Rekomendasi: Galdive – Canvas
Album perdana Canvas milik duo, Galdive ini membuat saya memikirkan ulang berbagai hal. Dari semakin tipisnya sekat genre musik, relevansi pemakaian instrumen musik sebenarnya dalam album elektronik, serta bagaimana duo Tanisha & Osvaldo hadir dengan musik electropop, namun juga menawan dalam format band penuh dan aransemen berbeda. Seperti yang sedang bertahap diunggah via akun resmi Youtube mereka.
Galdive menghadirkan musik pop elektronik (electropop) dengan nuansa R&B dan jazz yang tebal dengan sentuhan musik klasik. Perpaduan ini mengundang pertanyaan, apakah instrumen sungguhan atau komputer yang digunakan di sini? Terlebih karena penggunaan instrumen musik realistis dan akustik yang terdengar dominan. Seperti suara bass slap dicabik yang sering muncul dengan penuh ekspresi. Juga indahnya instrumen gesek dan piano yang biasanya lumrah cukup dihasilkan oleh komputer yang telah mampu ditiru dengan baik.
Untuk itu kita harus mengedepankan sosok Osvaldo Rio Nugroho sebagai otak musik Galdive. Musisi lulusan Berkeley, AS ini adalah dj/composer/produser yang telah wara-wiri di kancah musik elektronik hingga ke Amerika Serikat ini punya jejak musikal yang mengesankan, terutama dalam musik EDM baik dalam negeri dan luar negeri. Vokal Tanisha tentu adalah hal penting lainnya. Terdengar tebal dan seperti penyanyi soul/jazz kugiran. Semua itu merupakan kombinasi menarik. Ditambah kenyataan bahwa album ini dirilis oleh label baru internasional, Avoca Drive yang merupakan anak perusahaan Sony Australia.
Yang terakhir membuat saya juga bertanya-tanya. Karena minimnya media musik lokal yang membahas album perdana baru mereka -Pophariini pun tidak menerima siaran pers resmi-, ditambah ramainya komentar di Youtube yang datang dari penggemar manca negara. Apakah Galdive dan Avoca Drive sebegitunya fokus membidik pasar luar negeri?
Terlepas dari semua itu dalam 14 lagu, Galdive menghadirkan fusi electropop likuid yang ditingkahi musik R&B dan jazz dengan sentuhan musik klasik melalui instrumen gesek dan denting permainan piano klasik yang cantik. Kesemuanya hadir dominan di banyak lagu dan berhasil menggagahi bebunyian artifisial dari instrumen elektronik seperti drum elektrik, dan synthesizer dengan baik.
Dibuka lagu pertama, “Prelude” dengan piano jazzy dan vokal lirih, beralih ke, “Fond Adieu” yang menggambarkan keseluruhan album ini. Nuansa R&B, jazz, musik klasik dengan taburan loops dan sampling, piano akustik indah, dan cabikan bass slap dalam musik groovy. Dalam lagu ketiga, “Shoulder” pengaruh musik klasik mulai terasa, begitu pula “Gravity”. Memasuki “Pocket”, aroma musik klasik perlahan memudar. Meskipun tetap sarat dalam “Mundane”, “Puzzle”, dan salah satu favorit saya, “Crazy Driving” yang sangat dance dan terdengar agresif mengajak badan bergoyang. Hal ini menajam di “Sweet Sugar Gateway” yang terdengar lebih kompleks. Bahkan cabikan bass slap kembali hadir dan menyalak jauh lebih soulful. Suka sekali.
Melunak di “Maybe I”, tapi kembali menajam di “Poetry” yang ditingkahi musik Jamaika tipis, ditambah kehadiran rapper indie asal Texas, AS, love-sadKiD. Ditambahkan solo piano elektrik yang seksi, jadi perpaduan menarik yang membuat lagu ini menjadi favorit saya juga. Suara piano akustik sarat nuansa jazz dengan kord “miring”, tentu dengan mood yang berubah-ubah ke masa kini menjadi musik dance, membawa lagu ini bagaikan mesin waktu di, “Nescience”. Lalu ada juga “Story Ends” yang memiliki komposisi berlapis-lapis yang tidak boleh dilewatkan.
Album ini meredup dengan penutup, “Berceuse” yang berarti lagu nina-bobo dalam bahasa Prancis. Vokal berlapis, denting piano menari-nari, imbuhan instrumen gesek, sedikit kejutan nuansa dreamy di 30 detik terakhir sebelum denting piano menutup album Canvas ini dengan syahdu. Sebuah pengalaman audio 47 menit yang sangat menarik.
Kembali pertanyaan di awal tulisan ini. Dengan ramuan Canvas, apakah betul sekat genre perlahan hilang, dan apakah mempertanyakan penggunaan instrumen live dalam rekaman album Galdive masih relevan, hingga mengapa Galdive seperti tidak terlalu mengekspos dirinya di kancah musik sini? Apapun jawabannya, duo Galdive dengan album debutnya ini berada di posisi yang tidak main-main.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah
Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11). Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …
Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar
Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …