The Jadugar

Mar 2, 2020

Duo pembuat video musik arus samping The Jadugar, yang aktif di era 2000-an merilis buku tentang dokumentasi karya-karyanya. Judulnya cukup provokatif dan percaya diri, 15 Tahun Mengobrak-abrik Video Musik Indonesia

Tapi benarkah “mengobrak-abrik”? Mari jabarkan makna kata itu sesungguhnya. Situs Kamus Besar Bahasa Indonesia mendeskripsikan kata itu sebagai: ubrak-abrik, membuat tidak beraturan (acak-acakan), membuat berantakan.

Memang apa yang telah duo lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini lakukan di kancah video musik Indonesia pada masanya? Yang jelas judul itu sukses membuat saya penasaran dengan kisah-kisah dan pendokumentasian karya-karya duo Anggun dan Betmen “The Jadugar” yang lucunya tidak berlatar belakang film secara profesional maupun akademis.

Mereka adalah Henry “Betmen” Foundation, mahasiswa seni grafis; dan Anggun, lulusan desain Interior. Cerita sukses mereka yang bukan “anak-film” ini menjadi perbincangan di kalangan rekan-rekan senior mereka yang kuliah di jurusan sinematografi/perfilman di IKJ. Terutama karena The Jadugar mematahkan anggapan kalau membuat video adalah sebuah proses panjang, melibatkan banyak kru dan berbujet besar. Ditambah ketika duo ini berhasil memenangkan penghargaan “Best Director” di ajang MTV Video Music Awards 2003 dengan video musik “Train Song” yang fenomenal itu.

Dan kemenangannya yang mendobrak batasan pada masa itu mendasari pembahasan utama buku ini. Dengan menghadirkan penulis-penulis muda yang menyumbangkan esai, wawancara sejumlah orang, hingga Anggun dan Betmen menceritakan di balik cerita video-video yang mereka buat. Itu poin-poin paling menarik yang dibahas di buku ini. Tapi sayangnya mereka seperti asik sendiri. Kok bisa? Begini, buku ini terbagi ke dalam 3 bagian; Tulisan Dari Teman-Teman, Kata Mereka Tentang Jadugar, Narasi Dari Lokasi.

Di bagian pertama “Tulisan Dari Teman-Teman”, The Jadugar sebagai anomali betul-betul dikupas secara mendalam. Di antaranya dari estetika visual, seni rupa kontemporer, perlawanan terhadap sistem kerja video konvensional serta kelahiran generasi baru dan MTV Indonesia. Namun sayangnya di setiap tulisan esai dari kawan-kawan ini sama sekali tidak dijelaskan siapa mereka dan hubungannya dengan The Jadugar. Pun fotonya hanya dibuat skesta sekenanya yang tidak representatif. Hal ini kembali terulang di bagian kedua, “Kata Mereka Tentang The Jadugar”, dan tidak membaik di bagian terakhir, “Narasi dari Lokasi” yang penuturan ceritanya juga mengalir tanpa bentuk yang jelas.

Di bagian pertama The Jadugar dan tim cukup piawai memilih nama-nama untuk menulis esai tentang mereka. Karena yang dipilih adalah nama-nama dari lingkaran seni rupa dan pelaku kancah skena independen yang memang terlibat langsung. Namun cukup prihatin dengan esai Prima Rusdi yang ditaruh sebagai pembuka. Karena Prima seperti harus menulis sendiri ke-aku-annya, alias validasi diri dalam bagian pertama tulisannya. Akan lebih bijak bila tulisan itu dibuat dari tim The Jadugar. Karena kalau saja saya tidak tahu Prima, besar kemungkinan akan merasa -izinkan memakai bahasa masa kini-, cringe saat membaca bagian tulisan tentang dirinya itu sendiri sebelum masuk membahas duo sutradara ini. 

Untuk bab berikut “Kata Mereka tentang The Jadugar” kepiawaian memilih nama-nama yang dihadirkan ini kembali diuji. Karena problemnya sama, tidak ada penjelasan siapa dan bagaimana hubungannya dengan The Jadugar. Sehingga cenderung terasa sektoral dan asik sendiri. Untungnya diselamatkan oleh isi wawancara yang menarik. seperti dengan Nana Suryardi (sosok ketiga the Jadugar), Hendra Pisang, Mushowir Bing, Sidi Saleh, Hafiz Rancajele dan Oomleo.

Selain nama Oomleo yang sangat dikenal dengan karaoke-nya, rasanya sangsi para pembaca paham betul siapa nama-nama itu. Kecuali jika mereka pernah bersinggungan dengan skena seni rupa/IKJ/independen  Hal ini tidak membaik di bagian terakhir, “Lokasi dari Narasi” ketika total 48 cerita tentang proses pembuatan video musik ditulis sekenanya dan tanggung, serta tidak jelas yang mana karya yang dibuat bersama atas nama The Jadugar atau atas nama sendiri-sendiri. Semuanya bercampur-aduk.

Mungkin lebih menarik jika bab terakhir spesifik membedah video The Jadugar yang benar-benar berpengaruh. Tentunya dengan sisipan halaman berwarna. Juga di bab sebelumnya akan lebih menarik jika digali dari luar lingkaran The Jadugar. Seperti mewawancarai bu Acin “Musica” secara langsung. Demi menuntaskan rasa penasaran benarkah beliau setuju dengan pilihan estetika The Jadugar ketika menggarap video Peterpan? (menjawab pertanyaan Taufiq Rahman di halaman 27). Begitu pula apa komentar Rizal Mantovani, karena Oomleo menyatakan kalau Jadugar sempat berusaha jadi antitesis dari sutradara video musik yang sangat populer saat itu (halaman 82). Juga apakah BIP, Slank, Nidji puas dengan video musik mereka?

Buku ini seperti kebablasan membahas betapa kontemporernya kehadiran The Jadugar di arus utama sampai akhirnya asik sendiri. Ya mungkin bisa diandaikan seperti karir mereka yang berakhir cukup singkat di 2006. Tapi toh sepertinya Betmen dan Anggun tidak pernah ambil pusing. Karena mereka hanya ingin bersenang-senang saja, tanpa ada tendesi. Hal yang juga menjadi alasan mundurnya Nana dari Jadugar. Yang sempat ingin meninggalkan kerjaan kantornya dan fokus membesarkan The Jadugar, namun ketika dibicarakan responnya tidak sesuai harapan.

Pun mengagumkan bagaimana The Jadugar bisa membuat penerbit sebesar Gramedia bisa menerbitkan buku yang lebih mengedepankan opini subjektif yang sentimentil ini. Tentunya akan sangat menyenangkan buat mereka yang pernah mengalam era ini, dan saya sendiri adalah salah satunya. Tapi buat yang tidak mengalami? Entah.

Sesungguhnya buku ini berpotensi hadir sebagai pembacaan zaman dan sebuah generasi. Bagaimana tsunami informasi melalui internet mampu merubuhkan batasan kaku untuk para pekerja kreatif dengan latar belakang jauh berbeda. Bagaimana sebuah generasi bisa menjadi siapa saja yang mereka inginkan tanpa terpaku jurusan yang telah ditekuni sedari di bangku kuliah. Berbeda dengan yang angkatan sebelumnya alami.

Jadi benarkah the Jadugar mengobrak-abrik video musik Indonesia? Seperti ucapan Betmen yang menegasikan bahwa Jadugar itu adalah “perlawanan”, kemudian disambung oleh gelak tawa menertawakan dirinya sendiri (di halaman 25 dalam esai M.Hilmi), sepertinya kalau buku ini bisa mengeluarkan suara, pasti ada gelak tawa di belakang judulnya yang provokatif dan percaya diri ini. Karena bisa jadi kita semua adalah korban kejahilan The Jadugar.

____

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …