Padang Moonrise: The Birth of the Modern Indonesian Recording Industry (1955​-​69)

May 19, 2023

Kekayaan terhadap apa yang disebut sebagai ‘musik modern’ Indonesia dimulai sejak label-label seperti Irama, Lokananta dan lainnya mulai merekam lagu-lagu yang berakar dari musik daerah digabungkan dengan beberapa pengaruh dari musik barat yang sejak 17 Agustus 1959 mendapat teguran keras dari Presiden Soekarno dalam pidato Manipol-USDEK yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut.  

“ ……Dan Engkau, hai pemuda-pemuda pemudi-pemudi. Engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi dan penentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme  kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock’n-rock’n- rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?…..”

Soekarno juga mengingatkan dalam pidato Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1959 di Surabaya bahwa kita harus melindungi kebudayaan kita dari pengaruh imperialisme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. 

Respon musisi terhadap pelarangan itu berbuah kepada bentuk-bentuk modernisasi dalam musik Indonesia yang menyelipkan musik daerah atau musik berbahasa daerah dengan asupan dari musik barat, dari jazz, afro-latin, doo-wop termasuk rock & roll. 

Hasilnya adalah pusparagam lagu-lagu Indonesia modern yang tergambar jelas di kompilasi garapan Soundway Records ini. Soundway sendiri adalah label asal Inggris yang dikenal dengan konsistensinya dalam menghadirkan ulang musik dan budaya populer suatu negara yang tergambar jelas dalam beberapa kompilasi yang dibuat sebelumnya, dari Afrika, Kolumbia, Argentina, Nigeria dan beberapa negara lainnya.

Padang Moonrise  secara jelas membawa kita throwback kepada ke masa-masa awal industri rekaman kontemporer Indonesia lewat kurasi 27 lagu dari Miles Cleret yang memberikan gambaran jelas tentang bagaimana situasi musik Indonesia di masa-masa 10 tahun setelah kemerdekaan. 

Menyimak ke dalam, kita bisa lihat bagaimana pengaruh musik dan bahasa Sunda sangat kuat dalam menciptakan ekspresi bermusik, mulai dari “Bulan Dagoan”-nya Orkes Teruna Ria, Yanti Bersaudara – Gumbira, beberapa track Nada Kentjana, Orkes Sendja Meraju, Mus. D.S termasuk Ivo Nilakreshna. Kita juga bisa merasakan bagaimana pengaruh musik rock ‘n roll dan unsur Mandarin bisa menciptakan ekspresi eksotisme yang unik di lagu Zaenal Combo di “Tandung Tjina”. Tak hanya itu, Zaenal Combo juga paten dalam meningkahi irama padang pasir ke dalam lagu macam “Seruling”, termasuk lagu berbahasa Bali di track “Kaden Sadje”. Sementara lewat lagu “Pantjaran Kasih” kita bisa merasakan perkawinan apik antara jazz, latin dengan notasi melayu yang dimainkan Orkes Tropicana, seperti juga tergambar di lagu “Tak Ton Tong”-nya garapan Orkes Teruna Ria. Bagaimana kita tidak terkejut akan fusi keroncong dan musik cha-cha yang ngebut bisa terdengar keren lewat ekspresi Orkes Kelana Ria di lagu “Sojang”. 

‘Suara-suara baru dari masa lalu’ ini makin menyakinkan saya bahwa musisi Indonesia di masa lalu adalah sosok-sosok yang cerdas dalam menggunakan otak dan rasa mereka dalam menerjemahkan gagasan hingga timbul ekspresi musik yang beragam yang ketika dikumpulkan jadi satu, menjadi sebuah pusparagam perjalanan musik penanda zaman yang dihadirkan ulang dengan baik oleh Soundway secara komprehensif.  

Hanya saja, beberapa catatan penting yang mengusik perhatian saya terhadap Padang Moonrise ini adalah soal judul dan cover garapan Lewis Heriz yang mengundang pertanyaan pada awalnya apakah ini menjadi kompilasi lagu-lagu Minang (mengacu kepada rumah gadang sebagai sampul album ini) atau ketika ini mengacu kepada arti ‘Terang bulan’ dalam bahasa jawa, seharusnya ditulis “Padhang” yang dalam bahasa jawa artinya terang, lebih pas jika dikaitkan dengan kata Moonrise sebagai tajuk album ini. Overall, kompilasi yang tersedia di layanan streaming digital dan dalam format double vinyl ini layak didengarkan dan diapresiasi.

  

   

 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …

Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar

Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini.  …