Parakuat – Api Dan Tanah

Aug 12, 2022

Menarik menemukan entitas musik yang punya sebuah gagasan yang berbeda dari kebanyakan. Kita lihat bagaimana Senyawa berhasil menggeluti dan membawa musik noise eksperimentalnya sampai ke mancanegara, demikian juga nama seperti Gabber Modus Operandi. Hari ini, mungkin Parakuat adalah contoh menarik, moniker dari Eri RM, musisi elektronik asal Bandung menemukan jatidirinya sejak lama di ranah musik elektronik arus pinggir yang selalu menarik untuk dilihat.

Sekadar informasi, Eri Rm sendiri memulai karier musiknya sebagai gitaris, arranger dan juga komposer yang dimulai dari tahun 1999 hingga ia menemukan karakternya sebagai musisi elektronik bersama Parakuat yang awalnya menampilkan konsep duo bersama Duo bersama Vicky Mono hingga berakhir menjadi hanya ia sebagai punggawa satu-satunya.

Ia memulainya dengan Fundamental of Desire (rilis 2019). Di album tersebut, kita mendengar bagaimana Eri bisa mencurahkan energinya yang berlebih untuk melahirkan sebuah album elektronik dengan menampilkan berbagai macam musisi sebagai kolaborator. Kita lihat aransemen-aransemen yang gagah dan bernas di sana, bagaimana setiap karakter lagu ia bangun terarah sesuai dengan kolaborator yang ia ajak. Semua terdengar segar.

Sayangnya, hal ini ternyata tidak terulang dengan baik di Api dan Tanah, album keduanya yang dirilis baru-baru ini. Alih-alih mengulang formula yang sama, Eri lebih memilih mencoba pendekatan dengan mengambil alih semua lini, dari songwriting, singing sampai mixing dan mastering, dan ini menurut saya menjadi bumerang.

Terlepas dari konsep tema album yang disusun secara baik, tentang hubungan iblis (yang digambarkan sebagai api) dan manusia (sebagai tanah), dihubungkan secara filosofis dengan cerita zaman Mesir Kuno, secara musik dan lirik, album ini jujur tidak sekuat apalagi menandingi album debutnya.

Dari 3 lagu pertama saja, “Sains Adam”, “Mura” dan “Tembuk Binar” saya sudah dibuat bosan dengan repetisi baik dari rasa-rasa di ketukan, notasi vokal yang seakan tak bernyawa juga dinamika lagu yang ‘kosong’. Saya bak tak menemukan nyawa di lagu ini karena setiap lagu dibuat hampir serupa alias mirip.

Atau mungkin ini kecurigaan awal saja, sama seperti misalnya mendengar album-album punk yang memang hanya ditulis dengan format tiga kunci dengan ketukan yang memang itu-itu saja, namun untuk sebuah karya musik elektronik apalagi melihat sosok Eri sebagai musisi senior, saya menyayangkan bahwa album tak bisa memenuhi ekspetasi saya, setidaknya seperti yang saya dapatkan di debut albumnya.

Memang beberapa bebunyian seperti sitar, veena dan tabla cukup membuai saya awalnya, mengingat saya amat suka dengan unsur psikedelia timur, namun ternyata ini hanyalah jadi buaian semu ketika sudah masuk ke badan lagu.

Dari segi lirik, kemampuan Eri dalam menulis dengan bahasa Indonesia pun terasa kurang tepat menancap. Lirik-lirik yang dibuat seakan masih mengawang, rima yang susun belum bisa relate dengan apa maksud dari tema yang disampaikan, apakah ini berhubungan dengan pemakaian diksi-diksi yang terlalu tinggi sampai terasa berjarak dengan pendengar, apalagi awam yang mungkin ingin menyelami musiknya.

Di wilayah vokal, jujur harus saya katakan Eri bukan penyanyi yang baik. Suaranya yang tipis, tarikan-tarikan blues yang sama sekali tidak cocok dengan konsep musik yang ia buat ini.

Meski demikian, kekecewaan ternyata saya tidak seratus persen, album ini menyisakan satu nomor instrumental “Haram” yang harus saya apresiasi dengan baik. Dibuka dengan sitar di awal, disusul dengan bebunyian modular synthesizer yang dibuat pekat, muram, seolah berjalan di badai pasir.

Overall, meski belum memenuhi ekspetasi saya sebagai sebuah album, setidaknya ini jadi pelajaran menarik buat Eri untuk bisa membuat sesuatu yang lebih baik lagi di karya berikutnya.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah

Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11).     Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …

Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar

Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …