Merdeka dari impor kaset dan vinyl lokal
Tadi siang saya baru saja menghadiri sebuah presentasi tentang industri musik hari ini. Dipaparkanlah bagimana mayoritas konsumsi musik telah berganti, dari membeli rekaman fisik menjadi tak perlu memiliki musik dalam format apa pun, fisikal maupun digital, melainkan cukup memutarnya di berbagai tempat layanan pemutaran musik di internet.
Setelah itu, dijelaskan pula di mana saja kita dapat memasarkan musik dengan cara diputar oleh pengunjung di berbagai kanal, termasuk dalam bentuk audio visual. Lalu, juga tentang bagaimana lagu produksi kita bisa memiliki peluang terdengar di antara rimba lagu di layanan-layanan pemutaran pada berbagai tempat di internet.
Pada akhir sesi presentasi tersebut, berlangsung beberapa tanya jawab. Saya tentu tidak mau membahas tentang bagaimana bisnis rekaman musik dijalankan lebih lanjut pada hari ini, karena bisa banyak sekali temuan, percobaan, dan teori. Saya tergolong awam untuk suasana platform dan media sosial yang kian kompleks dan kompetitif.
Saya melihatnya secara lebih personal saja. Karena menyukai musik dan desain produk, juga suka mendengarkan musik dalam suasana tematik, maka saya lebih memilih membeli rekaman fisik. Di saat toko-toko rekaman musik besar tutup, di saat rilisan fisik banyak ditinggalkan orang. Sampai sekarang cara saya menikmati musik masih relatif sama.
Saya tentu juga mendengar lagu pada platform-platform digital, meskipun jarang, karena memang tidak ada alasan untuk tidak. Selama itu gratis, bisa bereksplorasi, dan mudah untuk merekomendasikannya kepada teman-teman.
Secara pelaku industri musik independen kecil-kecilan paruh waktu, memasarkan produksi rekaman musik saya di platform-platform digital juga tidak ada masalah. Mudah, tinggal kasih file ke label atau distributor, atau upload saja. Jika memang mendapatkan uang dari sana, banyak atau sedikit, ya, saya senang-senang saja.
Namun yang cukup bermasalah justru ketika ingin memproduksi musik pada format fisikal, format kegemaran saya. Keinginan akan suatu desain bisa berkendala dengan ketersediaan pilihan bahan baku standar kemasan CD dan kaset hari ini yang sangat terbatas. Varian-varian mereka kian punah.
Saya suka kotak CD dengan pinggiran berwarna hitam, putih dan warna-wana lainnya– sekarang mereka tiada. Saya suka cangkang kaset berwarna, sekarang mereka pun raib dari supplier cetak kaset yang juga semakin sedikit jumlahnya. Saya suka format rekaman musik piringan hitam, namun sekarang tempat produksi mereka sudah lama tiada. Bahan-bahan penunjang rilisan fisik di Indonesia jadi sangat terbatas karena perubahan-perubahan di era digital.
Akibatnya hanya tiga pilihan: mengakali presentasi rekaman dengan ide-ide di luar standar kemasannya, berkompromi saat memproduksi dengan bahan-bahan baku yang tersedia di sini, atau mengimpor bahan baku dari luar negeri.
Jadi, di hari-hari perayaan kemerdekaan ini, di antara sekian banyak harapan-harapan akan negeri, terseliplah asa “kecil-kecilan” ini: semoga Indonesia terbebas dari keterbatasan pilihan bahan baku untuk mendukung rekaman fisik. Merdeka dari impor kaset berwarna, kotak CD berwarna, dan mencetak piringan hitam jauh-jauh ke luar negeri dengan tempo pengiriman, risiko di jalan, dan biaya kirim yang mendebarkan. Karena sayang sekali, di saat kita menikmati dan mengapresiasi musik-musik dalam negeri seperti Naif, Sore, Mocca, Komunal, Semakbelukar, White Shoes And The Couples Company, The Sastro, Frau, Harry Roesli, dan banyak lagi dalam format piringan hitam- musik-musik buatan musisi Indonesia itu masih butuh sokongan bahan baku rilisan buatan luar negeri. Plaat dicetak tak di tanah kita lagi.
Begitupun saat menikmati indahnya musik lokal favorit yang terbungkus dalam aneka warna cangkang kaset yang aduhai manisnya, produsen independen tetap tergantung dengan negara-negara lain. Memesan cangkang ke negeri-negeri jauh di seberang. Dan CD-CD lokal pun tiada lagi yang hadir dengan kotak mika berpinggiran hitam yang klasik itu.
Moga-moga kita bisa merderka dari hal itu semua.Tapi kalau tidak, ya, mau dikata apa? Kita impor jua.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Ramalan 9 Musisi Indonesia yang Bersinar di 2025
Kami menerbitkan artikel ramalan musisi sejak awal 2022 sebagai bentuk harapan bahwa dengan menghasilkan karya yang bagus musisi tersebut pantas untuk mendapatkan apresiasi yang lebih di industri musik. Dari memilih 10 nama, semenjak 2023 …
Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …