Resensi: Texpack – Spin Your Wheels

Nov 18, 2019

Saya selalu iri dengan tumbuhnya (meski belum masif) band-band indie/alternative rock di Ibukota juga di kota-kota lainnya, sebut saja: Skandal, Barefood, Morfem, Zzuf, Jirapah, Sugarsting, dan lainnya. Andai saja, gelora ini muncul di era 90-an pasti hasilnya bakal gawat sekali.

Tapi tak apalah, bahwa kemunculan band-band ini adalah gambaran bahwa atensi anak muda akan akar musik alternatif tetap ada. Itu saja sudah membuat saya tersenyum ketika setiap saat saya bisa membuat playlist berisi lagu-lagu dari band yang yang saya sebutkan di atas tadi, dan daftarnya terus menambah. Ada potensi lagu-lagu enak yang bisa saja masuk di tengah jalan, termasuk di dalamnya “Perfect Buzz”, lagu keren dari band asal Bogor, Texpack.

Menariknya, meskipun secara geografis band-band tersebut terpisah, namun hal yang menarik adalah band-band ini sebenarnya terhubung secara komunitas atas dasar ketertarikan pengaruh yang sama. Itu yang membuat mereka menarik, baik secara individu maupun secara kolektif. Sering saya temui acara-acara dimana band-band ini bisa sepanggung bersama, meski tak semuanya, seperti di Thursday Noise misalnya. Sebuah pilihan acara alternatif dari pensi-pensi hari ini yang mulai membosankan.

Lebih dari sebuah ‘guitar album‘ terbaik, Spin Your Wheels juga adalah album terbaik,  album ini punya semuanya. Terlepas dari membicarakan pengaruh-pengaruh yang diraup kemudian dimuntahkan dalam songwriting dan notasi-notasi yang keren, Spin Your Wheels punya karakter matang yang membuat saya langsung menaruh lampu sorot. Kolaborasi tak terduga dengan musisi/penyair Edo Wallad (The Safari) di lagu “Gadog” adalah salah satunya. Lagu ini sukses mengilas balik mantra-mantra nihilis Om Bagus di Album Minggu Ini dari Netral. Sepuluh kali saya memutar lagu ini lagi dan lagi hanya untuk menikmati semua elemen indah di lagu ini: gebukan drumnnya, petikan dan kocokan kalem gitarnya, bassline-nya serta ‘rentetan peluru kata’ yang ditembakkan kalem oleh Edo Wallad. Sinting!

“Fobia” di satu sisi punya sisi menarik. Berbekal gitar akustik mengisi keheningan, ini adalah tipe ‘lagu tongkrongan’ yang secara mengejutkan punya songwriting dengan tingkat kekerenan yang jahanam.

Balik lagi, jika ini adalah tahun 90-an, tentu anak muda akan sebegitu masuk akalnya untuk mengapresiasi musik ini dengan baik; stage dive, moshing dll mungkin akan menjadi pemandangan normal bagi band ini, bukan ‘dingin’ seperti yang saya lihat di M Bloc beberapa waktu lalu. Atau mungkin mereka hanya salah crowd? Mungkin ada yang salah dengan mereka, atau dengan ‘band-band guitar music’ yang saya sebutkan di atas. Fuck, saya akan fight untuk menjadikan album ini album terbaik!

 

____

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Maxi Single Mekar Seribu Runtun Jadi Momen Kembali CJ1000

Band yang menamakan genre musik mereka heavy rock ugal, CJ1000 akhirnya kembali berkarya lewat perilisan maxi single Mekar Seribu Runtun berisi dua lagu “Mekar Seribu Runtun” dan “Tangga Semesta II” (15/01).      CJ1000 …

Lalahuta Ungkap Cinta yang Terpendam Lewat Single Pintu Rahasia

Lalahuta membuka tahun yang baru lewat perilisan single “Pintu Rahasia” (15/01). Single ini mengangkat sisi kerahasiaan dari kisah cinta dengan menyentuh tema kejujuran dan perasaan mendalam yang sulit untuk diungkapkan.     Berdurasi sekitar …