Rekomendasi: The Panturas – Ombak Banyu Asmara
Sejak awal, kuartet ini selamanya punya tempat di hati saya. Beralasan, tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa bagaimana kacamata murahan dengan lensa tebal yang baru saya angkut dari Jalan ABC, Bandung langsung terbelah dua ketika saya terjebak dalam lautan keringat bersama kapal karet yang berlabuh sembarangan dan kaki-kaki yang berada tidak pada tempatnya ketika The Panturas menggelar Pesta Mabuk Laut, tiga tahun silam.
Berkesan? Jelas. Selama hampir lima tahun hidup di Bandung, salah satu pertunjukan musik paling liar dan berbahaya yang pernah saya datangi jatuh kepada Pesta Mabuk Laut, sebuah pesta yang peruntukannya adalah sebagai syukuran atas hadirnya album pertama mereka, Mabuk Laut. Kalau diingat lagi pun, ternyata itu juga menjadi kali pertama bagi saya untuk menyaksikan mereka secara langsung di atas panggung.
Atas memori tersebut dan memori lainnya yang hadir beriringan dalam perjalanannya, tentu saja saya menyambut kabar akan hadirnya album penuh kedua mereka dengan harapan-harapan dan penasaran akan seperti apakah wujud keseluruhannya. Hingga akhirnya, rasa penasaran tersebut dibayar lunas oleh Ombak Banyu Asmara, di pertengahan bulan September (10/09) tahun ini.
“Lautan yang kuartet asal Jatinangor arungi kali ini lebih deras, lebih luas dari warisan diskografi Dick Dale yang mereka sembah sejak awal.”
Kalimat tersebut kiranya yang bisa menggambarkan secara singkat bagaimana keseluruhan sepuluh nomor dari album penuh kedua mereka, Ombak Banyu Asmara. Sebuah album yang rangkaian euforianya sudah dimulai sejak munculnya “Balada Semburan Naga” di hampir setahun yang lalu.
Kalau bicara soal album kedua dari seorang musisi/band, kadang yang selalu menjadi pembahasan adalah mengenai pendewasaan dalam bermusik. Namun di Ombak Banyu Asmara ini, kata pendewasaan rasanya tidak perlu digarisbawahi, karena toh mereka sudah dewasa dengan sendirinya dengan perjalanan yang sudah mereka lalui selama ini. Yang menarik untuk dibahas, justru adalah warna-warninya eksplorasi yang The Panturas hadirkan dalam sepuluh nomor tersebut.
Tentu, koridor surf-rock yang dibawa sejak awal masih mereka usung, namun Ombak Banyu Asmara membawa lebih dari itu. Coba tengok nomor “Menuju Palung Terdalam” yang kental dengan nuansa nada-nada musik Sunda, iringan musik Broadway yang ramai instrumen dalam “Masalembo”, hingga perpaduan antara musik oriental dengan musik Betawi di nomor “Balada Semburan Naga”.
Eksplorasi juga tidak berhenti di situ. Beberapa nomor instrumental yang dihadirkan pun juga seakan menjadi ajang unjuk gigi bagi keempat personel dengan skillnya masing-masing.
Hadirnya kolaborator di nomor yang tepat juga menjadi kejutan. Bagaimana kuatnya peran vokal Adipati (The Kuda) di “Balada Semburan Naga” yang digambarkan sebagai ‘bapak-bapak galak’ dibawanya dengan tepat. Pun juga dengan kehadiran Nesia Ardi (NonaRia) yang berduet dengan Acin di “Masalembo” yang bau-baunya menjadi sebuah jaminan riuhnya moshpit jika nantinya dibawakan oleh mereka setelah kondisi mulai membaik. Kontrol layar yang liar memang masih dipegang oleh Acin, Kuya, Gogon dan Rizal. Namun roda kemudi dijaga penuh oleh Lafa Pratomo yang mereka dapuk sebagai produser.
Buat saya pribadi, nomor terakhir dari album ini yang juga berjudul sama dengan sang album membawa rasa sentimentilnya sendiri, sebuah nomor instrumental yang selalu dibawa oleh The Panturas sebagai penutup repertoar kala mereka mentas di atas panggung. Seakan sebuah pengingat akan betapa beringasnya The Panturas jika sedang berada di situasi tersebut.
Sebagai penutup, jika ada doa yang bisa dipanjatkan, semoga empat kepala dari The Panturas (beserta Panji Wisnu di keyboard, dua kepala dari brass section dan kru mereka di balik layar) diberikan kesehatan yang panjang agar bisa mempertanggungjawabkan sepuluh nomor di atas, di atas panggung, bersama ratusan (atau bahkan ribuan) penonton, kelak.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …