NFT: Revolusi Industri Musik?
Belakangan ketika sedang susah tidur, saya akan iseng-iseng membuka aplikasi Clubhouse. Di aplikasi itu orang-orang bisa ngobrol, atau sekadar menjadi pendengar yang mendengarkan apa saja yang diomongin.
Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang mereka obrolkan, dan ternyata ada satu hal spesifik yang jadi topik hangat untuk perbincangan mereka: NFT.
Medan seni rupa Indonesia belakangan ini sedang riuh membahas NFT. Walau sebenarnya kita agak telat sih mengingat NFT sudah riuh di negara barat beberapa tahun yang lalu. Namun, enggak apa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?
Menyimak obrolan para perupa yang serius benar membicarakan NFT itu sontak memunculkan pertanyaan: selain seni rupa, apakah seni musik juga dapat di-covid-kan, eh, di-NFT-kan?
Jawabannya: bisa. Setidaknya jika kita berkaca pada industri musik di luar negeri (baca: Amerika). Grup band Kings of Leon dilaporkan mendapatkan keuntungan sangat besar karena NFT. Tapi apa yang membawa band rock berkarakter southern ke Cleveland April lalu bukanlah musiknya; itu adalah NFT yang mereka sebut sebagai “NFT Yourself.”
Token digital Kings of Leon mulai dijual pada bulan Maret dengan mata uang kripto Ethereum yang setara dengan $50 per pop, dan termasuk salinan album terbaru band, karya seni unik, catatan emas satu kali, dan hasil musik.
Menyimak obrolan para perupa yang serius membicarakan NFT itu sontak memunculkan pertanyaan: selain seni rupa, apakah seni musik juga dapat di-covid-kan, eh, di-NFT-kan?
Hanya dalam kurun waktu dua minggu, Kings of Leon menjual 6.500 eksemplar “NFT Yourself” dengan total $2,2 juta, termasuk enam “Tiket Emas” yang dijual dengan harga rata-rata $100.000.
NFT ekstra-spesial itu termasuk akses konser VIP seumur hidup ke satu pertunjukan per tur, lengkap dengan sopir. Sejak penawaran awal dua minggu, NFT telah menghasilkan $246.000 lagi dalam penjualan aftermarket, dengan band mengumpulkan 10% dari itu.
Tidak hanya Kings of Leon, banyak artis lain di barat sana yang mulai merilis karya melalui NFT. Grimes, penyanyi dan istri tech billionaire Elon Musk misalnya, berhasil menjual katya NFT-nya seharga $60 juta.
OK cukup contoh luar negerinya, sekarang kita harus membahas isu ini di Indonesia. Ada enggak sih musisi Indonesia yang mulai bermain NFT dalam proses kreatifnya? Kancah seni rupa sudah riuh membincangkan topik ini, bagaimana dengan musik? Kita akan sampai di pembahasan itu nanti, tapi sebelumnya kita harus memahami terlebih dahulu apa itu NFT, dan blockchain.
Apa itu NFT dan Blockchain?
Tidak ada cara yang mudah untuk mendefinisikan apa itu NFT dan blockchain. Ini karena keduanya adalah sebuah jaringan yang sangat rumit. Namun, kira-kira beginilah gambaran mudahnya. NFT adalah singkatan dari Non-Fungible Token. Kalau diterjemahkan secara harfiah, artinya adalah token yang tidak dapat ditukarkan.
Grup band Kings of Leon dilaporkan mendapatkan keuntungan sangat besar karena NFT.
Sederhananya, NFT adalah teknologi dalam cryptocurrency yang bisa disebut sebagai sebuah sertifikat keaslian data digital—yang kerap disebut sebagai metadata—menjamin kepemilikan resmi pihak yang punya aneka karya virtual itu, misalnya video, foto, musik, animasi, dan lukisan.
Metadata ini yang menjadikan sebuah NFT sah sebagai karya yang asli. Maka, karya digital tersebut walau diduplikat atau di-copy-paste sebanyak apapun, yang asli adalah karya yang memiliki metadata awal yang disisipkan sang pembuat karya.
Lalu apa itu blockchain? Anggap saja blockchain sebagai sebuah buku besar digital yang berisi catatan transaksi dan uang yang kita miliki. Catatan itu terbuka untuk publik, tidak seperti insitusi perbankan yang memiliki catatan resmi yang tertutup.
NFT lahir pada 2009, berbarengan dengan lahirnya bitcoin, cryptocurrency paling terkenal yang dibuat oleh sosok—atau kelompok—misterius bernama Satoshi Nakamoto.
Visi dan misi pembuatan blockchain ini jelas: menghilangkan middle-man (bank atau pemerintah), dan mendesentralisasikan transaksi secara peer-to-peer. Dengan adanya desentralisasi, kekuatan ada di semua orang yang eksis di blockhain maka bank sentral tidak akan bisa melacak apa saja transaksi yang terjadi.
Iya, blockchain ini terdengar seperti sebuah konsep anarkisme. Tapi ada benarnya juga, sih. Kalau bicara uang, seharusnya tiap personal punya kekuasaan untuk dirinya sendiri, kan. Tiap orang juga harus punya jaminan bahwa privasi mereka aman.
Visi dan misi pembuatan blockchain ini jelas: menghilangkan middle-man (bank atau pemerintah), dan mendesentralisasikan transaksi secara peer-to-peer.
Konsep desentralisasi inilah yang menjadikan banyak musisi kemudian memutuskan untuk menciptakan karya NFT. Beberapa di antaranya adalah penyanyi Imogen Heap yang pada 2017 silam menulis sebuah esai tentang bagaimanablockchain akan mengubah industri musik, dan bagaimana ini akan menjadikan musisi memperoleh kembali pemasukan dari musik yang mereka buat.
Itu tadi adalah contoh kasus di luar negeri, lalu bagaimana dengan di Indonesia? Apakah para musisi sudah mulai melek ihwal NFT, cryptocurrency dan blockchain ini?
NFT dan Blockchain di Kancah Musik Indonesia
Untuk tujuan menulis artikel ini saya mewawancarai beberapa musisi Indonesia, dan saya menemukan rupanya sudah ada lumayan banyak musisi yang membuat karya NFT. Alasan kenapa mereka mulai membuat NFT berbeda-beda. Misalnya Ananda Badudu, musisi ini mengatakan bahwa alasan kenapa membuat karya NFT awalnya karena melihat bagaimana para penggiat dan pegiat NFT ini rasa gotong royongnya tinggi. Mereka saling support satu sama lain.
Iya, blockchain ini terdengar seperti sebuah konsep anarkisme. Tapi ada benarnya juga. Kalau bicara uang, seharusnya tiap personal punya kekuasaan untuk dirinya sendiri, kan
“Karena aku melihat iklim saling support antar pengkarya gitu ya di NFT ini. Jadi kita bisa menunjukkan karya satu sama lain misalnya ada yang ngeluarin kita koleksi, terus kita jadi ngobrol di Twitter atau di Discord, terus nanti giliran kita ngeluarin dia mengkoleksi, biasanya gitu sih. Jadi saling support,” jelas Ananda Badudu.
Lain lagi Harlan Boer. Musisi yang akrab dipanggil Bin ini mengaku bahwa ia sebenarnya tidak sengaja menciptakan karya NFT. Awal perkenalan Bin dengan NFT adalah saat Cycojano, sutradara yang mengarahkan video klip Bin,memberi tahu bahwa ada fenomena baru bernama NFT.
“Cycojano, pembuat video musik lagu “Siapa Saja Merekam Pop” mengusulkan bagaimana kalau video musik itu ditaruh di NFT. Dari dia sebenarnya saya tahu tentang NFT. Saya pikir ini salah satu pilihan baru distribusi video musik hari ini. Saya tertarik berada di sana,” ujar Bin.
Sementara itu musisi Aditya Saputra menyatakan bahwa alasan pertama ia membuat NFT adalah karena sistem royalti yang akan ada terus menerus walau barangnya sudah tidak dijual di pasar pertama.
Ananda Badudu mengatakan alasan kenapa membuat karya NFT awalnya karena melihat bagaimana para penggiat dan pegiat NFT ini rasa gotong royongnya tinggi. Mereka saling support satu sama lain.
“Saat pertama tertarik sudah pasti karena konsep sistem royalti yang enggak akan putus walau sudah tidak lagi dijual di pasar pertama. Lainnya adalah konsep Non Fungible-nya yang membuat kelangkaaan (scarcity) dari si karya yang bisa menjadi nilai tersendiri, kata Aditya.
Berkaca dari pandangan Aditya, dalam dunia NTF, scarcity adalah faktor penting. Semakin langka sebuah karya semakin tinggi harga atau nilai (value) karya tersebut. Praktik ini di ranah seni tentu saja bukan hal baru. Dalam musik misalnya, untuk mereka-mereka yang masih gemar berburu rilisan fisik musik, tentu harus membayar mahal untuk menebus vinyl sebuah band bagus. Harganya bisa berkali lipat. Kenapa demikian? Karena ada unsur scarcity itu tadi.
Muncul satu pertanyaan lagi: bagaimana kriteria sebuah benda bisa disebut sebagai karya seni? Maksudnya begini, jika ada sebuah kacamata yang sebenarnya biasa saja, ditaruh di pojokan sebuah galeri seni yang kebetulan sangat ramai karena ada pameran seni. Apakah kacamata itu dapat disebut sebagai karya seni? Bisa jadi, ya, awalnya kacamata itu akan dianggap sebagai karya seni mengingat adanya konteks yang melingkupinya, tempat (galeri) sampai para pengunjung yang ke sana memang ingin menikmati esensi kesenian.
Begitupun musik. Bagaimana sebuah bunyi bisa disebut sebagai karya seni? Bisa saja itu bukan musik, hanya sekadar suara angin lalu, atau suara degup jantung.
Begitupun dengan NFT (dan blockhain), bagaimana cara menilai sebuah karya digital adalah karya seni?
Gelembung
Di dalam ilmu ekonomi, dikenal yang namanya bubble (gelembung). Gelembung adalah siklus ekonomi yang ditandai dengan eskalasi nilai pasar yang cepat, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti oleh penurunan nilai yang cepat, atau kontraksi, yang kadang-kadang disebut sebagai “crash” atau “bubble burst“.
dalam dunia NTF, scarcity adalah faktor penting. Semakin langka sebuah karya semakin tinggi harga atau nilai (value) karya tersebut.
Sepanjang sejarah modern di bawah naungan kapitalisme, kita telah mengalami banyak sekali bubble yang kemudian meluluhlantakkan perekonomian suatu negara, atau di skala lebih kecil di level keluarga. Contoh bubble yang paling kentara? Ingatlah fenomena riuhnya jual beli batu akik berapa tahun silam, itulah bubble. Lalu ada lagi gelembung dot com di awal 2000an, sampai gelembung tulip Belanda. Biasanya, gelembung tercipta oleh lonjakan harga aset yang didorong oleh perilaku pasar yang bersemangat. Selama gelembung, aset biasanya diperdagangkan pada harga, atau dalam kisaran harga, yang sangat melebihi nilai intrinsik aset.
Kondisi bubble atau gelembung ekonomi ini yang ditakutkan. Menurut beberapa ekonom, karena banyaknya orang yang terlalu bersemangat kemudian membeli atau berinvestasi di mata uang kripto dengan sangat besar, lonjakan harga mata uang kripto beberapa tahun ini sudah makin menggila nominalnya dan tidak masuk akal. Mark Mobius, seorang investor kawakan menyatakan bahwa sebenarnya kita sekarang sudah berada di posisi bubble.
“Kita berada dalam bubble (gelembung), di beberapa area di market. Terutama di pasar cryptocurrency yang tidak jelas,” kata Mobius.
Lama kelamaan layaknya balon yang kalau diisi udara penuh-penuh bakal meleduk, maka cryptocurrencies pun akan meletus jika tidak segera ditangani dengan benar.
Namun, dengan adanya ancaman letusan gelembung—yang pernah muncul beberapa waktu lalu hanya karena satu tweet Elon Musk—tampaknya masih banyak orang mengadu nasib dengan berinvestasi di NFT, blockchain, dan cyrptocurrencies.
Musisi terutama, masih menyatakan bahwa NFT dan blockchain adalah masa depan industri musik dengan desentralisasi yang ia miliki.
Karena banyaknya orang yang terlalu bersemangat kemudian membeli atau berinvestasi di mata uang kripto dengan sangat besar, lonjakan harga mata uang kripto beberapa tahun ini sudah makin menggila nominalnya dan tidak masuk akal
“Yang pasti sih kalau ngomongin industri musik memang budaya streaming itu tidak sustainable untuk sang musisi, sustainable dalam arti ya dia tidak mendatangkan keuntungan secara finansial buat senimannya, yang ujung-ujungnya bisa bikin si seniman itu alih profesi yang bisa mendatangkan uang untuk keperluan sehari-hari. Memang kalau bicara situasi sekarang ini, streaming, memang harus dikritik sih dan harus ada tawaran baru. Jadi biar lebih fair lah untuk musisinya,” tutur Ananda.
Meskipun masih sebagai pemain baru di dunia NFT, Ananda mengaku sudah mendapatkan pemasukan dengan nominal lumayan, ia juga sadar bahwa dibanding sistem pemberian royalti yang dilakukan Spotify dan Kawan-kawan, royalti atau pemasukan di NFT itu lebih besar.
“Kemarin minting cuma satu dalam sehari ada 20 orang beli, 20 orang harganya satu tesoz itu sekitar 5 dollar, berarti sudah ada 100 dolar dalam sehari. Itu jauh, itu dibagi tiga ya antara kolaborator, ini cepat sekali loh dibanding Spotify misalnya, ada satu lagu yang aku taruh di Spotify ya, “Hiruplah Hidup” itu, aku taruh tahun lalu, dalam satu tahun satu lagu hanya menghasilkan 40 dollar, satu tahun loh satu lagi. Jadi NFT sehari 100 dollar bagi tiga, yang lagu Spotify setahun 120 dollar bagi 3, ya kelihatan kan, gimana kita nggak mau beralih coba ke NFT yang memberi pada kita power lebih besar untuk menentukan berapa kita mau dihargai gitu baik secara seninya maupun finansialnya gitu,” kata Ananda.
Ananda juga sadar bahwa dibanding sistem pemberian royalti yang dilakukan Spotify dan Kawan-kawan, royalti atau pemasukan di NFT itu lebih besar
Ananda bisa jadi benar. Sudah banyak pihak yang menyerukan isu tentang betapa model streaming platform ini sungguh tidak adil terhadap musisi, dan perlu ada alternatif distribusi lainnya. Blockchain memenuhi kriteria itu. Tanpa adanya kuasa sentral yang menguasai, ia akan menjadi desentralisasi yang membebaskan masyarakat dari campur tangan negara dan korporasi. Lagipula blockchain menawarkan sistem peer-to-peer antarmanusia, jadi middle-man harus dienyahkan dari transaksi kripto ini. Para musisi bisa terhubung langsung dengan penikmat musiknya.
“Sistem royalti yang berjalan dari pemilik ke pemilik berikutnya itu sangat membuat tenang si kreator. Bahkan saat platform musiknya kolaps, royalti masih terus berjalan karena memang tercatat di blockchain,” kata Aditya.
Selama tidak dikuasai oleh garong bernama spekulan, dan para kolektor yang memborong karya seni sebagus apapun itu, Non-Fungible Token akan menjadi alternatif distribusi karya musik. Mari berharap semoga ketiganya tidak menjadi permainan spekulasi para spekulan yang mencari untung besar-besaran di jaringan komputasi terhubung lintas benua ini. Semoga NFT enggak akan meledak layaknya bubble (gelembung) ekonomi yang sejarah telah membuktikan selalu ada.
Jika dikelola dengan benar, NFT dan blockchain niscaya akan menjadi mesias yang menyelamatkan industri musik, serta memberikan keuntungan baik finansial maupun eksistensi ke para musisi.
Semoga model baru karya seni (musik) bertajuk NFT dan jaringan blockchain ini benar-benar menjadi sebuah revolusi di industri musik.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …