10 Hal Salah Kaprah Dari PP No.56 Tahun 2021

Apr 8, 2021
10 Hal Salah Kaprah Dari PP No.56 Tahun 2021

Belum lama ini industri musik dibuat ramai dengan berita perihal UU Nomor 56 tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi. Kira-kira tiga hari lalu, tepatnya Senin (05/04), Pak Jokowi menandatangani aturan turunan tentang hak cipta dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada 30 Maret 2021. Atau yang disingkat PP No.56 2021

Jika kalian pengin tahu apa itu hak cipta. Silakan baca tulisan kami di sini. 

Lewat PP yang bisa dilihat via JDIH Setneg, Pemerintah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menghimpun dana kewajiban pembayaran royalti dan mewajibkan masyarakat membayar jika menggunakan lagu untuk kepentingan komersial.

“Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait melalui LMKN,” begitu bunyi pasal 3 PP 56 tahun 2021 tersebut.

Lewat PP tersebut, pemerintah juga membuat langkah mendaftarkan sejumlah layanan publik yang dikategorikan bersifat komersial dari mulai seminar dan konferensi nasional; restoran, kafe, pub, bistro, klub malam, diskotek; konser musik; pesawat, kapal laut, bus, kereta api; pameran dan bazar; bioskop; nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi dan radio; hotel, fasilitas hotel dan kamar hotel; serta usaha karaoke.

Oke, kami gak mau muter-muter menjelaskan soal apa isi PP No.56 2021 ini. Inti utama dari PP tersebut adalah bahwa setiap layanan publik ini dikenai royalti untuk setiap lagu yang mereka putarkan atau mainkan di tempat tersebut.

Inti dari PP inilah yang kemudian mengundang polemik. Netizen memahami dengan keliru, begitu juga musisinya. Musisi tiba-tiba terbelah menjadi dua kutub. Apa sebetulnya yang menjadi keberatan dari banyak pihak? Apa yang perlu diluruskan dari PP ini sehingga bisa menjadi mudah dipahami oleh para netizen dan musisi yang mungkin belum paham?

Jika kami rangkum, kami menemukan sedikitnya 10 hal yang menjadi pertanyaan netizen dari Polemik PP 56 ini. Khusus di tulisan ini, kami menjawab dengan cara yang paling simpel. Mudah-mudahan paham ya.

Apakah benar? Setahu kami tidak ada anak band yang dirugikan, mereka yang menulis lagu dan musisi rekaman bisa mendapat apresiasi.

 

Tentu tidak, yang bayar royalti adalah pemilik kafe/restorannya, bukan musisinya.

 

Ini khusus ketika acara pernikahannya diselenggarakan oleh wedding organizer. Kalau band yang bersangkutan disewa secara langsung oleh penganti maka band yang bersangkutan yang harus membayar. Tentu saja biaya royalti bisa dibebankan kepada penyewa jasa.

 

Hmm, menarik. Di Indonesia setahu kami belum ada pengaturan yang ajeg mengenai musisi jalanan. Jadi ketentuan royalti bagi mereka sampai sekarang sejauh ini belum dijalankan.

 

Selama itu bukan untuk kepentingan komersil, aman kok.

 

Tentunya jika tempat ini memakai musik sebagai bagian dari transaksi bisnis secara komersil, mereka harus bayar. Namun karena tempat-tempat ini termasuk jenis UMKM, menurut Pasal 11 PP 56/2021 menyebutkan kalau usaha UMKM dapat diberikan keringanan pembayaran royalti, nanti dibaca detailnya ya.

 

10 Hal Salah Kaprah Dari PP No.56 Tahun 2021

Kalau untuk gede kecil lebih baik bisa langsung merujuk laman tarif di situs LMKN. Klik di sini ya.

 

10 Hal Salah Kaprah Dari PP No.56 Tahun 2021

Waduh ini teori dari mana ya? setahu kami, hari ini tidak ada musisi yang melakukan promosi dengan meminta lagunya diputar di kafe, restoran dan tempat-tempat hiburan tersebut.

 

Kata siapa? Viral sih tergantung lagunya bagus atau tidak, bukan masalah ia diputar di mana-mana.

 

10 Hal Salah Kaprah Dari PP No.56 Tahun 2021

Kalau performing rights itu lebih ke hak pengumuman dan penyiaran, mekanikal itu lebih ke hak penggandaan. Contoh: Spotify. Aplikasi musik ini pada saat yang bersamaan menyiarkan sekaligus menggandakan, jadi ia mencakup mechanical dan performing (atau disebut blended rights).

Masih belum jelas? Jika kamu pengin tahu lebih lanjut, silakan kulik PP-nya secara lengkap di sini.

 

*Terima kasih Hafez Gumay, Manajer Advokasi Koalisi Seni atas diskusinya seputar tema ini.

______

Eksplor konten lain Pophariini

Bungareyza Kolaborasi bareng Lafa Pratomo di Single Nomor Satu

Muncul pertama kali dengan materi Tukar Lalu (2023) kolaborasi bareng Dimansyah Laitupa disusul perilisan single “Wahai Tuan” Juli 2024, penyanyi solo kelahiran Bogor, Bungareyza kembali menghadirkan yang terbaru dalam judul “Nomor Satu” bersama label …

Paman Rocky Mendokumentasikan Perjalanan Imajinasi Lewat Single “03.33”

Setelah merilis album mini Pesta Realita bulan Mei lalu, Paman Rocky asal Depok, Jawa Barat siap membawa pendengarnya menyelami kedalaman emosi melalui single terbaru “03.33” yang dilepas 30 September 2024.     Band yang …