Nggak Usah Ribet Mengotakan Musik Dengan Istilah Genre
Sebagai seorang fans musik hip-hop pada tahun 2018, saya ingat pasti ada sebuah kejadian di mana Drake merilis albumnya yang berjudul Scorpion. Saat album itu rilis, Drake bisa dibilang menguasai playlist di Spotify sebagai salah satu campaign promosinya. Hampir seluruh playlist menampangkan muka rapper asal Kanada tersebut, mulai dari “RapCaviar”, “Are and Be”, bahkan hingga playlist yang berisikan musik salsa. Kejadian tersebut memunculkan satu pertanyaan dari hati saya. Jadi Drake itu membawakan musik dengan genre apa sih?
Tapi seperti biasa, satu pertanyaan dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak kalah menarik. Seberapa pentingnya istilah ‘genre’ di industri musik saat ini?
Di era sekarang, rasanya sudah tidak relevan lagi untuk mengotak-kotakan musisi atau fans musik dengan genre tertentu. Lagi pula, semenjak era streaming mulai berkembang dan banyak digunakan, rasanya semakin sulit juga untuk menemukan fans musik yang secara spesifik hanya mendengarkan satu jenis musik. Mungkin dulu kita familiar dengan istilah ‘Anak Punk’ atau ‘Anak Indies’ (sebutan untuk Britpop pada tahun 1990-an). Bahkan kalau mendengar cerita-cerita dari senior, di tahun 90-an itu sering terjadi perseteruan antara ‘Anak Punk’ dan ‘Anak Indies’ yang menurut saya sangat sulit untuk terjadi saat ini. Tapi saat ini emang masih ada ya tongkrongan yang hanya anak-anak fans musik tertentu saja yang bisa nongkrong?
Kehadiran internet tentunya mempermudah kita untuk mengakses konten yang tersebar melalui berbagai macam platform yang telah tersedia. Budaya streaming dan playlist juga tanpa sadar merubah cara kita mengonsumsi musik. Dengan kehadiran hal-hal tersebut, setiap individu bisa dengan mudahnya untuk meng-explore hal apapun yang menurutnya paling cocok untuk diimplementasikan di kehidupannya.
Namanya juga manusia, rasa penasaran itu nggak bakalan hilang. Setelah menemukan musik A, pasti kepo juga dengan musik B. Apa lagi ditambah dengan referensi dari teman-teman yang didapatkan entah itu dari kampus atau tongkrongan, musik yang kita makan pun tentunya akan semakin beragam. Karena berbagai macam faktor tersebut, kita pasti sering menemukan artis-artis dari berbagai macam genre yang hadir dalam satu playlist yang sama. Contohnya, ketika kalian melihat playlist milik Frank Ocean di Spotify, kalian bisa melihat di mana ada Roy Blair, Yo La Tengo, dan Black Sabbath dalam satu playlist yang sama. Menarik bukan?
Dengan masyarakat yang memiliki kebiasaan mengonsumsi musik secara omnivore, sudah seharusnya kita tidak kaget jika beberapa musisi ibu kota memiliki lebih dari satu proyek musik, dan memainkan musik yang sangat jauh dari project pertamanya. Sebagai contoh, kita pertama kali dikenalkan oleh Baskara Putra itu sebagai vokalis band rock asal ibu kota, yakni .Feast. Selang satu tahun lebih sejak rilisnya album pertama milik .Feast, ia lalu merilis musik yang masuk ke dalam kompilasi “Bertamu” milik Double Deer dengan moniker Hindia. Musik yang ia rilis dengan nama Hindia tersebut tidak memiliki nuansa musik rock sama sekali. Musiknya malah kental dengan influence dari Hip-Hop maupun Electronic-Pop.
Contoh lain, masih dari kompilasi yang sama, ada juga track dari BAP. yang berjudul “Stickshift”. BAP. merupakan salah satu nama panggung dari musisi bernama Kareem Soenharjo. Kareem memiliki tiga buah project yang digarapnya, yaitu Yosugi, BAP., dan yang terakhir BAPAK.. Nama Yosugi digunakan pada saat ia berperan sebagai producer/DJ dengan musik Hip-Hop atau trap-nya, BAP. ketika ia merilis musik rap. Sedangkan BAPAK. yang merupakan sebuah band rock dengan Kareem sebagai vokalisnya, memang cukup jomplang jika dibandingkan dengan dua project sebelumnya.
Selain musisi lokal kita yang sudah mulai memainkan berbagai macam musik, festival-festival musik besar di Indonesia pun dapat dibilang sudah sangat beragam dalam mengundang kategori artisnya. Salah satu festival musik paling gaul di Jakarta saat ini, We The Fest, bisa dibilang cukup unik dalam mengundang musisi yang akan tampil. Pada tahun 2018, We The Fest (WTF) menampilkan Seringai dan Lorde di satu hari yang sama, yakni pada hari keduanya. Hasilnya apa? Seringai sendiri mengakui bahwa hari tersebut merupakan salah satu hari di mana panggung Seringai dihadiri oleh para penonton paling ‘wangi’ yang pernah mereka rasakan.
Yang terakhir, dan yang tidak bisa dipungkiri, sebuah kata yang menurut saya saat ini sudah terlalu overused namun memiliki andil yang cukup besar dalam industri saat ini, terutama jika membahas perihal genre. Kata tersebut yakni “kolaborasi”. Sebagai contoh, siapa yang tidak tau kolaborasi antara seorang rapper asal Amerika dengan nama panggung Lil Nas X dan musisi country Billy Ray Cyrus? Semua orang pasti tahu lagu yang berjudul “Old Town Road” yang dirilis pada tahun 2019 tersebut. Lagu tersebut sangat unik dikarenakan pada saat itu, kita belum begitu familiar dengan penggabungan dua genre yang bisa dikatakan jomplang, dalam lagu mereka adalah Hip-Hop dan Country. Saking fenomenalnya, “Old Town Road” ini jadi tersedia dalam beberapa versi yang di-remix oleh beberapa musisi besar seperti Young Thug hingga RM dari BTS! “Old Town Road” ini bisa dibilang sebagai salah satu bukti nyata bahwa banyak hal positif juga yang bisa kita dapatkan jika tidak terlalu mengkotak-kotakan jenis musik.
Lagi pula, kalau kita memikirkan genre musik secara berlebihan itu rasanya cukup membuang-buang waktu. Bayangkan saja, berapa banyak sub-genre yang harus diperhatikan satu per satu? Jika dilansir dari website guitarguitar.co.uk, musik metal saja saat ini sudah memiliki (paling sedikit) sebanyak 22 sub-genre, mulai dari Heavy Metal, Thrash Metal, hingga Avant-Garde Metal. Dan saya yakin bahwa guitarguitar.co.uk belum mencakup keseluruhan genre dari musik metal tersebut.
Jadi maksud dari ocehan di atas itu, saya sendiri merasa memang sudah paling betul itu kita menikmati musik itu as a music aja. Nggak usah terlalu ribet dengan mengotak-kotakan musik dengan istilah genre. Banyak kok hal baik yang bisa kita dapatkan jika tidak terlalu terpaku pada jenis musiknya, mulai dari mengenal musik yang lebih beragam hingga bergabung dengan komunitas yang bisa jadi jauh lebih luas. Jangan terlalu termakan dengan playlist-playlist bermacam genre yang bertebaran di DSP juga, karena kebanyakan playlist juga dibuat untuk keuntungan brand dan sang streaming platform, bukan untuk musisinya sendiri. Dengerkan saja musik yang kalian mau dan membuat kalian nyaman. Musik yang membuat kalian merasa paling cocok dengan diri sendiri dan tidak terpaku pada jenis maupun genre-nya.
Penulis: Freykarensa Ersaddy Yuhandra
Mahasiswa tanggung jurusan Manajemen Produksi Mediaserba yang hobi bikin topster dan main rateyourmusic.com insta: @freykarensa
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Dimas Pradipta Sum It! Studio: Cita-cita Masa Kecil Arsitek, Besar Jadi Arsitek Suara
Di kalangan pendengar, sosok Dimas Pradipta mungkin tidak familiar. Namun jika melihat keterangan kredit lagu-lagu populer, namanya banyak tersemat di layanan streaming musik. Melihat unggahan Instagram Sum It! Studio miliknya, Dimas yang terlibat dalam …
Ramalan 9 Musisi Indonesia yang Bersinar di 2025
Kami menerbitkan artikel ramalan musisi sejak awal 2022 sebagai bentuk harapan bahwa dengan menghasilkan karya yang bagus musisi tersebut pantas untuk mendapatkan apresiasi yang lebih di industri musik. Dari memilih 10 nama, semenjak 2023 …