Nyala Aksara: 25 Tahun Grindcore Pioner Semarang, AK//47

Mar 26, 2024
AK//47 Semarang

Pada Agustus 2019, unit grindcore pioneer Semarang, AK//47 merayakan dua dekade eksistensi mereka melalui gig bertajuk “AK//47: 20 Years on the Grind” di Gosty Lounge, Semarang.

Pada pertengahan penampilan, AK//47 menyuguhkan sesi reuni dengan formasi saat mereka merilis EP Tidak Setuju (2003) dan album Barricades Close the Street but Open the Way (2006). Mereka adalah Kesit Agung (vocal, bass), Bhaskoro (gitar), dan Garna Raditya (drum).

Sebelum set dimulai, sambil mempersiapkan stand mic dan bass Kesit bersaksi soal awal-awal pertemuannya dengan sang partner-in-grind, Garna Raditya;

“Waktu aku ketemu dia untuk menjalankan band ini, kami tidak paham; mau ngapain sih bikin band kaya gini, [untuk apa] nempel-nempel poster dengan tulisan ‘Jangan Nyoblos Pemilu’? Aku nggak paham,” saksi Kesit.

“Tapi kemudian kami menyadari bahwa kami tetap melakukan ini sampai sekarang karena kami menemukan pemaknaan,” tutupnya.

Tepuk tangan dan lolongan para penonton menyambut kesaksian Kesit. Sesaat setelahnya, nomor “Yang Muda Yang Melawan” dari album Barricades Close the Street but Open the Way digeber. Para pengunjung gig yang terdiri atas pelaku musik lintas genre dan lintas generasi mulai menari liar.

Pernyataan Kesit menyiratkan bahwa selama eksis, para personel AK//47 tidak memposisikan band-nya sebagai kelompok musik semata. Jika perlu dilihat lebih dalam, membicarakan AK//47 adalah membicarakan bagaimana sebuah kelompok musik merawat tradisi membaca dan menulis dalam tubuh mereka.

Yang Muda Yang Melawan

Berdiri pada 1999, AK//47 adalah salah satu band grindcore pionir di Semarang. Formasi awal mereka adalah Kesit Agung (gitar, vokal), Celeng (bass), dan Eric (drum). Tidak lama setelah berdiri mereka langsung menulis lagu sendiri berjudul “Independent Youth” dan langsung dibawakan di gig pertama mereka pada 28 November 1999 di Taman Budaya Raden Saleh atau TBRS.

Membicarakan AK//47 adalah membicarakan bagaimana sebuah kelompok musik merawat tradisi membaca dan menulis dalam tubuh mereka

Track “Independent Youth” berisi perayaan atas eksistensi kancah musik independen di Semarang yang mulai menemukan bentuknya. Imajinasi untuk memiliki skena musik yang dikelola sendiri tanpa perlu bergantung dan manut pada korporasi besar tak lagi menjadi mimpi di siang bolong. Ruang berekspresi dan etos kemandirian menjadi fokus utama perayaan skena musik Semarang saat itu.

Rombongan punk Semarang menuju Tegal naik kereta Api, 1999 / Foto: dok. Kesit Agung

 

“Waktu itu semangatnya lebih terkunci di wilayah underground music. Itu yang kemudian menjadikan anak-anak hardcore-punk sama anak metal [di Semarang] nyatu juga,” saksi Kesit.

Kehadiran kancah musik independen memang menjadi bagian penting dalam sejarah kultur anak muda di Indonesia. Jeremy Wallach dalam “Underground Rock Music and Democratization in Indonesia” (2005) menyebut bahwa kancah “underground rock music” pada dekade 1990 adalah ruang alternatif anak muda dalam mengekspresikan diri. Saat Orde Baru meninabobokan anak muda lewat media massa dan produk budaya pop, kancah musik underground di kota-kota besar Indonesia menjadi cultural forces yang mengguncang pembiusan massal tersebut.

BI Punk, tongkrongan punk era awal di Semarang / Foto: Kesit Agung

Namun, “underground rock music” yang Wallach bicarakan tidak hanya perihal ruang berekspresi baru. Kancah musik bawah tanah pada era itu, terutama hardcore-punk, beririsan kuat dengan gerakan dan peredaran gagasan sosial-politik alternative di penghujung rezim Orba. Frans Ari Prasetyo dalam “Punk and the City: A history of punk in Bandung” menyebut bahwa irisan kancah punk Bandung dengan gagasan politik alternatif (terutama anarkisme) lahir akibat kiriman buku-buku dari jaringan punk luar negeri dan peredaran zine yang rutin dibaca para pelaku kancah.

Kedekatan tersebut tidak hanya terjadi di Bandung, tetapi juga di kota-kota lain di Indonesia. Di Semarang pertalian tongkrongan punk dengan gagasan politik alternatif salah satunya dirajut oleh kehadiran sosok bernama Bebek, seorang anggota SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Setiap kali turut nongkrong dengan gerombolan punk di Semarang, Bebek selalu membawa selebaran politik hasil fotokopian. Salah satunya, dalam ingatan Kesit, adalah selebaran dengan tulisan besar “Nasionalisme Adalah Lubang Pantat Fasisme”.

Kehadiran beragam bacaan alternatif juga turut mengubah jalan AK//47. Dari perayaan independensi kancah musik, AK//47 menggeser haluan untuk memuat isu-isu sosial-politik Indonesia dan sikap penolakan total atas otoritas dalam lagu-lagu mereka.

Para personel AK//47 lalu memposisikan band mereka sebagai organ gerakan politik pada masa itu. Fokusnya adalah menginfiltrasi gagasan-gagasan politik pada tongkrongan masing-masing personel

Secara personal, bacaan pertama yang memantik Kesit untuk mengubah haluan band adalah novel Saman (1998) karya Ayu Utami. Kesit mengaku dari membaca Saman, ia mendapatkan gambaran lebih utuh atas kekejaman Orde Baru.

“Aku ini kan anak seorang PNS yang hidupnya tidak kurang, tidak lebih. Jadi aku tidak mengerti arti penderitaan rakyat itu seperti apa. Aku hanya mahasiswa biasa saja, fans Nirvana, dan suka bermusik,” tutur Kesit. ““[Novel] Saman itu salah satu buku yang menyadarkan aku pemerintahan Soeharto itu berjalan dengan mekanisme bagaimana, militerisme itu bagaimana sih kejamnya,” tambahnya.

Sikap dan ideologi politik AK//47 makin menajam saat Garna Raditya kembali ke Semarang pada tahun 2000. Garna, yang kelak bergabung dengan AK//47, membawa beragam zine dan bacaan alternatif yang ia dapatkan saat nongkrong dengan kolektif AFRA (Anti-Fascist-Racist Action).

AK//47 live Youth Attack #3, 2008 / Foto: dok. Kesit Agung

 

Para personel AK//47 lalu memposisikan band mereka sebagai organ gerakan politik pada masa itu. Fokusnya adalah menginfiltrasi gagasan-gagasan politik pada tongkrongan masing-masing personel.

“Jadi kemudian kami membagi tugas ‘Sit, kamu ngurusi anak-anak hardcore-punk, aku ngurusi anak-anak indie’,” tutur Kesit menirukan Garna.

Beberapa tahun setelah Soeharto mengundurkan diri, harapan akan perubahan sempat tersemai. Namun, harapan gugur sebelum sempat dipanen. Para elit berkonsolidasi ulang dan perubahan kembali tidur siang. Gerakan sosial-politik pun menemukan kebuntuan dalam dirinya sendiri. Pada saat yang sama, kancah musik bawah tanah yang semula diselimuti etos D.I.Y mulai mengarah pada kompromi dengan etos pasar yang semula mereka tolak.

Mereka yang tetap menempuh jalur gorong-gorong pun sempat mengalami kemandegan imajinasi. Orang-orang yang menceburkan dirinya pada aktivisme akar rumput banyak yang mengalami demoralisasi akibat rangkaian kekalahan ini.

AK//47 yang berada dalam pusaran peristiwa-peristiwa tersebut lalu menemukan pemaknaan baru dari tradisi baca-tulis dan berdiskusi.

Punguti Aksara, Jadikan… Senjata!

Album Barricades Close the Street but Open the Way (2006) adalah contoh pergeseran gagasan politik dalam tubuh AK//47. Tajuk dari album yang menggabungkan groove New York Hardcore dengan grindcore ini diambil dari salah satu graffiti pada gerakan Paris Mei ’68. Gerakan sosial ini sangat dipengaruhi gagasan Situationis Internasional yang merengkuh spontanitas, kecairan, dan kekuatan kata-kata dalam memprovokasi imajinasi di ruang urban.

 

Take Backing Vocal Album Barricades, 2006 / Foto: dok. Kesit Agung

 

AK//47 mendapatkan gagasan Situasionis Internasional (SI) dari membaca zine-zine terbitan kolektif Kontra Kultura (Bandung) dan terjemahan CrimethInc. Gagasan SI menjadi gagasan alternatif untuk para personel AK//47 atas gerakan sosial yang mandeg, kaku, dan membosankan.

“Dengan adanya SI ini membuat semuanya menjadi fun, tidak terlalu akademis, tidak terlalu sophicticated seperti filsafat. Permainan mereka dengan kata-kata juga sangat jenaka. Aku kira, pada saat itu anarkisme hanya cerita tokoh-tokoh anarkis. Belum ada kita dengan varian-varian anarkisme, masih sekadar -isme yang mentah,” saksi Garna.

[FOTO: Launching Album Barricades, 2006]

Launching Album Barricades / Foto: dok. Kesit Agung

 

Produk tulisan kembali campur tangan dalam proses artistik AK//47 pada album Verba Volant Scripta Manent (2016). Kesit yang menulis lirik-lirik di album tersebut mengubah gaya tulisannya. Ia mulai memainkan metafora dan gaya sastrawi. Perubahan tersebut, lagi-lagi, akibat Kesit membaca novel Ayu Utami, Bilangan FU (2008).

Aktifitas membaca tidak hanya membuat AK//47 memperbaharui produk-produk musiknya. AK//47 turut menceburkan diri pada aktifitas non-musikal yang berkisar pada tradisi baca-tulis.

Pada 2001, mereka merilis zine Stab from the Back yang adalah media massa resmi dari AK//47. Sebenarnya baik Garna dan Kesit sudah menerbitkan zine personal sebelumnya. Kehadiran zine Stab from the Back adalah rupa lain tradisi kritisisme mereka akan kondisi sekitar. Di dalam zine ini mereka memuat tulisan kritik atas narasi “unity” dalam kancah hardcore-punk yang stagnan dan membosankan. Ada juga tulisan soal keterlibatan politik tidak harus bergantung pada para nabi palsu dan gerakan massal. “There Are 1000 Ways to Resist, Mother F*ckers” tulis mereka, besar-besar.

Dalam perjalanan hardcore-punk lokal, praktik band merilis zine sendiri tidak terlalu umum. Sejauh penelusuran saya pada gelombang awal kancah hardcore-punk lokal, band yang melakukan ini adalah Kontaminasi Kapitalis (Bandung) dengan zine Kontaminasi Propaganda, Sexpunk (Makassar) dengan zine Suara Punkrockers, dan Life for Anything Else (Semarang) dengan newsletter Monotone dan zine Muntah. Di kancah arus utama ada Slank yang menerbitkan Koran Slank (KanS) sepanjang tahun 2002-2011.

Dari tradisi baca-tulis yang dirawat intens ini, AK//47 menjadi outlet dari beragam kritik dan gagasan alternatif atas kondisi harian. AK//47 menjadi krusial bagi banyak orang, bahkan pada para generasi muda musik Semarang hari ini.

Zine rilisan band pada era ini tidak diposisikan sebagai suplemen dari rilisan musik. Zine-zine tersebut dapat dilihat sebagai upaya band membuka dialog lebih dalam dengan para pendengar/penggemarnya. Band pun dapat lebih leluasa menyebar kabar dan mengartikulasikan diri mereka dalam produk zine.

Pada 2015, para personel AK//47 melanjutkan kembali membawa tradisi baca-tulis pada tingkatan lain; membuat perpustakaan bernama Kaum Kera Infoshop di tempat usaha sablon yang dikelola Garna.

Kantor usaha sablon tersebut sering dijadikan lokasi nongkrong para penggiat musik Semarang. Melihat intensitas berkumpul yang sering di sana, Kesit dan Garna berinisiasi untuk mengubah salah satu ruangan di kantor tersebut menjadi perpustakaan yang bisa diakses banyak orang. Katalog awalnya berisi sumbangan koleksi pribadi semua yang terlibat di tempat usaha tersebut.

Perkembangannya, Kaum Kera Infoshop tidak hanya dijadikan perpustakaan dan tempat nongkrong, tetapi juga diisi beragam aktifitas seperti diskusi, nonton bareng, workshop, dan pembentukan webzine tempat tulisan yang memuat beragam tulisan karya pelaku musik dan literasi di Semarang.

Aktifitas Sortir Koleksi Buku di Kaum Kera Infoshop / Foto: dok. Kesit Agung

 

Dari tradisi baca-tulis yang dirawat intens ini, AK//47 menjadi outlet dari beragam kritik dan gagasan alternatif atas kondisi harian. Posisi ini yang membuat AK//47 menjadi krusial bagi banyak orang, bahkan pada para generasi muda musik Semarang hari ini.

Tendi Munthe, personel unit neo-crust Integrall, mengaku bahwa lirik-lirik AK//47 pernah mengganggu pikirannya. Pertemuan pertama dengan AK//47 adalah tahun 2018, saat Tendi masih menjadi mahasiswa di Semarang. Tendi sangat menyukai lirik-lirik AK//47 di album Verba Volant Scripta Manent (2016). Ia mengaku album itu adalah pertemuan pertamanya dengan format lirik penuh amarah a la hardcore-punk, tetapi juga terasa bijak sebab memuat ajakan untuk mengintervensi kondisi agar menjadi lebih baik.

Tulislah ucapan/ Simpanlah, sebarkan/ Punguti aksara, jadikan sejarah” dalam track “Punguti Aksara” adalah yang paling Tendi ingat.

Namun, ada satu track yang mengusik kepalanya saat mendengar album Loncati Pagar Berduri (2018), yaitu track “Bebas Berkelamin”.

Pada 2015, para personel AK//47 melanjutkan kembali membawa tradisi baca-tulis pada tingkatan lain; membuat perpustakaan bernama Kaum Kera Infoshop di tempat usaha sablon yang dikelola Garna.

Tendi mengaku track “Bebas Berkelamin” mengusik pikirannya yang saat itu melihat orang dengan orientasi seksual non-hetero sebagai orang “sakit”. Track itu memantik dirinya memikirkan ulang dan membongkar isi kepalanya sendiri. Setelah berkutat lama dengan pikirannya, Tendi akhirnya tidak melihat orientasi seksual tidak ada hubungan apa-apa dengan tindakan brengsek seseorang.

“Misal ada orang homo, tapi dia melakukan pelecehan seksual pada laki-laki, berarti ya orangnya yang ngawur, bukan karena orientasi seksualnya,” saksi Tendi. “Meski butuh waktu yang lama, tapi [lagu AK//47] kaya jadi trigger untuk belajar sesuatu yang lain,” tambahnya.

Dheni Fattah, vokalis band hardcore-punk KERRRA! asal Ambarawa, Kabupaten Semarang, mengaku bahwa AK//47 “selalu berhasil membuatku menjaga kewarasanku untuk berimajinasi tentang kehidupan yang lebih baik meski di tengah segala ketidakmungkinan.”

Dari pertemuan pertama Dheni dengan AK//47 pada 2015 dalam gig di K4 Studio, Kota Salatiga, Dheni terus mengikuti perjalanan AK//47 dan menekuni rilisan-rilisan mereka. Dari sana Dheni mendapat pengalaman lain dari mendengarkan musik.

Saat ini AK//47 berbasis di Oakland, California, Amerika Serikat. Namun, Indonesia, terutama Semarang, tidak dapat dilepaskan dari tubuh AK//47. Ini dapat dilihat dari aktifitas mereka di media sosial dan album terbaru mereka Menari Dalam Abu Algoritma (2024)

“AK//47 memaksaku belajar untuk menikmati musik tidak hanya dari aspek materi saja, melainkan sudah seharusnya menikmati musik juga secara gagasan yang dilontarkan pembuat musik,” saksi Dheni.

Dheni saat ini sedang menyelesaikan studi sarjana di Sastra Indonesia Universitas Diponegoro. Untuk merampungkan studinya, Dheni memilih menganalisis enam lagu di album Loncati Pagar Berduri sebagai objek dalam skripsinya.

“Aku pengen mencatat semangat mereka saja sebenarnya dan ya mereka sudah pantas untuk dicatat. Nggak ada alasan lain,” tegas Dheni.

Cahaya Bisa Dibuat, Petir Tidak Bisa Direncanakan

Saat ini AK//47 berpindah basis ke Oakland, California. Dua bulan dari rilisnya Verba Volant Scripta Manent, Garna Raditya pindah domisili ke Amerika Serikat. Namun, Indonesia, terutama Semarang, tidak dapat dilepaskan dari tubuh AK//47. Ini dapat dilihat dari aktifitas mereka di media sosial dan album terbaru mereka Menari Dalam Abu Algoritma (2024) yang menginkorporasi sound kasar a la Bay Area.

Melalui akun media sosial Instagramnya, AK//47 mempraktikkan hal yang sama seperti saat merilis zine, Stab from the Back. Tersebar postingan AK//47 yang mengabarkan konflik di Indonesia, pernyataan sikap atas kondisi terkini, hingga resensi buku. Saat ini AK//47 memiliki kanal podcast Kaum Kera Podcast. Podcast ini rutin membahas beragam isu di Indonesia dan Semarang, mulai dari musik, politik, sejarah, hingga aktifitas generasi baru kancah musik di Semarang dan sekitarnya.

“Kalau dari album, aku nggak bisa lepas dari Indonesia. Dan nggak tahu kenapa, aku melihat situasi di sini hubungannya ada dengan yang terjadi di Indonesia,” tutur Garna.

Garna mencontohkan konflik agraria dan penggusuran di Indonesia dapat dihubungkan dengan gentrifikasi di Bay Area akibat menjamurnya raksasa teknologi macam Facebook dan Google. Kondisi tersebut yang melatari ditulisnya track “Digusur Dari Tanah Subur”.

Hal lain ada dalam track “Gotong Royong Itu Ada” yang judulnya terkesan seperti slogan Kementerian Penerangan era Orde Baru. Garna memilih frasa “gotong royong” menyimbolkan praktik dengan semangat mutual aid yang kental. Namun, frasa ini terasa asing karena sering dibajak oleh pemerintah untuk dijadikan jargon belaka. Track “Gotong Royong Itu Ada” lalu diposisikan sebagai praktik perebutan kembali bahasa yang kadung dikooptasi Orde Baru.

“Memang kata gotong royong dikooptasi oleh Orde Baru, akhirnya kita merasa agak tabu menggunakan kata ini. Sebenarnya secara nilai anarkisme, [dalam gotong royong] itu ada. Tinggal nanti konteks gotong royong kita masukkan ke dalam kehidupan sehari-hari,” terang Garna.

Sepanjang 25 tahun eksis, perjalanan AK//47 dapat dilihat sebagai perjalanan sebuah band yang terus merawat trandisi membaca dan menulis dalam aktifitas harian mereka. Hasilnya adalah kesediaan untuk berubah dan membongkar-pasang isi kepala. AK//47 tetap menjadi kelompok musik yang progresif, tetapi lebih jauh mereka terus eksis untuk mendulang nyala aksara.

*Tulisan ini adalah cuplikan dan upaya awal dari penulisan buku 25 tahun AK//47 yang akan dikerjakan bersama Pujo Nugroho, penulis dan periset asal Semarang.

 


 

Penulis
Gregorius Manurung
Mahasiswa off-side Sastra Indonesia Undip dan staf redaksi Highvoltamedia.com. Tulisannya terbit di Highvoltamedia.com, Tirto.id, dan beberapa webzine/zine. Sedang merencanakan pendirian penerbitan musik dan subkultur lokal, terkhusus Semarang.
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Hafiz islami
Hafiz islami
1 month ago

NICE ARTICEL MAS GREG 🙏

Eksplor konten lain Pophariini

Lirik Lagu Empati Tamako TTATW tentang Mencari Ketenangan dan Kedamaian

Penggemar The Trees and The Wild sempat dibuat deg-degan sama unggahan Remedy Waloni di Instagram Story awal November lalu. Unggahan tersebut berisi tanggapan Remedy untuk pengikut yang menanyakan tentang kemungkinan kembalinya TTATW.     …

Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024

Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11).  Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …