Resensi: Mr. Jarwo – Anti Rebahan

Oct 1, 2021
Mr. Jarwo Anti Rebahan

Sepertinya bukan hanya penggemar Naif yang merindukan band favorit mereka. Tampaknya rasa itu juga dimiliki Fajar Endra Taruna Mangkudisastro alias Jarwo, satu-satunya personel Naif yang bersikeras kalau grup asal Jakarta itu belum bubar walau ketiga rekannya menyatakan sebaliknya di pertengahan 2021. Alhasil, tak mengejutkan apabila unsur-unsur khas Naif yang dapat ditemukan pada Anti Rebahan, album solo yang dirilisnya secara independen sebagai Mr. Jarwo.

Kalau 1st Journey, album solo perdananya yang dirilis di bawah nama Mr. J pada tahun 2009, lebih menonjolkan eksplorasi Jarwo sebagai musisi dan komponis musik instrumental, maka di Anti Rebahan ia mempersembahkan lagu-lagu yang lebih pop seperti yang dilakukannya bersama Naif. Malah di sini ada setidaknya dua lagu yang pernah digarapnya bersama Naif, yakni “Rama dan Shinta” yang dulu menjadi bagian dari proyek album dengan judul sama di pertengahan 2000-an yang berujung tak terselesaikan; serta “Dia di Mana Dia di Sana”, lagu yang sebelumnya dikenal sebagai “Dia di Mana” dari album kompilasi lagu sisa Let’s Go! dan kini menjadi lebih panjang dari segi durasi, aransemen maupun judul. Ada juga satu perbedaan besar antara dua album solo ini, yakni 1st Journey merupakan album yang sepenuhnya berisi komposisi instrumental, dan di Anti Rebahan Jarwo menambahkan peran sebagai vokalis di samping memainkan semua instrumen.

Tapi giliran Jarwo yang berbicara, bersiaplah untuk berspekulasi kepada siapakah ia mengarahkan kata-kata seperti “Kau selalu, selalu menganggap diriku/Angin lalu yang berlalu” yang terdapat di lagu “Bebas”

Di satu sisi, karya-karya ciptaan Jarwo yang terdapat di Anti Rebahan sarat akan rasa manis yang diusung selama tujuh album bersama Naif, tapi dengan ruang lebih untuk unjuk gigi sebagai gitaris sehingga lagu-lagu ini tak ada yang berdurasi di bawah empat menit. Rasanya kesenduan melodius “Pertalian Jiwa” cocok jika dimasukkan ke album Naif seperti Televisi atau Planet Cinta, dan pengalamannya menjadi bagian dari harmonisasi vokal mereka kini sangat berguna di Anti Rebahan. Di sisi lain, sulit membayangkan “Penari Pagi” dengan perpaduan petikan gitar akustik dan kocokan gitar elektrik terdistorsi ada di album Naif mana pun, apalagi dengan solo tapping ala Eddie Van Halen. “Morning Light” yang cantik mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah lagu yang mewakilkan esensi Jarwo: tak banyak berkata dan lebih membiarkan suara gitarnya yang berbicara. Tapi giliran Jarwo yang berbicara, bersiaplah untuk berspekulasi kepada siapakah ia mengarahkan kata-kata seperti “Kau selalu, selalu menganggap diriku/Angin lalu yang berlalu” yang terdapat di lagu “Bebas”.

Pada dasarnya, Anti Rebahan adalah album dari seorang musisi yang berada di persimpangan kariernya yang panjang. Wajar juga jika Jarwo memilih untuk tetap berpegang pada kenyamanan masa lalunya, walau harus berjalan tanpa rekan-rekannya

Walau vokal latarnya selalu menjadi unsur yang krusial dalam musik Naif, sebagai vokalis utama suara Jarwo yang sengau dan tipis terasa kurang memberi greget ke lagu-lagunya, termasuk “Anti Rebahan” yang bermaksud menyemangati tapi malah terasa meninabobokan. Apalagi Jarwo sudah lebih dari dua puluh tahun bermain di satu band bersama David Bayu, salah satu vokalis terbaik yang pernah ada di Indonesia, sehingga sulit untuk mendengar album ini tanpa membayangkan akan seperti apa jadinya andai ia mengajak penyanyi yang karakternya lebih kuat. Sulit juga untuk tidak mengira-ngira bagaimana kehadiran rekan kerja yang tepat – entah itu produser atau teman satu band – bisa mengarahkannya untuk menciptakan lagu-lagu yang lebih cocok untuk suara rendahnya yang renyah seperti pada lagu “Nada Hujan”, membuat aransemen lagu-lagu ini menjadi lebih singkat dan padat tanpa bertele-tele, serta mendorong Jarwo agar tidak tersangkut di zona nyamannya.

Pada dasarnya, Anti Rebahan adalah album dari seorang musisi yang berada di persimpangan kariernya yang panjang. Wajar juga jika Jarwo memilih untuk tetap berpegang pada kenyamanan masa lalunya, walau harus berjalan tanpa rekan-rekannya. Mungkin banyak penggemar Naif yang mengharapkan ia membuat album seperti ini, karena setidaknya bisa sedikit mengisi kekosongan akibat bubarnya band kesayangan sambil berharap-harap mereka akan kembali suatu saat nanti. Namun sayang juga jika Mr. Jarwo tidak memanfaatkan keleluasaan berkarya yang kini dimilikinya sambil menaati kata-kata band lamanya itu: jangan terlalu Naif.

 


 

Penulis
Hasief Ardiasyah
Hasief Ardiasyah mungkin lebih dikenal sebagai salah satu Associate Editor di Rolling Stone Indonesia, di mana beliau bekerja sejak majalah itu berdiri pada awal 2005 hingga penutupannya di 31 Desember 2017. Sebenarnya beliau sudah pensiun dari dunia media musik, namun kalau masih ada yang menganggap tulisannya layak dibaca dan dibayar (terutama dibayar), kenapa tidak?

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …