Pohon Tua – LEGAM

Dec 2, 2022

Sejatinya, setiap musisi haruslah berkembang secara musikal. Perkembangan ini diperlukan untuk membebaskan diri dari stagnasi dan kejenuhan dalam penciptaan sebuah karya. Di setiap arah perkembangan pastinya ada banyak proses baru yang mungkin belum pernah ditemui sebelumnya, dari rumitnya penulisan karya, aransemen hingga lelahnya proses rekaman. Namun hal-hal yang justru menarik untuk ditelisik lebih dalam. Perkembangan ini sekarang dirasakan Dadang SH Pranoto di album keduanya bertajuk LEGAM di bawah moniker Pohon Tua.

Seperti singlenya, album LEGAM merangkum segenap perasaan kemarahan, kebosanan, kekalutan dan kesedihan yang timbul di proses perenungan Dadang. Semua hal ini tereksekusi dengan baik di setiap track yang saya dengarkan. 

Bagimana “Dari Hyang Satu”, renungan marah atas kekalutannya akan konflik horisontal yang masih marak terjadi dihantarkan secara megah. “Aku Kehilangan”, dendang celah kesedihan yang dalam atas sebuah kehilangan, menyajikan satu 1 menit intro piano tergawat, one of my favourite track di album ini. Segenap lirik dan musiknya, saya hilang hanyut sejenak dalam lagu ini. Sementara mendaki “The Mountain”, saya seperti ditembak confetti berisi rapal-rapal kemarahan yang disiapkan sejak awal. Jatuh tumbang dari jurang namun menyenangkan.

Salah satu pendekatan yang berbeda dengan Kubu Carik yang ada di album ini ketika Dadang menggunakan piano sebagai pondasi setiap arsitekturnya. Piano dengan kuartet gesek menjadi mandor yang mengendalikan setiap tekstur aransemen yang ada, hasilnya sebuah pendekatan musikal yang berbeda dan lebih elegan. Bahkan “Peace of Mind”. komposisi ringan dari semua track di album ini, hanya dikemas intens dengan duet contrabass dan piano, menyediakan sebuah paket intim nan aduhai, memberikan banyak celah frekuensi bagi lirik untuk lebih dihayati. 

Berada dalam dua tiga entitas, Dadang butuh perenungan-perenungan yang dalam bagaimana ia sebagai Pohon Tua punya ‘ruang’ yang berbeda dari yang lainnya. Kubu Carik menjadi hasil perenungan awal yang meskipun secara ekspresi musik bagus, namun bisa jadi ia merasa kurang puas karena irisan musik dengan Dialog Dini Hari masih terlalu tebal. Di LEGAM, saya merasa Dadang mulai menemukan dirinya secara utuh lewat rel musik yang telah ia bangun dan akan dipergunakannya untuk berjalan ke depan.

Mengunyah album ini berulang kali, saya pun jadi tertarik untuk bagaimana LEGAM bisa dinikmati dengan sebuah presentasi di atas panggung. Looking forward to that to be happen, entahlah, mungkin di tahun depan? Siapa tahu.


 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …