Rekomendasi: Milledenials – 5 Stages of Doomed Romance

Oct 20, 2021

Belakangan ini, saya sedang gemar menelusuri musik-musik yang datang dari Bali. Dalam rentang waktu satu hingga dua tahun, ada beberapa nama dari Pulau Dewata yang mencuri perhatian saya. Sebut saja Dive Collate, Jangar (tentu saja), Soulfood, Manja, Astera, hingga yang paling anyar, Milledenials.

Awalnya, nama terakhir sempat saya lewatkan. Skeptis menjadi alasan utamanya. Di pikiran saya, kok ada ya yang memilih untuk menggunakan perpaduan kata “Millennials” dan  “Denial” sebagai nama band mereka. “Remaja tanggung murung nih”, pikir saya.

Namun tentu saja saya salah. Kalau saya benar, tentu saja tulisan ini tidak akan hadir di genggaman anda. Teman saya di Synchronize Radio, Iball menjadi sosok yang membuat saya akhirnya ‘ngulik’ Milledenials. “Shoegaze ngebut”, ujar beliau kala itu. Dari press release yang dioper oleh Iball, saya langsung menyimak 5 Stages of Doomed Romance, EP perdana dari Milledenials.

Sebenarnya, saya tidak salah-salah amat dari penempatan kata ‘murung’ di beberapa paragraf di atas. Beralasan, karena setelah (akhirnya) saya simak, tema besar yang dibawa adalah seputar 5 bentuk emosi dari pengembangan teori psikologi 5 Stages of Grief oleh Kubler Ross yang meliputi fase denial, anger, bargaining, depression dan acceptance yang berhulu dari sebuah kehilangan.

“Adapun, sedari track satu hingga track lima dikonsepkan untuk menarasikan sudut pandang personal dari 5 perasaan tersebut secara lirikal maupun musikal”, sambut Milledenials melalui rilisan persnya.

Satu yang saya simak dalam putaran pertama, walau koridor utamanya adalah shoegaze (bahkan, Milledenials proclaimed bahwa mereka adalah sebuah unit emogaze), namun cakupannya dibuat melebar oleh mereka. Pakem-pakem yang diperlebar hingga menyerempet post-rock, math-rock hingga hardcore-punk di dalamnya.

Nomor pertama, “Kenneth” menjadi salah satu buktinya. Sejak detik pertama saya langsung disajikan oleh hentakan drum ngebut a-la sebuah unit hardcore-punk yang dibarengi dengan vokal dari Nadya yang membuka repertoar singkat ini.

Harmonisasi dengan distorsi gitar yang kental dengan nuansa shoegaze, juga dengan balutan lirik yang penuh kemarahan. Jangan lewatkan juga penggalan lirik “The attraction you spare / No longer I care / For now” yang seakan menggambarkan fase penyangkalan dan kemarahan yang pernah (atau yang sedang?) mereka lewati.

Temponya sedikit menurun di nomor kedua dan ketiga, “Deny, Denial” dan “No Contest”. Beberapa menit terakhir dari nomor “Deny, Denial” membawa kejutannya tersendiri dengan hadirnya warna post-rock yang juga tampak menjadi ajang bagi para personel untuk unjuk keahlian dengan instrumen masing-masing.

 

Nomor keempat, “False Surprise”, adalah nomor yang menegaskan kalimat “Shoegaze ngebut” yang sempat terucap di beberapa paragraf awal. Kembali, vokal Nadya yang mencuri perhatian, dibungkus dengan efek ‘ngawang’ dan (kembali) hentakan drum enerjik yang repetitif (dan tentu saja, ngebut).

Cerita ditutup oleh “Acceptance”, nomor yang mewakili fase yang bernama sama dengan judulnya. Selaras dengan judulnya, terdengar ada rasa-rasa ‘menerima’ dan optimisme, juga tergambar dalam lirik “It’s sure a lesson learn / And my gold to earn”.

Secara keseluruhan, saya menikmati apa yang diceritakan Milledenials dan perjalanan para personelnya melalui EP 5 Stages of Doomed Romance ini. Ada harapan (juga rasa penasaran) untuk apa yang akan Nadya Narita, Billy Sukmono, Made Krisna, Bagus Aditya dan Darin Vidaswara bawa di album perdananya kelak.


 

Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."

Eksplor konten lain Pophariini

Bangkit bersama Hindia dan Lomba Sihir

Joyland Festival adalah tempat bagi mereka yang menemukan makna mendalam karya musisi lokal Indonesia. Joyland Festival juga menjadi ajang yang menghubungkan kita dengan para musisi lokal Indonesia yang, lebih dari sekadar menghibur, membawa makna …

Menemukan Makna Hidup Lewat Musik The Cottons

Pernah bercita-cita sebagai seorang musisi namun keterampilan bermusik mandek, praktis menikmati buah karya musisi lokal merupakan alternatif sekaligus kegemaran tersendiri bagi saya. Entah sudah berapa kerabat menilai hobi ini sebagai kesenangan akan tren sesaat …