Playlist Spotify-mu, Harimaumu
Pernah dengar kalimat “Mulutmu Harimaumu”? Saat ini relevansinya agak berkurang. Karena ada istilah yang hampir serupa maknanya, namun berbeda. Kalimat tersebut yakni “Jarimu Harimaumu”. Atau lebih jauh lagi “Playlist Spotify-mu Harimaumu”.
Media sosial saat ini berperan layaknya Tuhan, memiliki mata di seluruh penjuru dunia, bahkan tempat kecil sekalipun. Meski segala sesuatu yang terjadi di dunia maya itu hadir oleh kehendak kita (pengguna) sendiri, namun pikiran orang lain tidak bisa kita kendalikan.
Saya sendiri dibuat takjub sekaligus takut dengan kecanggihan teknologi saat ini. Padahal saya masih berada di bangku kuliah, kata orang sih, kami ‘spesies’ anak muda yang lagi bersemangat untuk explore new things dan mencari jati diri. Memang sudah seharusnya kita yang sedang aktif-aktifnya ini melek dengan teknologi. Malu kalau ketinggalan zaman.
Lalu mengapa saya takut? Semengerikan itukah perkembangan teknologi yang diciptakan dan digunakan sendiri oleh makhluk hidup yang sama? Jawabannya adalah iya, mengerikan.
Melalui media sosial, kamu dapat dikenal dan mengenali orang meski tidak pernah batang hidungnya saling bertemu. Seseorang dapat kehilangan masa depan, karier, hingga nama baik. Namun tak melulu hal negatif yang muncul. Seorang musisi saja dapat lahir karena kekuatan dahsyat media sosial, layaknya Justin Bieber dahulu?
Hal menakutkan lainnya adalah ketika saya tidak dapat mengikuti arus perkembangan itu sendiri. Dunia maya yang saat ini hampir tidak ada bedanya dengan dunia nyata menuntut kita semua untuk ‘terlihat profesional’ dalam dua sisi.
Mungkin saat masih kuliah secara luring sebelum pandemi berlangsung (iya dong, saya sempat merasakan juga), tingkat ‘kece’ seseorang salah satunya dapat dilihat dari outfit ngampus. Di dalamnya, hal seperti totebag artis siapa yang mahasiswa/i bersangkutan pakai, gigs musisi mana yang mereka datangi, spot nongkrong mana yang digunakan, kegiatan apa yang digeluti, dan lain sebagainya dapat dijadikan sebagai sebuah contoh.
Saat ini selagi tak berjumpa di kampus, kebanyakan orang sibuk berbenah guna mempercantik tampilan media sosialnya. Mulai dari memperbaiki feeds akun Instagram, nge–tweet hal yang keren di Twitter, atau bahkan sibuk menata susunan lagu pada playlist Spotify.
Talking about Spotify…
Omong-omong soal anak muda, pasti tidak jauh dari yang namanya musik. Musik selain menjadi teman di saat teman-teman nyatamu menghilang dari bumi, juga dapat menjadi senjata ampuh dalam keadaan apa pun, sekali pun genting. Sebelum layanan streaming lazim digunakan, saya sedikit bernostalgia karena saat itu masih merasakan susahnya mencari lagu-lagu bajakan di internet yang kualitasnya bagus, kemudian disulap layaknya lagu original. Tak lupa memasang artwork dari album dan memasukkannya ke handphone via iTunes.
Saat ini orang beralih ke wadah streaming seperti Spotify sebagai platform musik yang banyak digunakan oleh seluruh kalangan. Hal itu dapat dikatakan sebagai terobosan masa kini. Dengan membayar sejumlah nominal pada setiap harinya, minggunya, bulannya, atau tahunnya, kita semua dapat menikmati jutaan musik dari berbagai genre hingga musisi. Saya sendiri tidak menolak privilege saya sebagai seorang mahasiswi. Selagi memiliki status tersebut, gunakanlah Student Plan agar membayar biaya berlangganan dengan setengah harga, ho ho ho.
Lalu apa hubungannya dengan anak muda, ya?
Tentu ada. Di sini lah gengsi kami dipertarungkan.
Mari kita mulai membahas dari fitur Friend Activity pada Spotify ini. Saat sedang menulis artikel ini, saya memperhatikan sekitar delapan sampai dua belas teman saya yang sedang mendengarkan berbagai macam lagu melalui fitur tersebut. Ada yang mendengarkan langsung dari album (sepertinya melalui liked songs maupun private playlist) dan ada juga yang mendengarkan melalui playlist buatan pribadi maupun Spotify punya.
Sering menatap seperempat sisi kanan layar ini setiap harinya menjadikannya sebuah pola tersendiri di kepala saya. Setelah lewat pukul sepuluh malam, Si Galau pasti sedang mendengarkan ‘Playlist Sendu’ miliknya. Si K-pop masih saja bersemangat mendengarkan ‘Playlist Joget’ untuk menemaninya mengerjakan tugas. Jangan lupakan Si Gagal Move On yang tak henti-hentinya memberikan kode untuk Sang Mantan dengan satu buah lagu khas milik mereka berdua.
Fitur tersebut tidak ramai jika tidak ada kehadiran Si Paling Rock dan Si Indie Harga Mati yang selalu konsisten mendengarkan lagu-lagu sesuai genre-nya. Meski terkadang keduanya sering keciduk lupa menyalakan fitur private session sehingga terlihatlah bangkai yang coba disembunyikannya dalam-dalam itu (alias lagu jamet Indonesia favoritnya sejak SD). Sedangkan Si Paling Hacep sudah langganan untuk memutar lagu-lagu EDM pada waktu-waktu kritis sebagai bentuk luapan rasa rindunya akan clubbing yang tertunda karena kondisi pandemi.
Mereka Menjawab
Bagi anak muda sekarang, lagu-lagu yang kita putar sudah layaknya pakaian yang dipakai. Timbul yang namanya gengsi dan pride yang dapat muncul dan hancur tergantung dari bagaimana kita menjalaninya. Dalam menulis artikel ini, saya bertanya kepada beberapa teman yang rupanya, jawabannya cukup dapat mewakili suara para anak muda mengenai fenomena gengsi daring ini.
Mengenal seseorang tak melulu lewat zodiak saja. Hal tersebut kurang lebih adalah alasan Si Leo (teman saya yang namanya disamarkan). Si Leo menganggap profil Spotify itu sudah selayaknya profil Instagram, tampilan adalah hal yang penting. Ketika bertukar akun media sosial dengan teman misalnya, akun Spotify juga sudah hadir dalam list yang harus terpenuhi.
“You can know a lot about someone based on their choice of songs and playlist, so I only display what I want people to see in me,” – Si Leo
Sedangkan Si Cancer (teman saya lainnya yang disamarkan) kurang lebih memiliki alasan yang tidak berbeda jauh. Hanya ia memilih untuk menggunakan private playlist untuk mendengarkan lagu-lagu yang sekiranya, ia tak ingin orang tahu ia mendengarkan lagu-lagu seperti pada daftar putar tersebut. Sebenarnya jawaban Si Cancer ini membingungkan saya. Karena ketika kamu mendengarkan lagu dalam playlist yang tersembunyi, lagu tersebut masih muncul dalam list friend activity, hanya playlist-nya saja yang tidak terlihat. Usut punya usut ternyata Si Cancer ini tidak paham akan cara mengaktifkan private session di Spotify…
Jawaban terakhir dilontarkan oleh Si Pisces (iya, teman saya lagi yang namanya disamarkan). Ia mengaku menggunakan fitur private session bukan karena alasan ‘malu kalau ketahuan’. Ketika Si Pisces ingin mendengarkan suatu lagu ataupun genre yang tidak begitu disukainya, fitur tersebut membantu agar ke depannya rekomendasi yang muncul pada akunnya tidak bercampur dengan lagu-lagu tersebut. Hal ini memang kadang mengganggu tampilan home, daily mix, dan hal sejenis lainnya.
Kembali pada diri saya sendiri. Kalau diberikan pertanyaan mengenai pedulikah saya dengan seluruh hal tersebut, maka jawaban saya adalah, ya dan tidak.
Jawaban ya muncul karena I do care and observe about how people choose their songs. Mungkin terdengar seperti kurang kerjaan, namun saya setuju dengan ucapan Si Leo sebelumnya. Dengan mengetahui pilihan lagu seseorang, saya dapat menilai sifat maupun gaya dari seseorang (tentunya dengan insting masing-masing saja).
Menilai dari luar saja memang tidak baik, namun melalui pilihan lagu tersebut saya dapat dengan mudah menemukan teman se-frekuensi yang ke depannya dapat saya andalkan ketika saya membutuhkannya, semudah mewawancarainya atau mengajaknya menonton konser sejenis.
Sedangkan jawaban tidak saya mengacu pada “persetan gengsi”. Lihatlah saat ini kamu sedang hidup di tengah pandemi suatu wabah yang kian hari rasanya melelahkan pikiran untuk menjaga diri agar tetap waras. Let’s not really take anything too serious, musik adalah jalan ninjamu untuk melepas penat meski hanya sesaat, apakah masih harus kita pikirkan A, B, C dahulu sebelum menyentuh tombol putar di Spotify?
Saya tidak melarang kalian-kalian yang sangat peduli dengan tampilan profil maupun daftar putar lagumu. Toh tidak ada untung dan ruginya bagi saya ketika melihatnya. Mungkin pilihan lagu dan juga playlist Spotify seseorang saat ini dapat dijadikan sebagai self branding yang cukup kekinian. Kembali lagi pada zaman yang telah berubah, tidak ada salahnya kita mencoba untuk mengikuti tren yang ada kan?
Penulis: Beauty Fortuna
Bertambah usia di setiap bulan Agustus, ig-nya @blancandeclare_ (itu huruf L kecil bukan i). Anak jurusan jurnalistik yang kadang masih sering ngintip KBBI. Terus belajar untuk jadi penulis yang baik. Sibuk ngurusin media musik anak kampus, Gilanada.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …