Resensi: Pusakata – Dua Buku

Aug 13, 2019

Artist: Pusakata
Album: Dua Buku
Label: MyMusic
Peringkat Indonesia: 7/10

Selalu jadi pilihan sulit ketika personil band kesayangan berpisah dan masing-masing membuat album sendiri, lalu pendengar (seperti) harus memilih satu dari mereka. Plus juga sulit untuk tidak membanding-bandingkan dengan karya sebelumnya. Hal ini terjadi dengan proyek solo dari Mohammad Istiqamah Djamad atau akrab disapa Is, mantan vokalis/gitaris Payung Teduh yang akhirnya merilis album perdana, Dua Buku di bawah moniker Pusakata.

Album penuh perdana Pusakata, Dua Buku berisi 12 lagu. Dan dalam format fisik berwujud album dobel berisi 2 CD. CD pertama berisi 4 lagu akustik, mendayu-dayu lengkap dengan lirik puitis yang menjadi ciri khasnya bersama Payung Teduh. CD kedua berisi 8 lagu yang menampilkan sisi nge-rock seorang Pusakata. Jejak yang sesungguhnya telah ada di album terakhir Is bersama Payung Teduh, Ruang Tunggu (2014) melalui lagu seperti “Muram” dan “Kerinduan”.

Sebagai intro, sebelumnya 4 singel telah dirilis. Dari “Kehabisan Kata”, “Cemas”, “Kumpul Famili dan Teman” dan “Jalan Pulang” serta yang terbaru “Kita” dirilis sebagai singel ke 5. Lagu-lagu bernunasa akustik pop jazzy yang cenderung lebih elektrik ini merupakan perkenalan cukup smooth sosok baru Is sebagai Pusakata yang menjadi lebih elektrik dengan sentuhan pop rock yang lembut. Dengan snare drum sedikit menghentak dengan suara gitar ber-overdrive crunch tipis. Semuanya masih sesuai harapan dan bayangan.

Namun yang tidak sesuai bayangan adalah lagu-lagu lainnya yang bernuansa rock alternatif, funk dan bahkan hard rock. Sebetulnya tidak mengherankan bila melihat latar belakang lagu-lagu rock kesukaannya yang pernah ia ungkap pada Pop Hari Ini melalui 5 Lagu Rock Indonesia Pilihan-nya. Isinya adalah musik 90an seperti Nugie, Voodo, Flowers (kini The Flowers), Padi dan bahkan God Bless.

Semua pengaruh itu terasa hadir ke dalam lagu-lagu Pusakata yang bernuansa rock. Terutama lagu “Di Mana Kau Kawan” dan “Aku, Kau dan Malam” yang beraroma seperti Padi. Rock 90an ini juga hadir utuh di lagu seperti “Bangun”, dan “Watch Out”. Hal ini pasti mengejutkan bagi penggemar lama Payung Teduh. Meski begitu musikalitas Pusakata di album perdana ini jelas telah melangkah jauh-jauh maju dengan melakukan eksplorasi di luar daerah nyamannya dengan bermain musik rock era 2 dekade ke belakang. Didukung oleh deretan musisi mumpuni yang menamakan diri mereka The Panganans. Dari gitaris Denny Chasmala hingga kibordis/produser album ini, Lukas Sandrach. Menjadikan aransemen album ini begitu kaya dan dari sisi produksi terdengar sempurna.

Namun sayangnya dalam musik rock di album ini tidak ditemukan magisnya suara vokal seorang Is, dan permainan kata-kata yang sudah sampai tahap maestro bila bernyanyi dan berbicara tentang senja, kopi dan kerinduan. Terbukti di lagu “Aku, Kau dan Malam” yang funky. Dengan genit Is berseru: mendekatimu aku pun mau / tapi ku ragu apakah kau mau / bicara denganmu sungguh kuragu / kuberharap kita bisa lalui malam ini. Ketika dibalut musik rock funky 90an dengan gaya bernyanyi Is yang baru, liriknya langsung terdengar janggal hingga mampu membuat alis mata terangkat sebelah.

Begitu pula dalam 3 lagu rock lainnya “Bangun”, “Di Mana Kau Kawan” dan “Watch Out”. Dari sisi vokal dan liriknya lagi-lagi tidak terdengar menonjol. Meskipun upayanya menarik, mengawinkan musik pop rock dengan pop akustik jazzy yang pernah jadi kekuatan Is bersama Payung Teduh. Namun ternyata sayangnya lagi-lagi eksekusinya terasa tidak pas. Terlebih bagian liriknya yang terasa belum ‘kawin’ dengan musiknya. Kekuatan kata-katanya hilang. Dan sulit untuk tidak membandingkan dengan lagu-lagu di CD 1 Dua Album yang bernuansa akustik nan syahdu yang sudah jelas jadi kekuatannya.

Meskipun begitu eksplorasi dan progres album ini patut diacungi jempol. Tapi tetap buat fans Payung Teduh garis keras era Is seperti saya album Dua Buku ini terasa asing dan berbeda. Jika bicara move on, dengan berat hati saya emoh. Saya memilih untuk terjebak dan terbuai dengan masa lalu menikmati “Cemas” yang kontemplatif, “Lagu Pesisisir” yang meneduhkan, “Kumpul Famili dan Teman” yang meriah, meliuk dari melayu, menjadi cha-cha dan tango. Kalau pun harus memilih lagu yang nge-rock pilhan jatuh pada “Jalan Pulang”. Yang jadi transisi yang halus antara musisi akustik yang merupakan titik maksimal pencapaian rock seorang Is.

 

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Telah Berpulang Firza Achmar Paloh SORE

Berita duka menyelimuti musik Indonesia pagi ini. Vokalis, gitaris, sekaligus penulis lagu band SORE, Firza Achmar Paloh atau dikenal Ade Paloh meninggal dunia di usia 47 tahun hari Selasa (19/03). Informasi muncul pertama kali …

Kolaborasi Musisi Indonesia dalam Single Tanah Para Nabi untuk Palestina

Sebagai bentuk respons dari kejahatan zionis Israel yang menjajah warga Palestina di Gaza, dua musisi perempuan Indonesia, Bella Fawzi dan Annisa Theresia tergerak untuk merilis sebuah karya musik berjudul “Tanah Para Nabi” hari Jumat …