Pure Saturday – S/T: 25 Tahun Debut Album Bandung Pop Darling

Feb 3, 2022

Delapan lagu yang termuat dalam debut album pertama Pure Saturday, kesemuanya adalah permata indie. Dirilis 25 tahun lalu, berdampak besar, dan menjadi klasik.

Dibuka dengan “Silence”, rekaman itu begitu segar pada 1996. Lapisan harmoni dan sound gitar dengan dinamika riuh-meredanya, notasi vokal yang indah, dengan gaya bernyanyi kasual, suara bas yang bulat, dan ketukan drum yang tegas. Bunyinya bagaikan penggabungan The Lemonheads era “It’s a Shame about Ray” tambah Teenage Fanclub tambah Ride. Super-keren!

Saat kaset dipasang pertama kali, sungguh saya tidak berharap suaranya sejauh ini. Album self-title Pure Saturday melebihi dari apa yang bisa dibayangkan dengan suasana zaman dan industri musik di Indonesia pada saat itu, juga bahkan dari membaca serial artikel dan melihat foto-foto mereka yang terpampang di Majalah Hai, media yang dahulu mendukung promosi dan distribusi album ini.

Dikerjakan secara independen dengan menggunakan nama label Bacott Records, shift rekaman debut album Pure Saturday mengambil sisa jatah studio rekaman Pas Band saat menggarap album In (No) Sensation bersama perusahaan rekaman Aquarius Musikindo. Sisa shift rekaman Pas Band dibagi dua antara untuk Puppen dan Pure Saturday. Pas Band memang memiliki kedekatan dengan Puppen dan Pure Saturday.

Pure Saturday

Pure Saturday / dok. istimewa

Meskipun sudah mendapat limpahan jatah studio, segala aspek rekaman hingga menelurkan album memiliki keseluruhan biaya yang tidak sedikit. Misalnya, untuk pita rekaman, bila baru harganya terbilang mahal, alternatifnya adalah dengan membeli pita bekas. Singkatnya, untuk pembiayaan, Pure Saturday kemudian mendapat investor hingga bisa memproduksi albumnya. Tapi, setelah master rekaman rampung, bagaimana caranya kaset bisa beredar? Dari problem itulah mereka bekerjasama dengan Majalah Hai.

Dengan mendistribusikan kasetnya, Majalah Hai pun mempromosikan, memperkenalkan band itu kepada pembacanya, para khalayak muda. Kala itu, Majalah Hai bisa dikatakan majalah remaja yang paling banyak memberi perhatian pada musik.

Mengikuti tulisan tentang Pure Saturday di Majalah Hai, di saat Ahmad Dhani bisa jadi musisi terbaru saat itu yang menjadi sampul majalahnya, mungkin membuat setiap pembaca memiliki imajinasinya sendiri akan seperti apa musik mereka. Hari itu, bahkan istilah indie pop belum kami kenal, sementara internet masih masa depan. Hal yang paling mudah untuk menjadi acuan, terdapat pada kolom biografi di artikel tersebut, di mana setiap personil menyatakan band favorit mereka, dengan The Cure sebagai nama yang dominan disebut (meskipun gitaris Adhi juga menyertakan The Breeders dan Smashing Pumpkins, serta, bila lebih jeli lagi, pemain drum Udhi menyatakan “Vapour Trail” dari Ride sebagai lagu favoritnya—ternyata jawaban itu cukup signifikan).

Album self-title Pure Saturday melebihi dari apa yang bisa dibayangkan dengan suasana zaman dan industri musik di Indonesia pada saat itu

Lainnya, dengan melihat kaos band yang dikenakan pada sesi foto, yaitu Oasis dan Weezer, juga kaca mata gelap selayaknya melihat foto band “alternative rock” (bahkan hari itu sebagian besar dari kami belum kenal dan terbiasa menyebut frase “indie rock”).

Pure Saturday di Majalah Hai sungguh memancing penasaran. Dan ketika albumnya akhirnya didengarkan, bagi saya, lebih dari memuaskan! Saya tidak tahu artinya selain sangat sering memutarnya, terlebih bila suntuk datang begitu saja dan butuh dosis hiburan yang “pasti aman” untuk dipasang.

Pure Saturday mulai merilis debut albumnya, 5000 kaset, via Majalah Hai. Pada edisi-edisinya, Majalah Hai mengangkat profil Pure Saturday dan menyertakan halaman berisi tata cara beserta kupon untuk pembelian kaset, yaitu dengan melalui wesel atau datang langsung ke kantor Majalah Hai. Begini cuplikan Hai menulis kala menjajakan kaset Pure Saturday…

Pure Saturday… Cuma bisa dibeli di Hai

Mereka mencuat dari Bandung lewat musik yang betul-betul “rock alternative”. Mereka sendiri sih mengklaim diri sebagai: “Band Underground”. Tapi apalah mau dibilang, Yang pasti, debut album mereka, Pure Saturday berisi nomor-nomor yang asyik buat disimak. Ada 6 tembang berlirik Inggris dan 2 tembang berlirik Indonesia, Coklat dan Kosong yang saat ini mulai berkibar di banyak stasiun radio.

Pure Saturday

Kiri ke kanan: Iklan promosi kaset pure saturday di majalah HAI – sampul album HAI edisi Pure Saturday dengan cover Ahmad Dhani / dok. istimewa

Bagaimana bisa Pure Saturday merilis debut albumnya bersama Majalah Hai? Suatu hari, saya pernah menanyakannya kepada Denny Mr, saat itu redaktur musik di majalah remaja pria itu, tentang kenapa terpikir merilis debut album Pure Saturday.

“Pertama, suka konsep musiknya karena tergolong masih baru untuk khasanah lokal. Kedua, bersimpati pada kegigihannya dalam menawarkan demo ke seluruh label di Jakarta yang semuanya menolak karena dianggap tidak menjual. Tapi band seperti Pure Saturday harus diberi ruang. Saya berpikir untuk membukakan jalan mereka dengan merilis lewat Majalah Hai yang saat itu tidak punya pengalaman dalam hal distribusi kaset. Ternyata prosesnya tidak mudah. Saya harus meyakinkan banyak pihak, mulai pemimpin redaksi sampai jajaran direksi lainnya. Akhirnya disepakati untuk merilis album Pure Saturday dengan menumpang jalur distribusi majalah. Cukup merepotkan tapi senang! [tertawa]” jawab Denny Mr.

Denny MR

Denny MR, sang inisiator album Pure Saturday di majalah HAI / dok. @denny_dmr (instagram)

Cara distribusi kaset Pure Saturday ini menginspirasi. Nyoman, vokalis indie pop Planetbumi asal Jakarta, adalah salah satu pembeli kaset Pure Saturday via Majalah Hai. Nyoman bercerita bahwa ketika kaset Pure Saturday rilis, ia bersama band-nya, saat itu masih bernama Planet Earth, juga sedang dalam persiapan album demo pertama. Terinspirasi distribusi Pure Saturday, Nyoman mengirim surat pembaca ke Majalah Hai kurang lebihnya berisi informasi bahwa Planet Earth, band “pop underground” Jakarta, merilis demo tape. Surat pembaca itu dimuat oleh Majalah Hai.

“Berhasil, ada yang order 5 biji [tertawa]” Nyoman mengenang.

Setahun setelah distribusi kaset album Pure Saturday, Kubik dari Bandung, bersama label Target Pro, juga merilis kaset berisi tiga lagu sebagai bonus Majalah Hai.

Sebelum sampai pada 1996 ketika meriis debut albumnya, dari mana perjalanan Pure Saturday dimulai?

Dikerjakan secara independen dengan menggunakan nama label Bacott Records, shift rekaman debut album Pure Saturday mengambil sisa jatah studio rekaman Pas Band saat menggarap album In (No) Sensation bersama perusahaan rekaman Aquarius Musikindo

Pure Saturday berawal dari sebuah band yang didirikan di Bandung pada Februari 1992 bernama Tambal Band. Formasinya: Suar (vokal-gitar), Arief (gitar), Udhi (drum), dan Nova (bas). Tak lama setelah itu, Adhi (gitar), saudara kembar Udhi, turut bergabung. Dua tahun kemudian, Nova mengundurkan diri dan masuklah Ade sebagai penggantinya.

Dengan formasi Suar, Arief, Udhi, Adhi, dan Ade, Tambal Band kemudian berganti nama menjadi Pure Saturday, berasal dari kebiasaan mereka berlatih sepanjang Sabtu di gudang bekas pabrik gitar milik keluarga Suar. Pergantian nama saat itu juga dalam rangka mereka akan mengikuti festival musik Unplugged  se-Jawa Barat dan DKI pada Mei 1994.

Pure Saturday memenangkan festival tersebut, Juara Pertama Kategori Umum, dengan membawakan karya sendiri berjudul “Enough”. Dalam album pertama mereka, karya ini menempati urutan ketiga sisi A. Lagu tentang gugatan perang dengan dinamika musik menawan, gitar akustik dan vokal sebagai pondasi bagaikan Evan Dando beraksi. Sampai bertahun-tahun ke depan, dalam pertunjukan Pure Saturday, lagu ini masih menjadi favorit penonton, dengan bagian saat masuk solo gitar yang sangat menggoda.

Pure Saturday

Pure Saturday, sesi foto / dok. istimewa

Masa 1992-1994, peta industri musik dunia mulai berubah dengan maraknya gelombang yang dinamakan “alternative rock”. MTV jadi pemancarnya. Sound, bersama fashion dan attitude, tampil baru dari kecenderungan 80’s glam rock yang menjadi fenomena sebelumnya. Sementara mereka yang memiliki akses dari luar negeri pun semakin beragam menyebarkan macam-macam informasi musik “cutting edge” melalui CD, kaset, dan majalah impor yang didapatkannya. Anak-anak muda di Indonesia menemukan pilihan-pilihan musik dengan lebih beragam. Dalam masa seperti itulah Tambal band, kemudian menjadi Pure Saturday, tumbuh berlatih dan menulis lagu.

Setelah menjuarai festival Unplugged tersebut, nama Pure Saturday semakin dikenal dan diundang bermain di berbagai acara di Bandung. Alvin Yunata (Harapan Jaya,/Teenage Death Star/ Irama Nusantara/ sutradara film Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua) pertama kali menonton Pure Saturday pada sebuah acara pentas seni/bazaar sekolah pada 1994.

Saat itu, Alvin bermaksud menonton band hardcore teman-temannya, OOS dan Live at Pawn di acara tersebut. Para personil OOS, Ridwan dan Juned di kemudian hari tergabung dalam Harapan Jaya, sementara Opik dan Coro bersama Themilo. Sedangkan para personil Live at Pawn terdiri dari Ajie (kemudian membentuk Cherry Bombshell lalu Themilo), Maskom (kemudian membuat clothing line Ouval), Depe, Ape (Harapan Jaya), dan Khemod (kini drummer Seringai).

Saat Pure Saturday tampil di acara sekolah tersebut, Alvin langsung jatuh hati. Kaget, ada lagu pop tapi “nggak biasa” dan “nggak cemen”. Seingat Alvin, saat itu Pure Saturday memainkan sekitar 5-6 lagu, di antaranya membawakan lagu dari Oasis dan Ride, juga dua karya mereka sendiri yaitu “Enough” dan “Coklat”.

Alvin Yunata

Alvin Yunata dari Teenage Death Star / dok. pribadi

Lagu “Coklat”, ah, dari intro gitar, hi-hat yang rapat, patahan-patahan notasi vokal, koor bercampur tremolo, ranjau-ranjau jelajah dan aksen bas yang meledak. Suasana anthem yang mengajak badan bergoyang pada lagu ini bagaikan atmosfer “Bizzare Love Triangle” dari New Order, atau seolah nomer pamungkas yang seharusnya ada di dalam album Wish dari The Cure, kesemuanya dengan tema dan lirik yang sangat berbeda dari kebanyakan di musik pop Indonesia.

Dari mendapatkan kasetnya pada 1996 sampai saat membuat tulisan ini, “Coklat” masih sukses membuang suntuk dan menggerakkan

Kesempatan kedua bagi Alvin menonton Pure Saturday, terjadi pada perhelatan Hullabaloo, Gedung Saparua, 25 September 1994. Ini adalah acara yang mencakup berbagai sub genre, dengan penampil mulai dari Morbus Corpse, Hellburger, Full of Hate, Antiseptic dari Jakarta, sampai The Wave yang membawakan lagu-lagu dari The Smashing Pumpkins (Helvi Sjarifuddin, A& R Fast Forward Records dan gitaris Teenage Death Star, saat itu selain menjadi manajer Puppen juga manajer The Wave).

Pure Saturday menjadi penampil dengan gaya musik yang sangat berbeda pada Hullabaloo, di mana dominasinya adalah musik keras: metal, hardcore, punk rock.  Tapi pertunjukan mereka tetap didukung penonton, antara lain oleh Arian 13 (Seringai)

Pada flyer acara Hullabaloo, tertulis manifesto yang sangat khas era itu:  “If you hate the commercial bands support your local underground bands…” . Hullabaloo kemudian dijadikan seri pertunjukan pada tahun-tahun ke depan dan menjadi salah satu ikon gig underground 1990an di Indonesia.

Pure Saturday menjadi penampil dengan gaya musik yang sangat berbeda pada Hullabaloo, di mana dominasinya adalah musik keras: metal, hardcore, punk rock.  Tapi pertunjukan mereka tetap didukung penonton, antara lain oleh Arian 13 (Seringai) yang saat itu selain menjadi vokalis Puppen juga manajer Full of Hate. Bahkan pertunjukan Pure Saturday pun diwarnai dengan stage diving.

Sejak 1994, pertunjukan-pertunjukan Pure Saturday menjadi pembicaraan di lingkungan pertemanan Alvin. Momentumnya cukup bertepatan dengan meningkatnya intensitas Alvin beserta teman-temannya mendengarkan musik “indies” dari My Bloody Valentine, The Sundays, dan Cocteau Twins.

Master Pure Saturday

Master rekaman Pure Saturday / dok. Ade Muir (Pure Saturday)

Kata “indies” (dari penulisan untuk indie dalam bentuk jamak) menjadi istilah umum pada 1990an untuk menyebutkan musik-musik indie rock/dream pop/ indie pop dari Inggris/Eropa, yang kemudian menjadi sangat meledak dengan album-album Britpop seperti (What the Story) Morning Glory dari Oasis, The Great Escape dari Blur, Different Clash dari Pulp—ketiganya dirilis pada paruh kedua 1995 dengan single-single andalan yang heavy rotation.

Pure Saturday merekam materi albumnya pada 1995 di studio Triple M, Jakarta, diedarkan pada 1996, tepat di periode “ledakan indies” itu. Tak hanya informasi tentang Pure Saturday hadir di Majalah Hai, lagu “Kosong” pun diputar di radio anak muda.

Lagu “Kosong” jadi perkenalan pertama bagi pendengar di luar sana, yang berjarak dari permulaan kiprah Pure Saturday di Bandung. Musik itu bukan hanya begitu representatif bagi para penggemar “indies”, bahkan terdengar istimewa  “Kosong” yang mengudara bagaikan jaminan akan bunyi keseluruhan album mereka.

Pada kaset, “Kosong” ada di urutan kedua sisi A, di mana hingga kini bunyi gitar apa pun yang terdapat di lagu itu telah menjadi klasik, terutama petikan pada intronya.

Sejak debut album Pure Saturday dirilis hingga jauh hari kemudian, lagu “Kosong” masih terus bertahan dan mencapai status “hit sepanjang masa”, dimulai dengan pemandangan anak-anak muda kurus gitaran lagu “Kosong” di koridor kampus pada masanya, sampai dengan musisi setenar Ariel Noah pun menyanyikannya.

Padahal, lagu “Kosong” adalah lagu terakhir yang direkam Pure Saturday untuk debut albumnya, diciptakan oleh Suar dengan lirik ditulis oleh Ade, hanya karena pita rekaman mereka masih memiliki sisa durasi yang lumayan untuk bisa diisi oleh satu lagu lagi.

Pada awal 1996 itu, saat “Kosong” sudah mulai diputar, Pure Saturday tampil pertama kali di Jakarta. Malam itu rasanya tidak ada yang tidak menunggu waktu Pure Saturday tampil, dan saya tidak tahu bila ada satu orang pun yang tak terkesan dengan pengalaman menonton Pure Saturday. Di tempat kecil bernama Cinnamon Café, pertunjukan intim dan “pecah”.

Tak diragukan, debut album Pure Saturday tak lekang dimakan waktu, bahkan turut menggerakkan zaman. Pure Saturday adalah band indie pop paling pertama yang berdampak sangat besar, hingga skala Nasional

Tak lama setelah melalui Majalah Hai, album Pure Saturday pun diedarkan di toko-toko kaset konvensional di bawah Ceepee Productions. Akses mendapatkan album Pure Saturday semakin mudah. Kaset dengan sampul kapal-kapalan itu terus bergulir, dari tangan ke tangan, walkman di jalan, dan mini compo di kamar. Sementara Pure Saturday semakin banyak menjajal panggung pertunjukan.

Lagu-lagu di album Pure Saturday pun semakin dirayakan. Termasuk “Desire”, yang banyak dimainkan anak muda di kantin sampai pojok tongkrongan. Lagu sederhana yang mengalir manis.  Pada bagian buntutnya, kita bernyanyi bersama berulang-ulang, “Bring you something… bring you something..”

Sementara pada lagu “Simple”, repetisi petikan gitar sejak intro sampai sekujur lagu ini sangat memperkuat identitas musik Pure Saturday yang kemudian menginspirasi sejumlah “band indies” lain di luar sana, datang dari berbagai generasi, dan bisa jadi telah menjadi ciri termudah untuk menjelaskan seperti apa musik “indies” berbunyi. Begitu pun dengan tema gitar pada refrain lagu “A Song” hingga denting tamborin di lagu itu. Bila ingin mendeskripsikan indie pop dari Indonesia, Pure Saturday menjadi salah satu nama paling awal untuk disebutkan.

Widi

kanan: Widi (eks vokalis Cherry Bombshell – sekarang di Silverglaze) / dok. Silverglaze

Pada lagu kedelapan, “Open Wide”, Pure Saturday menghadirkan Widyastuti “Widi” Ariani (kemudian menjadi vokalis Cherry Bombshell – sekarang di Silverglaze – red) untuk mengisi vokal. Adalah Ade dan Arief yang pertama kali tertarik dengan penampilan Widi saat bernyanyi membawakan lagu dari The Cranberries pada sebuah pentas seni sekolah di Bandung, hingga kemudian Widi diajak untuk rekaman lagu “Open Wide” di Jakarta.

Vokal Widi yang berlapis bersahutan memberi kesan mengawang, hingga “Open Wide” memberi kepingan lain yang menggenapkan keindahan debut album Pure Saturday.  Di akhir sekali kaset, Pure Saturday memainkan sepotong komposisi instrumentalia singkat bagaikan salam perpisahan.

Sejurus kemudian, kerinduan sudah datang, dan kaset kembali diputar dari sisi A pertama.

Setelah riuh album pada 1996, debut album Pure Saturday masih menemukan pendengar-pendengar berikutnya, yang juga bersepakat akan kedahsyatannya. Salah satunya adalah Idhar Resmadi, penulis buku Pure Saturday: Based on a True Story

Tak diragukan, debut album Pure Saturday tak lekang dimakan waktu, bahkan turut menggerakkan zaman. Pure Saturday adalah band indie pop paling pertama yang berdampak sangat besar, hingga skala Nasional. Memberi gairah berkreasi pada teman-teman seangkatan maupun generasi berikutnya. Menginspirasi dari cara penulisan lagu, sound, aransemen, hingga metode distribusi albumnya.

Setelah riuh album pada 1996, debut album Pure Saturday masih menemukan pendengar-pendengar berikutnya, yang juga bersepakat akan kedahsyatannya. Salah satunya adalah Idhar Resmadi, penulis buku Pure Saturday: Based on a True Story, diterbitkan atas inisiatif pionir clothing line asal Bandung, 347.

Pada masanya, Idhar adalah salah satu mahasiswa yang merayakan kehadiran album ketiga Pure Saturday, Elora, dirilis oleh Fast Forward Records pada 2005. Dari Elora, barulah Idhar secara intensif mengecek katalog sebelumnya, Utopia (1999) dan album pertama Pure Saturday.

“Yang keulik pisan yah album pertama karena semua hits yah,” tulis Idhar dalam pesan WA-nya kepada saya. “Semua lagunya hits, kena di telinga saya,” tambahnya.

Idhar bahkan sampai menggunakan kata “hits” untuk menggambarkan hebatnya seluruh lagu di album ini.

Dengan album pertama ini kemudian Pure Saturday terus melanjutkan lika-liku kisahnya. Kharisma dan keindahan Pure Saturday seringkali ditulis dalam istilah penobatan “Bandung Pop Darling”. Bagi saya, album debut mereka adalah kawan yang sampai kini, 25 tahun kemudian, ketika memutarnya, saya merasakan aura dan suasana kehadiran yang tersendiri.

Ya, terlalu banyak ditemani dan berhutang inspirasi dari album ini.

___

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)
3 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Firman Angga
Firman Angga
2 years ago

Pertama menemukan PS di Album ‘Indonesia Best Alternative (Tonggak Musik Alternatif) (1999, Aquarius Records) ada Pure Saturday, Koil, Netral, plastik, Kubik, dan Waiting Room

Troy
Troy
2 years ago

Pertama kali kenal PS saat pulang sekolah thn 96 di Smansa Dago ditawarin beli pas di gerbang sekolah..Legend cuyyy

Bhakti78
Bhakti78
2 years ago

Tulisan yg bagus, informatif dan detail, hingga bisa membawa khayalan saya ke masa itu..sayang kaset yg saya punya hilang sudah

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …