Pembuktian Sheila on 7 di Kisah Klasik Untuk Masa Depan

Sep 25, 2021
 Sheila on 7 Kisah Klasik untuk Masa Depan

Ada satu hal yang ditakuti banyak artis pendatang baru yang mengalami kesuksesan di album perdananya. Hal tersebut dikenal sebagai sophomore slump, atau yang artinya kurang lebih adalah album kedua yang jeblok. Tidak jarang sang artis berhadapan dengan dua pilihan dalam membuat album keduanya, yakni menghasilkan karya yang tak terlalu jauh berbeda dibanding yang sebelumnya dengan risiko dibilang tidak kreatif demi mengulangi kesuksesan yang belum tentu didapat juga; atau membuat album kedua yang begitu berbeda dibanding yang pertama dengan dalih naik kelas dan pendewasaan sehingga terasa seakan-akan bertolak belakang, dan berisiko membuat mereka ditinggal penggemar yang terlalu jatuh cinta dengan album sebelumnya.

Melalui Kisah Klasik untuk Masa Depan, Sheila on 7 seakan-akan menertawakan sophomore slump sekaligus membuktikan kalau mereka bukan one album wonder atau fenomena sesaat. Dalam berbagai aspek, Kisah Klasik untuk Masa Depan dapat dianggap sebagai arketipe album kedua yang baik. Terdapat perkembangan musikalitas dari kuintet pop rock asal Yogyakarta tersebut dibanding album Sheila on 7, namun di sisi lain tidak melenceng terlalu jauh dari pakem yang sudah dicetuskan di album perdana tersebut. “Kami benar-benar memperbaiki apa yang kami belum lakukan di album pertama,” kata bassis Adam Subarkah di tahun 2005 tentang album kedua Sheila on 7 itu.

Kalau di album-album berikutnya Sheila on 7 mulai melakukan berbagai eksperimen seperti aransemen yang lebih liar dan merambah genre lain seperti country dan hip-hop, serta menulis lagu tentang membayangkan pernikahan dan nasib anak-istri, di Kisah Klasik untuk Masa Depan mereka masih membicarakan topik-topik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari anak muda seperti persahabatan dan hubungan dengan kekasih, baik yang gelap maupun terang. “Judulnya Kisah Klasik Untuk Masa Depan karena apa yang kita lakukan sekarang akan menjadi klasik buat masa depan. Kita akan bertemu dan omong itu selalu,” kata Eross Candra, gitaris dan pencipta lagu utama Sheila on 7 di tahun 2005. “Kalau ketemu teman-teman SMA-ku, yang diceritakan kenakalan-kenakalan itu. Aku ingin album itu bisa ingatkan orang pada masa-masa tertentu dia. Kalau dia dengar album itu, dia akan teringat masalah waktu itu.”

Musiknya pun masih segaris dengan album sebelumnya, tapi dengan anggaran yang lebih besar. Berkat kesuksesan album pertama yang direkam dengan peralatan seadanya, mereka bisa bekerja dengan instrumen-instrumen yang lebih canggih. “Kami sangat menikmati alat-alat, aku dan Adam pergi berbelanja,” kenang Eross.  Sementara itu, kalau di album Sheila on 7 mereka memakai suara orkestra sintetis, maka untuk album keduanya mereka sudah bisa menggandeng Erwin Gutawa untuk membuat aransemen string section yang dieksekusi oleh Sa’Unine sehingga membuat “Sephia” dan “Tunjuk Satu Bintang” terdengar lebih mewah. Walau demikian, vokalis Akhdiyat Duta Modjo mengaku di tahun 2005 kalau penyempurnaan itu bukanlah segalanya. “Kami terlalu memerhatikan detailnya. Gue suka albumnya, cuma kalau gue dengar sama yang pertama, terasa lebih segar yang pertama,” katanya.

Dari segi kesuksesan, tak dapat diragukan lagi bahwa pencapaian Kisah Klasik untuk Masa Depan menyamai dan bahkan melebihi Sheila on 7, termasuk dari segi penjualannya yang mendekati 2 juta kopi secara total di Asia Tenggara. Kalau di era album pertama rasanya seperti videoklip “Dan…”, “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” dan “J.A.P” akan muncul setiap kali menyalakan televisi, maka di album kedua gilirannya “Bila Kau Tak Disampingku”, “Sephia” dan “Sahabat Sejati” untuk menjajah layar kaca, radio dan tempat umum mana pun yang memutar musik. Saktia Ari Seno, mitra Eross di divisi gitar ketika itu, berkata di tahun 2005,  “Wah, itu mahakaryanya Sheila. Album itu paling banyak laku. Di Malaysia juga paling banyak laku. Kisah klasik untuk masa depan betul!”

Walau Sakti dan pemain drum Anton Widiastanto sudah lama keluar dari Sheila on 7, lagu-lagu yang ada kontribusi mereka dari album ini masih kerap dibawakan di panggung, dengan “Sebuah Kisah Klasik” seringkali sebagai penutupan pertunjukan. Perkembangan waktu memang mengakibatkan penjualan jutaan kopi menjadi fenomena masa lampau, namun sebagai gantinya platform-platform digital telah membuat album seperti Kisah Klasik untuk Masa Depan menjadi mudah diakses oleh generasi yang baru atau bahkan belum lahir di masa puncak kejayaan Sheila on 7. Kini mereka pun bisa menjadikan Kisah Klasik untuk Masa Depan sebagai musik latar untuk mengiringi kisah-kisah hidup mereka yang klasik.

 


Kisah Klasik untuk Masa Depan,  Sheila on 7  (2000, Sony Music Indonesia) . Peringkat ke 03 dalam daftar 20 Album Terbaik Label Arus Utama 2000-2020

Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya

Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …

Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta

Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …