Musik Pop di Indonesia dan Kontrol Negara
Kelompok musik Panbers lain lagi; rambut gondrong mereka disembunyikan, dimasukkan ke dalam topi saat tampil di TVRI.
Ngomong-ngomong soal TVRI, tentu kita mahfum bahwa artis-artis di televisi Orde Baru haruslah “tidak bermasalah” dengan Golkar, partai pancang Orde Baru. Maka Rhoma Irama laksana problema karena menjadi juru kampanye PPP (lirik lagu “Begadang” pun pernah diplesetkan menjadi lagu kampanye: “Menusuk boleh menusuk/Asal yang ada artinya”), Irama dicekal 11 tahun tak boleh nongol di TVRI sejak 1977. Pada suatu ketika Rhoma berpindah kubu ke Golkar, reaksi akar rumput terjadi: penggemar kecewa membakar kaset-kaset si Raja Dangdut!
Di era Soekarno, gadis-gadis Dara Puspita diharuskan wajib lapor karena kedapatan menyanyikan reportoar “kebarat-baratan” yang disebut “ngak-ngik-ngok”, sementara Koes Bersaudara dijebrolskan ke penjara. Setiap wajib lapor, disediakan satu set alat band dan Dara Puspita dites oleh aparat, diminta memainkan contoh lagu yang dilarang dan lagu yang dibolehkan. Suatu ketika, saat aparat meminta Dara Puspita memainkan lagu yang dibolehkan, mereka malah memainkan intro “(I Cant Get No) Satisfaction” dari The Rolling Stones.
Ternyata aparat tak tahu bahwa lagu itu “kebarat-baratan”, sepertinya yang mereka tahu hanya The Beatles. Di kemudian hari Dara Puspita pun mencuplik intro lagu The Stones tersebut sebagai mocking untuk lagu mereka, “Mari Mari”. Lagunya bisa didengar di sini.
Maju lagi ke era Orde Baru, mungkin ini yang paling bercucuran air mata absurd. Betharia Sonata sedang kondang-kondangnya dengan hit-nya “Hati Yang Luka” (1988). Dikategorikan sebagai “lagu cengeng”, tren musik pop sedah dirajai “sub genre” itu habis-habisan. Maka Menteri Penerangan Harmoko pun mengecam “lagu cengeng” karena, kurang lebih dikategorikan dapat “melumpuhkan semangat”. Simak lagunya di sini
Pemerintah yang represif seringkali sekaligus memantik kreativitas musisi. Indra Q saat masih bersama Slank pernah menggergaji kursi kayu untuk direkam pada lagu “Cekal”.
Sementara Rotor membuat “Pluit Phobia”, lagu thrash metal berlirik berbahasa Indonesia untuk rilisan album debutnya Behind the 8th Ball, sebagai reaksi atas sebuah undang undang lalu lintas, yang kemudian menjadi lagu klasik bagi band ini. Dengarkan di sini.
Bukan hanya musik, kaset-kaset rekaman lawak pun tak luput dari kritik-kritik seniman akan pemerintah. Banyak sekali kelompok lawak melakukan hal ini, Warkop bisa jadi yang paling lekas kita ingat.
Sementara di bidang desain grafis, salah satu yang menghebohkan adalah karya Dik Doank untuk sampul album Magis (1993) dari Atiek CB karena rancangan kolasenya memuat gambar palu-arit.
Kisah-kisah seputar pop Indonesia dan Negara yang represif tentu akan sangat panjang. Panjang sekali. Cukupkan dulu di sini.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …