Perkara Data & Jalan Sunyi Pengarsipan Lokananta

Jan 6, 2022
Lokananta

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) dikabarkan akan meminta seluruh aset digital milik Lokananta. Dari surat yang sempat beredar di publik, aset-aset digital miliki label dan studio rekaman milik negara ini akan dipergunakan untuk membangun Big Data (Audio Library) RRI yang akan digunakan oleh pihak internal maupun publik.

Isu Big Data di industri musik memang mengemuka, seiring dengan keberadaan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta juga atuan turunannya yakni PP Nomor 56 Tahun 2021 terkait Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Aturan yang diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Maret 2021 tersebut mensyaratkan keberadaan pusat data yang menaungi seluruh lagu atau musik yang telah dicatatkan dalam daftar umum ciptaan.

Perubahan konsumsi musik dalam satu dekade terakhir semakin mepertegas pentingnya keberadaan pusat data. Streaming, jelas Andre Jansson dalam Beyond the Platform: Music Streaming as a Site of Logistical and Symbolic Struggle (2021) pada akhirnya menuntut konektivitas antarmedia, seperti TikTok yang mempertemukan platform distribusi musik dan film. Lagu dan musik kemudian tidak sekadar menjadi sekadar karya seni yang didistribusikan ke pendengarnya. Menurut Jeremy Wade Morris dari University of Wisconsin-Madison, lagu dan musik kini menjadi data yang diperlakukan seperti perangkat lunak yang dapat dieksplorasi serta dioptimalkan menjadi beragam konten.

Streaming pada akhirnya menuntut konektivitas antarmedia, seperti TikTok yang mempertemukan platform distribusi musik dan film

Di Indonesia, optimalisasi karya lagu dan musik ini masih terbentur dengan persoalan royalti serta legalitas. Penelitian yang dilakukan Nevey Varida Ariani dari Kementerian Hukum dan HAM RI mengungkapkan tidak adanya database musik di Indonesia yang setidaknya memuat data pencipta dan pemilik hak terkait dari setiap lagu yang beredar. Basis data ini penting mengingat platform digital seringkali kesulitan untuk mendistribusikan royalti karena tidak dapat mengidentifikasi pemilik hak cipta suatu karya.

Persoalannya, kerja-kerja pendataan selama ini tidak pernah dianggap penting jika tidak ada sengketa. Saya teringat ketika melakukan reportase bersama rekan Ayos Purwoaji ke Lokananta satu dekade silam. Saat itu media sedang santer memberitakan persoalan keaslian lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” serta klaim  lagu “Rasa Sayang Eh” yang muncul di iklan promosi pariwisata negeri jiran tersebut. Perkara tersebut pada akhirnya menemukan titik terang setelah arsip rekaman asli kedua lagu tersebut tersimpan di Lokananta dalam kondisi, saat itu, yang penuh debu serta tanpa ruangan penyimpanan yang memadai.

Di Indonesia, optimalisasi karya lagu dan musik ini masih terbentur dengan persoalan royalti serta legalitas. Tidak adanya database musik di Indonesia yang setidaknya memuat data pencipta dan pemilik hak terkait dari setiap lagu yang beredar adalah sebabnya

Dari arsip Lokananta, diketahui kalau “Negaraku” judul aslinya adalah “Terang Bulan” ciptaan Saiful Bahri yang asli orang Indonesia. Lagu berdurasi 11 menit 15 detik ini pernah direkam di RRI Jakarta tahun 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin langsung oleh Saiful Bahri. Aden Bahri, ahli waris lagu “Terang Bulan” menuturkan bahwa lagu ini dihadiahkan Presiden Soekarno untuk Malaysia. Sementara “Rasa Sayang Eh” aslinya berjudul “Rasa Sajange”. Lagu tersebut merupakan salah satu  lagu daerah yang masuk masuk dalam kompilasi Asian Games: Souvenir From Indonesia. Album ini merupakan buah tangan dari Indonesia bagi negara-negara peserta Asian Games IV di Jakarta pada tahun 1962, dimana Malaysia menjadi  salah satu pesertanya.

Reportase tersebut, yang kemudian kami lakukan kembali di tahun 2015, juga memberikan gambaran bahwa kerja-kerja pendataan juga pengarsipan yang menyertainya adalah sebuah jalan sunyi. Rekaman-rekaman penting yang punya nilai sejarah didata kemudian dialihformatkan satu demi satu secara swadaya oleh Lokananta. Beberapa bantuan datang  dari kelompok masyarakat yang menaruh kepedulian. Salah satunya dari Galeri Malang Bernyanyi yang menyumbang sampul untuk koleksi piringan hitam dari hasil sumbangan publik. Juga Lokananta Project, di mana saya juga terlibat di dalamnya, yang membangun perpustakaan digital untuk arsip Lokananta yang sayangnya tidak berlanjut.

Kerja pendataan selama ini tidak pernah dianggap penting jika tidak ada sengketa. Keaslian lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku” serta klaim  lagu “Rasa Sayang Eh” menemukan titik terang setelah arsip rekaman asli kedua lagu tersebut tersimpan di Lokananta

Ketika basis data tadi sudah terdata dengan baik, dengan menyisakan pekerjaan rumah pada penelusuran pencipta lagu serta ahli warisnya, tiba-tiba ada keinginan untuk mengakusisinya dari sesama lembaga pemerintah. Pertanyaan kemudian muncul: kemana saja mereka selama ini?

Ego sektoral adalah penyakit klasik di birokrasi Indonesia. Alih-alih bersinergi, tiap pihak sibuk berjalan dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Pun di wacana pusat data lagu dan musik ini. Pusat data ini menurut regulasi akan dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, dengan basis data mengacu pada aplikasi e-Hak Cipta.

Sebelumnya pada 2019, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebelum dilebur ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif  menargetkan akan meluncurkan platform big data musik Portamento pada tahun 2020 yang mengakomodasi daftar semua karya musik di Indonesia dan terhubung dengan media sosial serta jasa streaming musik sehingga data itu bisa menjadi acuan bagi pendengar atau pengguna karya dalam membayarkan royalti.

Ketika basis data tadi sudah terdata dengan baik, tiba-tiba ada keinginan untuk mengakusisinya dari sesama lembaga pemerintah. Pertanyaan kemudian muncul: kemana saja mereka selama ini?

Sejauh ini belum didapat informasi yang cukup jelas mengenai grand design dari pusat data ini. Namun sebetulnya sudah ada potensi pengembangan tanpa harus menghabiskan waktu untuk membangun semuanya dari nol, kecuali jika orientasinya memang tidak lebih dari sekadar uhm….proyek.

Terdapat sumber-sumber data lagu dan musik yang bisa dioptimalkan mulai dari penerbit musik (music publisher), lembaga manajemen kolektif (collecting society), juga penyedia layanan streming musik. Juga lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi arsip dan repositori, seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Radio Republik Indonesia. Peran pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, idealnya sebagai regulator yang memastikan proses bisnis  pusat data tadi berjalan dan berkelanjutan sesuai fungsinya terhadap aspek ketertelusuran data lagu dan musik sehingga regulasi di PP 56 tadi tidak hanya sekadar jadi formalitas belaka.

Barangkali data-data ini tampak tak lebih dari sekumpulan huruf dan angka. Namun dalam lanskap industri musik keberadaanya berperan krusial. Kevin Curran dalam publikasi berjudul The Music Data Dilemma: Isues Facing The Music Industry in Improving Data Management menyebutkan data adalah fungsi sentral dari semua sistem remunerasi maupun penghargaan apapun yang dibangun melalui mekanisme atribusi terhadap konten. Tanpa ada “kedaulatan data” mustahil untuk membangun pondasi yang kokoh bagi rumah besar industri musik Indonesia.

 


 

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Marsahala Asal Denpasar Rilis Single Kedua Bertajuk Love Yourself

Solois yang mengusung gaya musik soul alternatif asal Denpasar bernama Marsahala resmi meluncurkan single anyar bertajuk “Love Yourself” hari Jumat (26/04). Sebelumnya sang musisi sudah menandai kemunculannya lewat single “Still Spinning” bulan Februari lalu. …

Setelah 7 Tahun, Risky Summerbee & The Honeythief Kembali Rilis Karya Anyar

Setelah beristirahat 7 tahun, Risky Summerbee & The Honeythief asal Jogja akhirnya resmi kembali lewat single anyar bertajuk “Perennial” hari Minggu (21/04). Lagu ini merupakan karya pembuka untuk album mini terbaru yang mereka jadwalkan …