Musik Bogor Pasca Pandemi: Kian Menggairahkan

Jan 11, 2023

Dua belas bulan di tahun 2022 dipergunakan sebagai sebuah ajang balas dendam bagi para pelaku di ekosistem musik tanah air. Kata ‘main gila’ bisa menggambarkan keseluruhannya. Baik musisi, band, lintas kota, lintas genre, juga promotor, kolektif, hingga elemen-elemen lainnya, tancap gas penuh di tahun 2022.

Beralasan jelas, mengingat selama rentang waktu 2020 hingga 2021, ekosistem musik serta ekosistem-ekosistem lainnya dipaksa untuk ‘tiarap’ akibat badai pandemi yang menerjang. Alhasil, tahun 2022 menjadi tahun di mana mereka semua memetik buah manis dari penantian yang dipupuk selama keadaan gelap tersebut.

Salah satu yang tengah kencang-kencangnya tancap gas dengan harmonisasi dari berbagai elemen di tahun 2022 adalah ekosistem musik di Bogor, kota hujan yang berjarak satu jam perjalanan dari Jakarta jika melalui Tol Jagorawi atau satu jam lebih sedikit jika naik kereta dari Stasiun Pasar Minggu.

Agaknya menjadi sebuah cerita yang menggembirakan, merujuk pada fakta bahwa di tahun 2022, muncul kembali beberapa hal dari Bogor dan musiknya yang sudah lama tidak hadir, bahkan bisa dibilang dirindukan.

Setidaknya ada tiga aspek yang berperan besar dalam gairah musik Bogor di 2022, yakni beberapa nama yang mendapatkan atensi luas dengan skala nasional, geliat kolektif di berbagai sudut-sudut kota, hingga alih fungsi coffee shop menjadi venue alternatif. Mari kita bahas satu per satu.

 

Deret nama yang mendapatkan atensi luas

Salah satu nama yang mendapatkan atensi luas adalah The Jansen, unit punk rock yang sedang harum-harumnya. Album ketiga mereka, Banal Semakin Binal yang rilis di bawah payung Demajors secara spontan mendapatkan tempat di hati para pendengarnya, entah itu pendengar baru maupun pendengar lama mereka.

Di album ketiga ini, musik The Jansen masih dalam koridor punk rock 70-an yang sudah diusung sejak lama, namun kali ini temponya sedikit melambat, tidak melulu ngebut, dibarengi dengan balutan lirik yang kisahnya terasa familiar dengan kehidupan mereka yang sedang menginjak usia umur 18 hingga 21 tahun.

Tidak butuh waktu lama bagi trio yang kini berubah menjadi kuartet untuk menjajal panggung berbagai skala di rentang waktu kuartal dua hingga empat di tahun 2022, dari gang sempit di Bloc Bar, panggung-panggung acara kampus, gigs gorong-gorong, hingga XYZ Stage di Synchronize Fest 2022. Cerita tidak berhenti di situ, karena mereka baru saja pulang dari tur satu bulan tanpa rehat di bulan November lalu, sampai ke titik terjauh di Bali dan Lombok dalam rangka memperkenalkan lebih jauh album ketiganya tersebut.

 

Beberapa langkah di belakang mereka, ada Swellow dan Munhajat yang mengekor. Duo unit indie rock dan orkes dangdut tersebut tengah mendapatkan atensi yang baik di kancahnya berkat rilisan yang sudah mereka rilis beberapa waktu silam. Swellow merilis EP debut Karet di pertengahan 2021, sedangkan Munhajat dengan EP Dangdut Swadaya di awal tahun ini. Kedua rilisan tersebut serta musik yang diusung, bisa dibilang membawa mereka turut tampil di gelaran Synchronize Fest lalu.

Tidak butuh waktu lama bagi trio The Jansen yang kini berubah menjadi kuartet untuk menjajal panggung berbagai skala di rentang waktu kuartal dua hingga empat di tahun 2022.

Selain tiga nama di atas, ada satu nama lagi yang bisa dibilang sebagai sebuah kejutan, yang bahkan mungkin orang Bogor sendiri tidak tau. Jinan Laetitia, solois belia yang kini dinaungi oleh Warner Music Indonesia ini juga datang dari kota hujan. Album debutnya, One menempati posisi 15 dari daftar 25 Best Asian Albums of 2022 dari NME Magazine. Di gelaran AMI Awards lalu, ia membawa pulang piala dari kategori Artis Solo Pria/Wanita R&B Kontemporer Terbaik.

 

Menengok sejarahnya, terbilang sudah cukup lama sejak ada band Bogor yang bisa menembus gegap gempita yang dibentuk oleh ibukota. Beberapa nama yang sempat merasakan momen tersebut adalah Piknik, The Safari (kini tengah comeback dengan format, masih ada Edo Wallad), Reid Voltus, Douet Mauet’s, Liebe (ketiganya pernah tur dengan Efek Rumah Kaca, 2007) Music For Sale, Cause, hingga Repvblik dan Fade2Black di kancah arus utama.

Nama Music For Sale sendiri bahkan pernah mengisi soundtrack untuk film Hari Untuk Amanda yang tayang pada tahun 2010 silam. Di momen tersebut, mereka menyanyikan nomor “So Right”.

 

Sementara jika ditarik dalam rentang waktu empat sampai lima tahun ke belakang, nama-nama seperti The Kuda, Texpack, hingga Belantara masih rutin untuk mentas di luar Bogor.

 

Geliat kolektif di berbagai sudut kota

Geliat berbagai kolektif yang tersebar di penjuru Bogor dan sekitarnya juga menjadi salah satu aspek yang menambah ‘warna-warni’ ekosistem musik di kota yang luas kabupatennya jauh lebih lebar dari luas kotanya sendiri ini.

Minortive, kolektif yang sudah cukup lama berkiprah, kembali dengan beberapa gelarannya di tahun ini. Mereka kerap menjadi ‘tuan rumah’ dari band-band yang sedang tur dan mampir ke Bogor. Sebut saja dengan menyambut kedatangan Swarm (Bandung), Hong dan Toast (Tangerang), Blackhawk (Bandung), Masakre (Jakarta), Xin Lie (Bandung), hingga Critical Issues (Palembang), band anyar bentukan Rian Pelor.

Heaven In, unit metal-hardcore asal Bogor juga sempat mereka buatkan showcase dalam rangka perilisan EP self-titled di bulan Mei silam, turut menampilkan Deafness, Wreck, Prejudize, hingga Bleach.

Arief ‘Peloy’ Wijaya, salah satu sosok di balik Minortive mengungkapkan bahwa yang menjadi bensin bagi mereka untuk tancap gas di tahun 2022 ini adalah semangat berkolektif yang sudah diusung sejak awal perjalanannya.

“Semangat berkolektif barudak (anak-anak) Minortive yang masih sama kayak sebelum pandemi, itu bensinnya sih. Selain itu, situasi dan kondisi yang juga sudah memungkinkan buat bikin gigs, karena barudak jenuh juga selama pandemi enggak ada hiburan”, tutur Peloy.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Minortive (@minorxtive)

Peloy juga menambahkan, bahwa dengan menjadi ‘tuan rumah’ bagi band-band yang tur, praktis memperluas jaringan pertemanan serta koneksi yang sudah dirangkai sejak lama.

“Itu sudah Minortive lakukan dari tahun 2016 sih sebenarnya. Selain karena barudak memang senang ngelakuinnya, bikin gigs buat band yang tur bisa jadi ajang silaturahmi dan berjejaring dengan teman-teman luar kota dan mancanegara”, lanjutnya.

Kolektif yang lebih muda, Taktik Barudax juga melakukan hal yang sama. Banyak dihuni oleh mahasiswa FISIB Universitas Pakuan, dalam dua edisi gigs perdananya mereka menyambut Kinder Bloomen (Jakarta) yang sedang tur serta White Chorus (Bandung) dalam lawatannya ke Bogor.

Janari Rekords serta Rainzorg tengah getol-getolnya menggarap sebuah proyek yang mirip-mirip. Keduanya beberapa kali menghadirkan video live performance dari nama-nama di Bogor. Janari sendiri tidak hanya berkegiatan dengan taping saja, namun mereka juga mempunyai studio rekaman di bilangan Cilendek yang terbuka untuk segala macam kegiatan seputar perekaman hingga menjadi melting pot untuk band-band muda di Bogor.

 

Dari kancah musik elektronik, ada Nifty Radio, stasiun radio alternatif yang punya berbagai program musik di situsnya. Tergabung di atap yang sama dengan Cikerti Connection, berbagai gelaran offline hingga online kerap mereka selenggarakan semalam suntuk.

Agak miring sedikit ke Kabupaten Bogor, semangat yang sama juga dilakukan oleh Noirlab. Kolektif yang berbasis di area Cileungsi dan sekitarnya ini konsisten menggarap berbagai aktivasi di sepanjang tahun ini.

Agenda mereka yang paling besar adalah gelaran Bona Fest di bulan Februari silam. Diadakan selama dua hari di Taman Sukawangi Highland, festival berkonsep alam ini digarap dengan kolaborasi bersama kolektif-kolektif sekitarnya seperti Cileungsi Jajan, Stagepolis, dan lain sebagainya, turut menampilkan nama-nama macam Basboi, Jason Ranti, Rub of Rub, dan juga nama dari Bogor seperti Bon Gallela, Akbar Savio and The Horsemen, serta Nifty Radio.

Landmark Bona Fest yang terlihat dari bawah. / Dok: Raka Dewangkara.

Selain dengan Bona Fest, Noirlab juga terkenal sebagai titik tuju dari band-band yang tengah tur dan ingin mampir ke daerah sub-urban. Dengan payung gig bertajuk Yalla Yalla, beberapa nama yang mampir di tahun ini adalah Prontaxan, Turbokidz, The Cat Police, hingga Tiga Tenaga Kuda, menyusul Gabber Modus Operandi, Ramayana Soul, hingga Sundancer yang sudah lebih dulu mampir di tahun-tahun sebelumnya.

 

Alih fungsi coffee shop menjadi venue alternatif

Perlahan tapi pasti, kisah usang mengenai kurangnya venue alternatif untuk pertunjukan musik di Bogor dan sekitarnya mulai memudar. Terhitung selama tahun 2022 berjalan, bermunculan beberapa coffee shop yang bisa dipergunakan untuk menjadi venue alternatif. Hagu Space yang berlokasi tidak jauh dari kampus IPB Cilibende adalah salah satunya.

Mereka mempunyai program musik bernama Music Service Announcement yang konsisten dilakukan di tiap bulan, bahkan kadang di tiap minggunya. Sejauh ini, sudah ada dua puluh sekian edisi yang digelar. Sajian utama mereka memang masih nama-nama dari luar kota, namun Hagu Space kerap memberikan spot untuk band serta musisi dari Bogor untuk menjadi pembuka dari tiap edisinya.

Ambil contoh saat Perunggu tampil di sana, yang membuka adalah Gluff dan Texpack. Atau saat Coldiac mampir, mereka mengajak Mery Celeste dan Voxxes sebagai penampil pembuka. Bahkan, Hagu Space baru saja dipakai untuk konser kembalinya Cause setelah enam tahun tidak mentas.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by BOGOR (@infobogor)

Halaman Belakang juga mempunyai cerita yang mirip-mirip. Berlokasi di jalan Achmad Adnawijaya, coffee shop ini juga kerap menggelar pertunjukan musik di tempat mereka.

Teranyar, Buitens turut serta dalam rombongan tersebut. Coffee shop yang terletak di jalan Puter, tepat di belakang SMPN 5 Bogor ini mempunyai perangkat DJ di tengah area mereka yang di tiap pekannya diisi oleh beberapa nama untuk open deck, mengiringi pengunjung untuk menikmati suasana dengan musik-musik kurasi mereka.

Perlahan tapi pasti, kisah usang mengenai kurangnya venue alternatif untuk pertunjukan musik di Bogor dan sekitarnya mulai memudar.

Tidak hanya coffee shop di atas saja, karena masih ada nama-nama lainnya seperti Bhumi, Sisi Kiri, Sisi Barat, hingga Fairway Cafe yang sama-sama menjadi venue alternatif untuk sebuah pertunjukan musik di Bogor dengan karakternya masing-masing.

Meski begitu, beberapa venue alternatif di luar coffee shop juga masih bisa ditemukan di Bogor. Area parkir dari Eternal Store beberapa kali digunakan oleh Minortive untuk gelaran mereka, sama halnya dengan Chiers Oaziz, sebuah bar tidak jauh dari Eternal yang belakangan ini bisa menjalin kerja sama untuk pertunjukan musik. Bengkel Tiga dan Empat di Cikaret, Cibinong yang sudah berjalan sejak sebelum pandemi pun masih tetap punya aktivasinya tersendiri.

 

Selain dengan tiga faktor di atas, tentu yang tidak boleh terlewatkan adalah hadirnya rilisan-rilisan dari band serta musisi Bogor di sepanjang tahun. Ada beberapa yang mencuri perhatian, ada juga yang menjadi sebuah awalan menuju jalan yang terbentang luas. Sebagaimana sebuah ekosistem yang tengah panas-panasnya, materi yang hadir pun lintas genre, pun seimbang dari koridor lintas generasi.

Rilisan-rilisan tersebut bisa dibagi menjadi beberapa kategori. Mulai dari materi anyar, sebuah rilisan penuh, ajang kembalinya nama lama, proyek kolaborasi, keterlibatan dalam sebuah proyek album tribute, hingga materi debut sebagai perkenalan perdana.

Dari koridor materi anyar, ada Rrag dengan maxi-single Bayang yang memuat tiga nomor, juga Asian Fusion dengan nomor “Decayed Blossom”, serta nomor teranyar Munhajat, “Duren Tiga”.

 

Rilisan penuh pun tak luput dari peredaran. Abbydzar, mantan personel Svmmerdose yang kini menempuh karier sebagai solois merilis mini album perdana, this is not the end of my story. Sama halnya dengan Krack dalam album penuhnya, Fiasco, Heaven In dengan album self-titled, Ambarila dengan self-titled, dan juga The Jansen dengan album ketiga, Banal Semakin Binal.

Selain dengan tiga faktor di atas, tentu yang tidak boleh terlewatkan adalah hadirnya rilisan-rilisan dari band serta musisi Bogor di sepanjang tahun.

Bagi Hate to Think, Det Plag Lust, dan Rasvala, tahun 2022 menjadi ajang kembalinya mereka setelah cukup lama tidak merilis sebuah materi. Hate to Think langsung ngebut dengan EP Hatred, Det Plag Lust dengan single “Impressions Part. 1”, sementara Rasvala menghadirkan single bertajuk “Ksatria”.

Kolaborasi terjadi di single milik Neal, “31:16”. Di single tersebut, mereka berkolaborasi dengan SUAR, proyek musik dari seorang Suar Nasution, mantan vokalis Pure Saturday yang di tahun 2022 juga baru saja merilis album penuhnya.

 

Cerita berbeda dilalui oleh A Curious Voynich (ACV) dan Texpack. Keduanya terlibat dalam proyek album tribute Sajama Cut, You Can Be Anyone You Want bersama 28 nama lainnya. Di album tersebut, ACV menyanyikan kembali “Terbaring Di Pundak Pesawat, Termakan Api, Terlentang, Tersenyum”, sementara Texpack dengan “These Are Wounded Things”.

Georgia Querer, nama paling muda di daftar ini, juga baru saja berkenalan dengan single debutnya, “Preserved Frame” yang rilis pada bulan Agustus silam.

 

Jadi seperti itu. Kurang lebih inilah yang terjadi di Bogor dan musiknya dalam satu tahun ke belakang.

Namun meski begitu, dari semua rentetan cerita tersebut, dari semua aspek yang saling berharmonisasi, pun juga apresiasi lebih dari luar kota, apakah penduduk kotanya sendiri tau dengan apa yang terjadi di Bogor dan sekitarnya? Dengan semua nama-nama tersebut? Dan dengan antusias yang sama tingginya?

Dalam segi festival musik di Bogor, misalnya. Berapa banyak nama di atas yang ikut diajak untuk memeriahkan gelarannya? Berapa banyak dari mereka yang punya kesempatan untuk menjajal panggung dengan rigging besar tersebut?

Dan juga untuk para pelaku di dalamnya, apakah selama ini semua yang dilakukan sudah cukup inklusif dan tidak merasa canggih sendiri? Apakah acara yang kalian garap masing-masing selama ini masih ‘itu-itu’ lagi yang datang?

Rasanya di tengah euforia yang hadir di 2022 silam, pertanyaan-pertanyaan ini secara perlahan harus dijawab bersama, ke depannya.


 

Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."

Eksplor konten lain Pophariini

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …

Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar

Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini.  …