai pandemi global, virus corona menghantam hampir semua sektor perekonomian. Industri musik, terutama sektor bisnis pertunjukan adalah yang pertama terdampak. Billboard memperkirakan sektor ini mempekerjakan sekitar 250.000 pekerja penuh waktu dan paruh waktu dan bisa kehilangan antara $ 10 miliar dan $ 20 miliar tahun ini karena pandemi Covid-19.
Indonesia sendiri secara resmi baru mengumumkan kasus pertama pada 2 Maret 2020. Namun efeknya sudah mulai nampak sebelum itu. Terutama saat negara tetangga Singapura sudah mengkonfirmasi kasus pertama di negaranya pada 23 Januari 2020.
Sebagai pandemi virus corona menghantam hampir semua sektor perekonomian. Industri musik, terutama sektor bisnis pertunjukan adalah yang pertama terdampak.
Pada 14 Februari, promotor konser Khalid mengumumkan penundaan konser Free Spirit yang merupakan bagian dari tur Asia penyanyi asal Amerika Serikat tersebut. Sedianya konser akan digelar pada 28 Februari. Di tanggal yang sama rapper asal Inggris, Stormzy membatalkan keikutsertaanya di festival musik hip hop, soul, dan R&B FLAVS 2020 pada 4 dan 5 April 2020 di Istora Senayan, Jakarta. Festival ini pun kemudian ditunda hingga Agustus mendatang. Terakhir, Ari Lennox membatalkan jadwal penampilannya di Jakarta International BNI Java Jazz Festival(JJF) yang berlangsung dari 28 Februari hingga 1 Maret kemarin karena khawatir akan virus corona.
Setelah pengumuman kasus pertama, lalu instruksi Presiden Joko Widodo untuk beraktivitas di rumah, dan diikuti kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pelaku usaha showbiz adalah yang paling terdampak. Data yang dihimpun Koalisi Seni hingga 3 April lalu menunjukkan ada 98 konser, tur, dan festival musik yang ditunda atau dibatalkan. Angka itu termasuk perhelatan berskala internasional seperti Hammersonic (ditunda hingga tahun depan) dan Head In The Clouds Jakarta.
Dengan skema pendapatan per event, pandemik ini membuat para pekerja panggung praktis kehilangan pendapatan. “Ada potensi kehilangan pendapatan sampai 90 juta,” kata Adi “Gufi” Adriandi. Sebagai tenaga profesional dalam produksi acara, jasa Gufi merentang dari konser tunggal, ekshibisi, juga acara-acara pertemuan korporasi dan pemerintahan. “Ada 12 event yang dibatalkan atau ditunda sampai bulan Mei,” kata Gufi yang juga bertindak sebagai manajer Frau ini. Sampai saat ini dirinya belum mendapat tanda-tanda kapan panggung akan memanggilnya lagi. “Hilalnya masih abu-abu walaupun meeting-meeting terkait job masih ada.”
Panggung-panggung virtual
Dengan total pengguna sebanyak 160 juta atau 59% dari total penduduk Indonesia, media sosial berperan signifikan dalam promosi karya musisi. Saat musisi tidak bisa manggung untuk sementara waktu, media sosial menyediakan pangung-panggung virtual.
Sejak 25 hingga 28 Maret, sederet nama seperti Iwan Fals, Ari Lasso, Tulus, Raissa, sampai Didi Kempot menggelar konser amal bertajuk Konser Musik #dirumahaja yang digagas Narasi. Konser virtual ini disiarkan melalui laman www.narasi.tv, YouTube channel Narasi, YouTube channel Najwa Shihab dan Instagram Live akun @narasi.tv. Seluruh biaya produksi konser dan seluruh musisi yang terlibat sepenuhnya berkontribusi secara pro-bono. Sampai 14 April, dana yang terkumpul mencapai lebih dari 13 miliar untuk didonasikan.
Sosok Didi Kempot rupanya masih ampuh sebagai mesin penggalang dukungan publik. Di Konser Amal Dari Rumah yang disiarkan langsung KompasTV pada 11 April lalu, The Godfather of Broken Heart itu mampu menggalang donasi dari masyarakat mencapai Rp 5,3 miliar hanya dalam tiga jam! Dan angka itu masih terus bertambah.
Melihat antusiasme publik juga ketidakpastian kapan pandemi serta segala imbasnya ini akan selesai, mungkinkah ada pergeseran “venue” konser ke jagat maya?
“Belum terlihat perubahannya secara makro, tapi sudah ada yang memulai eksperimen penyelenggaraan event online seperti seminar-seminar di Zoom,” kata founder KaryaKarsa, Ario Tamat. Dirinya mengungkapkan, konser digital bisa dan harus jadi alternatif pemasukan baru. “Malah kalau keadaan membaik, konser digital bisa jadi nilai tambah ke event offline biasa.”
Paling tidak ada dua tantangan mengemuka dalam penyelenggaraan konser-konser virtual ini. Pertama adalah persoalan infrastruktur internet. Koneksi internet di Indonesia menurut data Speedtest Global Index tahun 2019 berada di posisi ke-112 dunia dengan rata-rata kecepatan mengunduh file sebesar 17,02 Mbps per Mei 2019. Untuk rata-rata kecepatan mengunggah file sebesar 10,44 Mbps, Indonesia berada di peringkat ke-123 dunia. Untuk kecepatan internet ketika mengunggah file, Indonesia berada di posisi paling buncit di ASEAN.
Kedua adalah kebiasaan penonton. Konser gratis, terutama yang dibuat untuk promosi produk rokok, sedikit banyak membuat konsep konser berbayar untuk musisi lokal masih sulit diterapkan. Juga praktek-praktek penyelundupan penoton gelap bermodal kenalan artis atau kru produksi membuat penyelenggara konser seringkali kesulitan memastikan pemasukan dari tiket.
Situasi berbeda dialami kru produksi sampai pelaku usaha pertunjukan musik. Praktis keberlangsungan hidup para kru tergantung kemurahan hati manajemen band atau promotor/event organize
“PR besar adalah membiasakan musisi mencoba menjual tiket konser online. Gue belum liat ada yang melakukan,” ungkap Ario. Dirinya menerangkan, musisi harus punya pola pikir bahwa karya yang dapat ditawarkan bukan hanya sekedar peralihan manggung fisik jadi online, tapi juga mampu merangkum dengan baik keinginan penggemarnya.
Konser-konser virtual yang jadi contoh tadi sebagian besar bisa dinikmati secara cuma-cuma. Tapi ada pula yang menetapkan mekanisme penjualan tiket yang diperuntukkan untuk donasi. The Rain misalnya. Dalam Konser Nyanyi Di Rumah, band bentukan Yogyakarta tahun 2001 ini menerapkan skema penjualan tiket yang dipatok minimal Rp 15 ribu. Pendapatan dari tiket tersebut sebagian didonasikan dan separuhnya lagi untuk menghidupi kru produksi yang praktis tidak menerima pemasukan jika tidak ada jadwal manggung.
Ario menjelaskan, selama masih ada penggemar yang mau untuk membayar maka prospek dari konser online berbayar ini tetap ada. “Tantangannya adalah bagaimana menemukan produk dari musisi dan harga tiket dalam kesetimbangan yang tepat,” ujarnya. Ia menjelaskan, konser online ini lambat laun akan menumbuhkan value chain dan ekosistem baru. “Kalau perlu tiket online, bisa dibantu seperti Loket.com. Bikin project sekalian campaign di Kolase. Content dan kegiatan regular bisa pakai Karyakarsa. Musisi maupun fans harus terbiasa dengan realita baru ini,” katanya.
Merancang masa depan
Dengan daya kejut yang sedemikian dahsyat, apakah mungkin situasi akan kembali normal setelah pandemi berakhir? Atau justru akan ada tatanan yang sama sekali baru? Tentu masih sulit untuk bisa menerka saat goncangan sepertinya baru saja dimulai.
Meski jadwal panggung berhenti sampai waktu yang tak bisa ditentukan, musisi setidaknya masih bisa mengais tabungan dari royalti katalog karya-karyanya. Terlebih era digital membuat musisi bisa memilih jalur publikasi beserta skema pendapatannya sendiri.
“Masa-masa ini menyadarkan kalau hakikat musisi adalah berkarya lewat lagu,” kata Anton Kurniawan. Pengalaman sebagai manajer Sheila On 7 selama 12 tahun, marketing manager di sebuah label internasional, dan saat ini mengelola agensi hiburan Goromedia, membuat Anton punya argumen kuat atas pernyataanya. “Lagu akhirnya jadi semacam tabungan buat musisi. Kalau melihat musisi dengan daftar putar tertinggi yang ada di platform-platform musik digital, mereka adalah yang punya banyak tabungan katalog lagu. Tentu juga masih ada faktor-faktor lainnya,” kata Anton.
Padatnya jadwal manggung seringkali jadi alibi malasnya masuk studio untuk menggarap materi baru. Pendapatan yang lebih menggiurkan hanya dengan memainkan katalog-katalog lawas adalah adalah musabab utamanya. “Kalau repertoar manggung mau lebih bervariasi tentu harus punya banyak tabungan lagu. Dan saat ini sebenarnya tepat untuk produksi lagu,” kata Anton. Toh lagi-lagi teknologi memudahkan semua di semua lini. “Produksi bisa dilakukan dengan rekaman track by track secara digital, tidak harus bertemu di studio. Promosi jauh lebih mudah dengan mengoptimalkan media sosial,” kata Anton. Pendek kata bagi musisi masa-masa ini sesungguhnya adalah blessing in disguise.
Situasi berbeda dialami bagi kru produksi sampai pelaku usaha pertunjukan musik. Praktis keberlangsungan hidup para kru tergantung kemurahan hati manajemen band atau promotor/event organizer. Anton mencontohkan inisiatif milik perusahaan live entertainment global Live Nation untuk para pekerjanya. “Perusahaan induknya sudah menyiapkan dana ratusan milyar yang dikelola oleh satu yayasan yang ditunjuk, untuk mendukung para teknisi, kru, dan orang-orang di balik panggung supaya tetap bisa bertahan di era pandemi ini,” ujar Anton.
Di Indonesia inisiatif tersebut belum terlihat, namun sudah ada yang memulai di lingkup kecil. Seringai misalnya, punya Serigala Jalanan yang harus dipikirkan nasibnya oleh Wendi Putranto sebagai manajer. Mereka adalah sepuluh kru yang terdiri dari road manager, teknisi bass, drum, dan gitar; VJ, sound engineer, lighting engineer, merchandiser, fotografer, dan sopir. “Ada pinjaman lunak buat mereka. Tanpa bunga dan bisa dibayar secara mencicil dari fee mereka setelah berbagai konser dan tur dimulai lagi,” jelas Wendi. Dalam waktu dekat, mereka juga akan merilis t-shirt yang seluruh keuntungan penjualannya akan diberikan kepada para kru.
Dalam kapasitas sebagai Program Director M-Bloc Space yang aktivitas sebagai creative hub-nya juga terdampak, Wendi juga tengah menjalankan penggalangan dana solidaritas #KreatifDiSaatSulit. Fokus utama fundraising ini untuk para pekerja kreatif harian. Secara spesifik meliputi kru produksi konser musik, kru band, kru panggung, kru vendor sound dan lighting, sampai , fotografer panggung. “Mereka ini yang terdampak pertama kali sejak pandemi mulai menyebar dan membatalkan semua acara. Semuanya serentak kehilangan pendapatan. Target kedua juga donasi untuk tim medis berupa penyediaan Alat Pelindung Diri dan masker,” terang Wendi.
Untuk skemanya, donasi dibuka melalui tautan kitabisa.com/kreatifdisaatsulit hingga bulan Mei 2020. Selanutnya akan dilakukan survei dan pendataan melalui manajemen artis atau EO untuk rekomendasi para kru mereka yang terdampak. Caranya dengan mereka menyertakan identitas kru, surat rekomendasi perusahaan, serta bukti kontrak-kontrak acara yang dibatalkan. “Harapannya donasi yang disalurkan ini nanti tepat sasaran kepada para kru yang terdesak membutuhkan bantuan untuk menyambung hidupnya dan keluarga,” ujar Wendi.
Di Yogyakarta, beberapa pelaku kancah musiknya menginisiasi #SamaSamaMakan yang mengirimkan bahan pokok atau makanan matang untuk pekerja panggung yang terdampak dan telah mendaftarkan diri melalui tautan yang disediakan di akun Instagram @sama2makan. “Mereka yang ingin membantu dapat mengirim donasi dalam bentuk sembako ataupun dana untuk membayar jasa pengiriman ke rumah-rumah penerima makanan. Bisa juga dengan langsung memasak makanan yang akan dikirimkan kepada penerima bantuan,” jelas Liesta selaku perwakilan dari gerakan #SamaSamaMakan.
Di level pemerintah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan mulai melakukan pendataan pekerja seni yang terdampak Covid-19. Pendataan dalam dua tahap ini dilakukan untuk membantu perekonomian para pekerja seni yang terdampak Covid-19. Mereka yang didata adalah pekerja seni yang biasanya memiliki penghasilan di bawah Rp 10 juta per bulan sebelum ada wabah Covid-19. Seleksinya yang cukup ketat, mencakup identitas pribadi, Nomor Induk Kependudukan, dan bukti karya berupa foto ketika pentas, hasil lukisan, atau apa pun. Tentu persyaratan ini akan susah untuk dipenuhi para pekerja yang berada di balik layar.
Lalu bagaimana dengan kelangsungan bisnis pertunjukan?
Masih sulit untuk memastikan kapan speaker kembali menyalak dan lampu-lampu panggung kembali dinyalakan. Menghadapi situasi seperti ini, beberapa pelaku di usaha hiburan di luar negeri sudah mulai melakukan pergeseran bisnis intinya.
Choura Events seharusnya tengah berada dalam pekan-pekan sibuk sebagai rekanan produksi untuk festival musik SXSW dan Coachella juga turnamen tenis BNP Paribas Open Indian Wells 2020. Namun pandemi kembali membuat jadwal di atas kertas tadi berantakan. SXSW dan Indian Wells dibatalkan, sementara Coachella ditunda hingga Oktober. “Perubahan ini membuat saya hancur. Bagaimana harus membayar gaji sekaligus tetap menghadapi karyawan kami?,” kata Ryan Choura, Chief Executive Choura Events seperti dikutip dari Los Angeles Times.
Segera setelah pembatalan tadi, Choura segera mengerahkan 200 pekerjanya untuk membangun fasilitas tenda gawat darurat berukuran raksasa untuk mendukung drive-thru test Covid-19 massal di Los Angeles, California. “Tidak jauh berbeda dengan apa yang kami kerjakan di Coachella. Jika di Coachella kami mengestimasi berapa pengunjung, kali ini kami menghitung berapa kapasitas pasien yang bisa dilayani di fasilitas ini,” kata Choura.
Choura akan membangun sampai 20 tenda gawat darurat berfasilitas lengkap di empat lokasi di Los Angeles. Amerika Serikat saat ini menjadi negara dengan tingkat penderita Covid-19 tertinggi di dunia dengan jumlah kasus mencapai 667 ribu orang dan 32 ribu diantaranya meninggal dunia hingga 17 April kemarin. California menempati urutan keenam kasus Covid-19 negara bagian di negara adidaya itu dengan jumlah kasus lebih dari 27 ribu dan korban meninggal mencapai 957 orang saat tulisan ini dibuat.
D’Addario, induk dari perusahaan pembuat membran drum Evans, menyulap drumhead Evans seri G2 sebagai pelindung muka untuk petugas medis. Pelindung muka bermerk Dynatomy ini sudah disetujui penggunaanya oleh U.S. Food and Drug Administration.
Ditargetkan hingga akhir bulan April ini akan ada 27 ribu pelindung muka yang akan disalurkan melalui otoritas negara bagian New York. Saat ini, New York menduduki peringkat pertama kasus Covid-19 di Amerika Serikat dengan jumlah kasus mencapai 223 kasus dan angka kematian hingga 14.832 jiwa. “Langkah ini melambangkan semangat kami saat ini selama krisis COVID-19: #wewillplayon, ” kata CEO D’Addario, John D’Addario III sebgaimana dikutip dari laman resmi perusahaannya.
Boleh jadi ke depan kita akan melihat nama-nama seperti Java Festival Production, Java Musikindo, atau Ismaya memproduksi hazmat, masker, sarung tangan, atau disinfektan untuk mendukung tugas-tugas tenaga medis sebagai garda terdepan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Juga memastikan panggung hiburan kembali semarak dan menghidupi para pekerjanya. Semoga.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …