Resensi: Pongki Barata – The Blue Trilogy

Jul 15, 2021
Pongki Barata

Ada semacam teori atau pola yang saya lihat dari sejak dulu bahwa penciptaan suatu karya sangat erat dipengaruhi lingkungan tempat sang seniman tinggal. Saya ingat bagaimana negeri Paman Sam sangat mempengaruhi The Beatles sehingga lahir Rubber Soul, hasil fusi musik soul kulit hitam, folk ala Dylan, jingle-jangle psikedelia ala The Byrds.

Atau bagaimana lawatan George Harrison ke India tahun 66 untuk belajar sitar dengan Ravi Shankar bisa menghasilkan karya-karya psikedelia macam Love You To(Di album Revolver) dan Within You Without You (Di album Sgt Peppers).

Atau bagaimana residensi seorang David Bowie di Jerman Barat melahirkan mahakarya Berlin Trilogy yang bersisi 3 album: Low, Heroes dan Lodger yang sangat eksperimental itu.

Di Indonesia, tak jauh-jauh, kita bisa melihat bagaimana Indra Lesmana akhirnya melahirkan Surya Sewana, salah satu album yang lahir dari pulau Dewata, lingkungan tepat tinggalnya. Ini belum dengan karya eksperimentalnya lewat ILP (Indra Lesmana Project), karya fusi  jazz dengan progresif rock yang kencang dan cadas. Buat Indra Lesmana, mungkin pulau Dewa membuka ruang cakrawala baru dimana ia bisa melahirkan karya-karya dengan ekspresi yang baru. 

Tahun 2021, The Blue Trilogy boleh jadi adalah bukti teranyar dari pola yang saya sebutkan di atas. Mini album ini mencatat bagaimana seorang Pongki Barata, musisi penulis lagu cinta kelas berat asal Jogja, yang mencoba merespon Pulau Dewata. Dengan perantaraan gitar parlor akustiknya yang cantik, lantas disinergikannya menjadi sebuah album instrumental, sebuah ekspresi baru yang belum pernah Pongki di rekaman-rekaman sebelumnya.

The Blue Trilogy menjadi semacam ungkapan imajinatif dan reflektif sang musisi terhadap dinamika kehidupan manusia seutuhnya. Segenap keresahan dan pertanyaan dari fase-fase lahir, tumbuh sampai mati digurat secara jelas dari setiap mood dari bunyi dan notasi musik yang diimbuhkan beliau.

Secara kemasan musik, tentu saja saya tidak bisa berharap lebih dari notasi sederhana yang dipetik dari gitarnya. Saya tak akan berharap muncul melodi-melodi shredding yang ngejlimet seperti karya-karya solo Andra Ramadan, Eet atau Pay misalnya. Namun tetap, lewat mini album ini, Pongki Barata bisa saya kategorikan sebagai gitaris yang mumpuni. Visual Pongki dan gitar memang sudah erat. Terlebih gitar akustik, yang ia sangat cintai dan memiliki nilai khusus seperti yang ia ceritakan di sleeve CD album ini. Gitar adalah hal yang selalu membawanya kembali

Dalam The Blue Trilogy, Pongki mampu meraih notasi-notasi dan aransemen unik yang menarik menurut saya, yang tumbuh dari hasil percakapannya dengan lingkungan sekitar, juga antara batinnya.

Kembali ke faktor lingkungan, Pongki merespon Bali dengan baik. Saya bisa dengan baik mendengar, merasakan dan tentu saja memvisualkan album ini dengan kenangan-kenangan saya akan Bali.

Bagaimana Sanur, tempat saya kerap menginap setiap kali  ke Bali dengan jalan-jalannya yang sepi di pagi hari sambil menyapa matahari di pantainya. Bagaimana aroma dupa yang harum menyengat sepanjang jalan di Ubud, damainya pagi di bukit Campuhan, dll. Semua kenangan ini serasa diberikan soundtrack yang enak di The Blue Trilogy.

Saya mungkin tidak bisa membayangkan jika album ini lahir dari Jakarta misalnya, atau dari Jogja, mungkin ekspresinya akan lain atau malah yang keluar bukan album instrumental jadinya.

Overall, saya amat menikmati album ini. Sebuah album yang sarat makna, album menarik yang selalu menjadi soundtrack di semua waktu keseharian saya menjalani hari-hari di tengah pandemi ini.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …