Resensi: Kurosuke – The Tales of Roses & Wine
Artis: Kurosuke
Album: The Tales of Roses & Wine
Label: Berita Angkasa
Kurosuke, alias Christianto Ario, gitaris Anomalyst, yang juga session guitarist dan membantu musisi seperti Mondo Gascaro dan Polka Wars telah merilis album solo keduanya yang berjudul The Tales of Roses & Wine. Jarak perilisan ini terbilang cepat karena setahun sebelumnya Ario merilis album penuh perdana yang berjudul sama Kurosuke di 2018.
Namun tidak ada yang terlalu cepat bila bicara soal produksi album Kurosuke, mengingat album perdana sebelumnya ditulis dan direkam dengan sangat cepat. Hanya 2 jam menulis lirik, dan 2 minggu merekam materinya. Lucunya album solonya yang sangat ekspres dan tanpa ekpektasi apapun ini mendapatkan respon yang bagus. Bahkan melambungkan namanya sendiri hingga melampaui band-nya, Anomalyst yang kini malah berstatus hiatus.
Awal tahun ini Kurosuke sempat merilis singel duet dengan Kitten Dust yang berjudul “Velvet” yang begitu manis. Sekaligus mengukuhkan sosoknya sebagai multiinstrumentalis sekaligus singer/songwriter dengan karakter vokal kuat baik dari musikalitas maupun kharisma sosoknya yang sangat berbeda dengan singer/songwritter lain yang ada di kancah lokal saat ini.
Paska kembalinya Koruseke dengan album kedua yang terbilang cepat ini materinya dikerjakan sejak Desember 2018. Dan dengan rentang waktu yang cukup panjang tentu sulit untuk tidak menyimpan ekspektasi tertentu akan apa yang akan ditawarkan Kurosuke melalui album tentang kisah-kisah bunga mawar dan minuman anggur ini melalui 8 track dengan 2 track instrumental.
Seperti album sebelumnya, Kurosuke kembali membuka track pertama dengan intro musik intrumental yang gloomy. Lalu masuklah musik yang bernunansa disko/funk 70an – atau kini, city pop – berjudul “Moscato” yang membuka album ini dengan musik ceria, lirik optimis dan manis. Sangat menjanjikan dan harapan pun melambung tinggi. Pun dengan potongan liriknya yang optimis melambungkan harapan.
“Here we go / To a place we can grow / It’s a blessing to be in love / We’ve got whole life to grow”
Lalu berturut-turut “Roses” dan “Little Joy” menyambangi telinga dan sedikit menurunkan tempo lagu-lagunya. Tapi situasi tetap kondusif, karena kedua lagu ini sudah dirilis sebagai singel sehingga terasa sangat familiar. Walaupun dengan tempo yang diturunkan namun balutan musiknya yang masih ceria dengan notasi lirik yang begitu pop dan lirik tetap manis. Seperti pada bait chorus-nya “Roses”
“Every time i see your eyes / I know roses fill your eyes / The skies are clear / The sun is here / I see roses in your eyes”
Lalu telinga kembali disodorkan pop manis berikutnya melalui suara synth, kibor dan cabikan gitar yang menari-nari dan saling bersahutan di “Little Joy”
“Wouldn’t it be nice / If we live side by side / Walking hand in hand / Life will be a little joy”
Namun ternyata keceriaan ini tidak berlangsung lama. Track ke 5 “The Tales of Roses & Wine Pt. 2” menjadi penanda kita akan dibawa ke dalam mood yang berbeda. Kurang lebih sama dengan album pertamanya. Lagu-lagu mellow bertempo lambat, dengan kadar gloomy langsung menghampiri. Yang awalnya seperti menebarkan harapan untuk membuat berdansa, ternyata malah kunjung sirna.
Setengah album ke belakang rasanya seperti kembali mendengarkan album perdananya. Dengan mood dan instrumentasi serta notasi yang hampir sama. Walaupun sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Namun dengan berhasilnya menaruh lagu upbeat sebagai pembuka, saya pribadi berharap Ario lebih banyak untuk bermain di area baru yang lebih ceria dan upbeat dan jelas sudah berhasil melalui “Moscato”, “Roses” dan “Little Joy” itu.
Mendengarkan album ini seperti rasa kesenangan yang tanggung. Meskipun dalam berbagai siaran berita Ario sudah menjelaskan konsep album ini yang memang terbagi menjadi dua mood yang bertolak belakang. Dan meskipun begitu harus diakui sulit untuk menolak hidangan utamanya yaitu sosok Kurosuke dengan vokal baritonnya yang bernyayi hangat, dibalut musik bertempo lambat dan gloomy. Dan semua hal itu tetap disajikan dengan sangat nikmat dan menawan melalui aransemen yang sangat berjodoh untuk menemani perjalanan dengan kendaraan di bawah lampu-lampu kota ini.
Bicara soal aransemen dan produksi adalah masih menjadi kelebihan lain album ini. Dibantu oleh Enrico Octaviano sebagai co-producer yang turut menyempurnakan aransemen semua lagu yang dimainkan sendiri oleh Ario. Sosoknya sebagai multi instrumentalis yang memainkan sebagian besar instrumen yang ada di dalamnya terbilang jarang untuk solois/penyanyi pria jaman sekarang. Sehingga sedikit banyak mengingatkan pada sosok sang maestro, Fariz RM yang juga memainkan hampir semua instrumennya sendirian di mayoritas albumnya di era 80an.
Meskipun begitu untuk beberapa porsi di album ini tetap dipercayakan kepada ahlinya seperti Enrico Octaviano di perkusi, liukan bass joget “Moscato” yang diisi oleh Rishanda Singgih, serta Natasha Rosanie dan Jonathan Harahap yang membantu vokal latar. Semua bebunyian dipilih secara apik dan detail sehingga mampu hadir sebagai album yang sangat dijaga mood-nya ini. Meski begitu namun entah kenapa unsur raw yang terasa di album pertamanya berkurang jauh, dan berganti dengan kematangan yang untungnya tidak sampai overcooked. Di sisi lain musik Kurosuke yang spontan dan tanpa ekspektasi di album perdana sebelumnya hilang dan menjelma menjadi komposisi musik yang lebih mapan dan dengan hook-hook super-catchy.
Namun seperti yang sudah pernah Ario ceritakan dalam wawancara ekslusif dengan Pop Hari Ini, kalau ke depannya ia berencana untuk membuat materi lainnya yang menjadikan “Moscato” sebagai cetak birunya. Kalau begitu, mari kita tunggu tanggal mainnya.
____
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo
Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …
Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi
“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11). Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …