Rhoma Irama dan Deep Purple, Terinspirasi dan Menginspirasi

Mar 13, 2023
Rhoma Irama Deep Purple

Konser band rock legendaris, Deep Purple telah berhasil diselenggarakan pada hari Jumat, 10 Maret 2023 di Eduotorium UMS, Solo, Jawa Tengah. Digelar sebagai bagian Deep Purple World Tour 2023, Deep Purple telah kali keempat mendatangi Indonesia, yakni 1975 dan 2002 di Jakarta, 2004 di Bali, serta 2023 di Solo. Namun konser kali ini diselenggarakan tidak biasa, selain tentunya menghadirkan Rhoma Irama, konser ini seakan mengingatkan kita pada konser yang telah terjadi 48 tahun silam di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Pada konser tersebut, God Bless menjadi band pembuka dari Deep Purple. Bahkan, konser tahun 1975 itu menjadi konser band internasional pertama dan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia—di kala itu.

Pada tahun 2023, konser ini tentu kembali mengukir sejarah untuk sejarah musik Indonesia. Pasalnya pihak penyelenggara, Rajawali Indonesia mengulang kembali momen penting 48 tahun silam, merayakan ulang tahun ke-50 God Bless dan kembali mempertemukan mereka, serta memberikan kejutan tamu rahasia pada konser Deep Purple tahun 2023 ini.

Adalah Rhoma Irama, sang raja dangdut juga ikut tampil sebagai tamu rahasia pada konser tersebut. Dan hal tersebut berhasil dirahasiakan tim penyelenggara hingga pentas tiba. Beruntung sekali rasanya menjadi penonton pada malam itu yang menonton sedari awal konser, dapat menyaksikan tiga legenda beraksi pada satu konser dan satu panggung yang sama.

Konser ini seakan mengingatkan kita pada konser yang telah terjadi 48 tahun silam di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Pada konser tersebut, God Bless menjadi band pembuka dari Deep Purple. Bahkan, konser tahun 1975 itu menjadi konser band internasional pertama dan terbesar sepanjang sejarah di Indonesia—di kala itu

Alhasil mudah saja menyatakan jika konser Deep Purple kali ini telah kembali menorehkan sejarah pada perjalanan musik di Indonesia. Karena konser ini tidak hanya klangenan untuk penggemarnya, melainkan menjadi afirmasi jika Deep Purple tak hanya berpengaruh pada genre musik rock di Indonesia, tetapi genre musik yang kerap dirivalkan dan memuncak pada pelbagai tumbukan di tahun 1970an, Dangdut.

Menggoyang Penggemar Deep Purple

Deep Purple, band legendaris asal Inggris ini sangat dikenal publik Indonesia. Pelbagai karyanya, seperti “Smoke on the Water”, “Burn”, “Soldier of Fortune”, “Child in Time”, “Highway Star”, “Speed King”, dan lain sebagainya, tak asing di telinga pencinta musik rock. Dua band rock legendaris asal Indonesia, God Bless dan Giant Step pun turut terinspirasi dari karya-karya Deep Purple. Singkat kata, Deep Purple memiliki pengaruh untuk tumbuh kembangnya musik rock di Indonesia. Hal itu yang kiranya membuat band ini telah konser kali keempat di Indonesia.

Pada konser tahun ini, munculnya Rhoma Irama sebagai tamu rahasia tentu mengejutkan penonton Indonesia. Siapa sangka Rhoma Irama benar-benar bisa satu panggung dengan Deep Purple. Perbedaan genre musik yang terlalu jauh dan kompleksitasnya terlalu rumit—semisal sempat adanya rivalitas Rock dan Dangdut di Indonesia tahun 1970-an, walau dianggap sudah terselesaikan.

Pada konser tahun ini, munculnya Rhoma Irama sebagai tamu rahasia tentu mengejutkan penonton Indonesia. Siapa sangka Rhoma Irama benar-benar bisa satu panggung dengan Deep Purple

Baca tulisan saya, “Membaca Ulang Kontestasi Dangdut dan Rock Era 1970-an” (2021) untuk mengetahui bagaimana tarik ulur penyelesaian konflik antar genre tersebut. Alhasil membayangkan Rhoma Irama berada satu panggung dengan Deep Purple terlampau sulit dilakukan. Namun Rajawali Indonesia mengabulkan impian tersebut dan menghadirkan mereka berada di satu konser yang sama.

Pada konser tersebut, Rhoma dan Soneta Grup membawakan empat lagu, “Nafsu Serakah”, “Badai Fitnah”, “Seni”, dan “Hari Berbangkit”. Giliran Rhoma Irama dan Soneta unjuk gigi tidak lebih dari 30 menit. Jika kita dengar secara saksama, impresi dari pilihan lagu-lagu yang dibawakan Soneta telah memberikan petunjuk adanya pengaruh musikal Rhoma yang memang bermuara pada Deep Purple—baik yang sifatnya mengembangkan dari lagu maupun terinspirasi musik Deep Purple.

Lagu pertama, “Nafsu Serakah” membuka konser dengan luar biasa. Soneta tiba-tiba muncul dari balik tirai hitam dengan intro “Smoke on the Water” berkumandang. Hal ini tentu multi interpretasi, namun bagi saya hal ini menjelaskan keterkaitan antara kedua lagu, di mana  “Nafsu Serakah” terinspirasi dari “Smoke on the Water”—khususnya pada bagian verse pada “Nafsu Serakah” yang terinspirasi dari reff “Smoke on the Water”. Lagu Deep Purple, “Smoke on the Water” dirilis tahun 1972 dan menjadi single karena hit di tahun 1973, sementara lagu “Nafsu Serakah” dirilis tahun 1980. Lagu “Nafsu Serakah” dikenal luas sebagai lagu tema atau jalur suara (soundtrack) dari film Perjuangan dan Doa.

Rhoma dan Soneta Grup membawakan empat lagu, “Nafsu Serakah”, “Badai Fitnah”, “Seni”, dan “Hari Berbangkit”. Jika kita dengar secara saksama, impresi dari pilihan lagu-lagu yang dibawakan Soneta telah memberikan petunjuk adanya pengaruh musikal Rhoma yang memang bermuara pada Deep Purple

Namun ini bukan kali pertama, tercatat beberapa kali telah Rhoma bawakan kedua lagu secara medley ini di beberapa pentas, semisal Kilau Raya MNCTV 29 tahun 2020 atau Konser Viva Dangdut Soneta—sebagai ulang tahun PAMMI—tahun lalu. Hal ini dilakukan Rhoma dan Soneta sebagai rasa hormat terhadap band yang menginspirasinya. Pada dua acara tersebut, Rhoma dan Soneta membawakan intro dan reff dari “Smoke on the Water”. Namun tidak dengan konser tersebut, mereka hanya memainkan intronya saja.

Pun ketika intro dimainkan, seorang laki-laki kaukasian—yang disinyalir dari tim Deep Purple—menaiki panggung, menerobos masuk, dan mencoba menghentikan konser. Beberapa menganggapnya gimmick panggung, beberapa menganggapnya soal serius—semisal mengapa itu terjadi? Apakah sudah izin? Bagaimana briefing dilakukan? dan seterusnya. Laki-laki tersebut lalu turun panggung bersamaan dengan beralihnya intro “Smoke on the Water” ke intro “Nafsu Serakah”.

Tentu ini jadi catatan tersendiri pada penyelenggaraan, karena mau bagaimanapun hal tersebut tak bisa diabaikan. Dan harapannya semoga hal ini terselesaikan dengan baik dan tak berkepanjangan. Namun jika ditilik secara pembuka performans, yang dilakukan Rhoma dan Soneta sebagai tamu rahasia tentu menarik perhatian.

Pun ketika intro dimainkan, seorang laki-laki kaukasian—yang disinyalir dari tim Deep Purple—menaiki panggung, menerobos masuk, dan mencoba menghentikan konser. Beberapa menganggapnya gimmick panggung, beberapa menganggapnya soal serius—semisal mengapa itu terjadi? Apakah sudah izin? Bagaimana briefing dilakukan? dan seterusnya

Pada lagu kedua, Rhoma membawakan “Badai Fitnah”. Lagu ini dikenal publik sebagai lagu tema dari film Badai di Awal Bahagia rilisan tahun 1981. Jika didengarkan, lagu ini samar-samar terdengar seperti “Stormbringer” (1974) dari Deep Purple, khususnya pada alunan gitar dan bagian verse lagu. Namun, Rhoma tentu melakukan pelbagai penyesuaian dan pengembangan pada musik yang ia garap. Lagu ketiga, “Seni” dibawakan Rhoma dengan energetik. Lagu ini menjadi populer sebagai lagu tema dalam film Menggapai Matahari II yang diluncurkan pada tahun 1986. Lagu ini memiliki nuansa laiknya lagu Deep Purple yang bertajuk “Child in Time” (1970), khususnya pada bagian verse. Lagu ini juga terdengar mengadaptasi beberapa hal dari band Led Zeppelin yang bertajuk “Black Dog” (1971), khususnya pada bagian interlude.

Sementara melodi dan nada verse pada “Child in Time” tetapi dengan tempo yang lebih cepat, samar-samar tertaut pada lagu keempat yang dibawakan oleh Soneta, “Hari Berbangkit”. Lagu “Hari Berbangkit” merupakan lagu tema pada film Melodi Cinta yang dikenal publik pada tahun 1980. Pada lagu ini, Rhoma mengolah nada-nada yang mungkin ia dengar dari Deep Purple menjadi versinya sendiri. Bertolok dari penampilannya, Bagi saya keempat lagu tersebut menjadi elaborasi akan daya kreativitas Rhoma menafsir musik rock. Alhasil tertaut beat, nuansa, dan tentu cara mengalunkan gitar ala rock, khususnya gaya gitaris Deep Purple ala Ritchie Blackmore dan keyboardist Soneta yang banyak mendapat inspirasi dari permainan keyboard Jon Lord.

Tentu masih ada beberapa lagu Rhoma yang diduga juga terinspirasi dari Deep Purple, semisal “Kiamat”, “Kerinduan”, “Ghibah”, “Anjing dan Sampah”, dan lain sebagainya. Namun pilihan keempat lagu tersebut perlu diacungi jempol, pasalnya Rhoma menunjukkan kebijaksanaannya dalam memilih lagu pada konser Deep Purple ini. Di mana ia membawakan lagu-lagu yang kerap disinyalir terinspirasi dari Deep Purple, sebagai pilihan repertoarnya di konser tersebut. Padahal Rhoma bisa dengan sangat mudah menunjukkan kediriannya dengan membawa nomor-nomor andalan yang tidak tertaut dengan Deep Purple sama sekali atau menunjukkan kedangdutannya, tetapi Ia berlaku sebaliknya dengan membawa lagu-lagu yang justru dengan mudah dikenali memiliki kaitan dengan Deep Purple.

Hal ini tentu membuat saya percaya jika yang Rhoma lakukan bukan menjiplak lagu, melainkan menjadikan inspirasinya—dalam hal ini Deep Purple—sebagai materi musik, yang ia bongkar-pasang, kembangkan, dan hidupkan dalam proyek besarnya yang bernama dangdut.

Padahal Rhoma bisa dengan mudah menunjukkan kediriannya membawa nomor-nomor andalan yang tidak tertaut dengan Deep Purple sama sekali atau menunjukkan kedangdutannya, tetapi Ia membawa lagu-lagu yang justru dengan mudah dikenali memiliki kaitan dengan Deep Purple

Dalam konser ini, hal yang juga patut diacungi jempol adalah bagaimana Rhoma mendesain pakaiannya dan memilih sound yang tepat untuk penampilannya. Menurut Talent Relation Rajawali Indonesia untuk Soneta, Kiki Pea, Rhoma bahkan menggunakan pakaian laiknya rocker tahun 1970-an. Untuk pilihan sound, Rhoma juga memilih sendiri suara soundnya yang memang memberi kesan musik rock 1970-an. Spektakuler! Singkat kata, Rhoma memang menjadi tamu rahasia dalam konser Deep Purple tersebut, namun bukan rahasia jika sang raja Dangdut selalu memberikan penampilan terbaiknya.

Terinspirasi hingga Satu Panggung Bersama

Rhoma tidak pernah membantah jika ia terinspirasi dari Deep Purple. Pada pelbagai kesempatan, Rhoma justru terang-terangan menyatakannya. Bahkan band asal Inggris tersebut menginspirasi Rhoma Irama untuk membuat gebrakan baru pada genre musik yang ditempuhnya, Dangdut. Revolusi musik yang dibuat Rhoma Irama pada dangdut turut terinspirasi dari Deep Purple, Rolling Stones, dan Led Zeppelin. Tak bisa disangkal! Di dalam buku Dangdut Stories, etnomusikolog, Andrew N. Weintraub (2010) mencatat jika Rhoma memang menyadari jika musik Rock menjadi ancaman tersendiri untuk popularitas Orkes Melayu—cikal bakal musik Dangdut.

Kesadaran untuk bersaing dengan musik Rock inilah yang membuat Rhoma justru mengadaptasi beberapa hal untuk musik Dangdut yang ia garap. Salah satu yang paling mendasar adalah instrumen elektrik dan distorsi gitarnya. Pada pelbagai wawancaranya, Ritchie Blackmore menjadi salah satu gitaris yang paling banyak disinggung oleh Rhoma Irama. Lebih lanjut, Rhoma mengatakan “Kalau Anda lihat lagu-lagu saya, ada warna Deep Purple. Warna permainan gitar saya seperti warna bunyi melodi hard rock, Ritchie [Blackmore]” (Weintraub 2010, 110). Hal ini pun tampak pada pilihan nada, warna suara, dan petikan demi petikan senarnya di beberapa lagunya.

Rhoma tidak pernah membantah jika ia terinspirasi dari Deep Purple. Bahkan band asal Inggris tersebut menginspirasi Rhoma Irama untuk membuat gebrakan baru pada genre musik yang ditempuhnya, dangdut

Tentu penggunaan gitar elektrik bukan dilakukan oleh Rhoma seorang, banyak musisi di eranya mulai menjajal pada garapan dan genrenya masing-masing. Namun Rhoma secara spesifik memainkan gitar elektrik menjadi pengisi dan solo di bagian intro, interlude, dan beberapa titik lainnya. Sosiolog yang mengkaji Rhoma di tahun 1970-an, William Frederick juga menekankan hal yang sama di mana Rhoma mencari cara untuk memperkaya basis musik pada dangdut tanpa melemahkan karakter esensialnya (1982, 115).

Dalam tulisannya, Frederick turut mencatat jika grup Inggris Deep Purple berkesan untuk Rhoma, terutama soal instrumen dan nada. Sementara bagi Andrew N. Weintraub, musik rock telah memengaruhi pilihan instrumen, pilihan bunyi (sound system), pengembangan struktur lagu, kostum, gaya pementasan, ruang pentas (2010, 112-117). Pun hal ini diamini Rhoma Irama di dalam siniar, Bisikan Rhoma #3 di mana Deep Purple menginspirasi revolusi yang ia lakukan, khususnya pada instrumen, sound system, lighting system yang sama dengan Deep Purple. Alih-alih diterapkan menyeluruh, tentu Rhoma memilah mana yang cocok dan mana yang tidak. Dan olahan tersebut dikemas dengan cakap pada pelbagai albumnya.

Pada 10 Maret 2023, Rhoma menemui langsung inspiratornya, Deep Purple. Tentu ini bukan kali pertama, Rhoma bertemu langsung dengan Deep Purple. 48 tahun yang lalu, Rhoma telah menyaksikan konser tersebut secara langsung. Pun Rhoma juga menyaksikan konser Deep Purple pada tahun 2002, 21 tahun silam. Namun bukan sebagai penonton, Rhoma Irama dan Soneta hadir sebagai penampil. Penampil di satu panggung dan konser yang sama dengan band yang dahulu menginspirasinya untuk membuat terobosan pada musik yang ia garap, Dangdut.

Tak dapat disangkal jika membawakan intro “Smoke on the Water” di pembukaan Soneta bermain di konser Deep Purple tentu multi interpretasi. Ada yang menganggapnya menarik ada yang menuduh sebaliknya.

Sayang Rhoma kembali tidak bertemu dengan gitaris yang sempat ia teladani, Ritchie Blackmore. Padahal dari pengakuannya, Rhoma hanya mendengarkan Deep Purple pada album yang masih digarap oleh Ritchie Blackmore. Sementara pada keempat kali konser di Indonesia, Ritchie Blackmore tidak pernah menjadi line up. Maklum Ritchie telah keluar dari Deep Purple sebelum pentas di Indonesia 1975 dan sempat kembali bergabung tahun kembali 1984-1993. Maka, kehadiran Rhoma di konser Deep Purple kemarin, setidaknya mengingatkan kita bahwa ada Rhoma Irama yang meneladani cara Ritchie Blackmore sebegitunya. Kalau tak percaya dengarlah bagaimana Rhoma memetik gitar, memilih bunyi, hingga mengalunkan musik, lick demi lick-nya.

Ihwal Sejarah dan Soal Gonjang Ganjing Konser

Tak dapat disangkal jika membawakan intro “Smoke on the Water” di pembukaan Soneta bermain di konser Deep Purple tentu multi interpretasi. Ada yang menganggapnya menarik ada yang menuduh sebaliknya. Di Twitter, kritik mulai berdatangan menuduh Rhoma Irama dan Soneta tak tahu etika serta gelap mata soal kekayaan intelektual. Namun banyak fans Rhoma yang membela junjungannya. Alih-alih terbenam pada hal tersebut, saya justru ingin menunjukkan sudut pandang yang lain. Adalah soal Rhoma menjadi tamu rahasia pada konser tersebut.

Rhoma Irama sebagai kejutan tentu bukan hal yang biasa-biasa saja. Pasalnya pertarungan genre rock dan dangdut telah terjadi sejak lima puluh tahun silam, dan dianggap terselesaikan dengan Rhoma Irama dan God Bless berada di satu panggung pada tahun 1977

Deep Purple tentu tak mengenal Rhoma Irama dan Soneta. Band asal Inggris tersebut mungkin hanya mengetahui God Bless, itu pun karena mereka pernah berada di satu panggung 48 tahun silam. Namun apakah penonton dan pendengar rock di Indonesia tahu Rhoma Irama? Jawabannya, iya! Alhasil konteks menjadikan Rhoma Irama sebagai tamu rahasia pada konser ini sebagai kejutan untuk penonton Indonesia.

Rhoma Irama sebagai kejutan tentu bukan hal yang biasa-biasa saja. Pasalnya pertarungan genre rock dan dangdut telah terjadi sejak lima puluh tahun silam, dan dianggap terselesaikan dengan Rhoma Irama dan God Bless berada di satu panggung pada tahun 1977. Setelahnya mereka berada di satu panggung tahun 1985 dan 2021. Hal yang jarang kita saksikan lagi. Maka memanggungkan Rhoma Irama, God Bless, dan Deep Purple tentu kejutan besar untuk pendengar setia musik di Indonesia. Tidak hanya pertemuan Rhoma Irama dan God Bless, tetapi mereka bertemu dengan sang inspirator.

Pada konser tersebut, Rajawali Indonesia berhasil tidak memublikasikan Rhoma Irama dan Soneta sebagai line up konser hingga hari konser berlangsung. Dalam hal ini, menghadirkan tamu rahasia berhasil dilakukan. Munculnya Rhoma Irama tentu membuat penonton terpukau. Kendati demikian, menjadikan Rhoma tamu rahasia tentu tidak mudah. Kabar burung yang beredar, Rhoma bahkan sempat menolak dijadikan tamu rahasia. Lantas dengan daya dan upaya, Rajawali Indonesia mengupayakannya karena ingin memberikan kejutan spesial untuk penonton Indonesia.

Namun yang menjadi persoalan ketika “Smoke on the Water” berkumandang dari belakang tirai hitam. Ketika Rhoma dan Soneta telah tampak di atas panggung, seseorang berupaya menghentikannya. Di sini lah muncul pelbagai asumsi

Namun yang menjadi persoalan ketika “Smoke on the Water” berkumandang dari belakang tirai hitam. Ketika Rhoma dan Soneta telah tampak di atas panggung, seseorang berupaya menghentikannya. Di sini lah muncul pelbagai asumsi. Tuduhan tak tahu etika dan ihwal kekayaan intelektual muncul, tetapi apakah demikian adanya? Rhoma dan Soneta sebagai tamu rahasia tentu ingin memberikan kejutan besar pada konser, maka pilihan tersebut mereka ambil. Bagi saya, membawakan bagian intro dari lagu “Smoke on the Water” semata-mata sebagai bentuk apresiasi terhadap band yang menginspirasinya, Deep Purple. Tidak lebih!

Penonton semakin berasumsi ketika seseorang yang konon dari tim Deep Purple ingin menghentikan aksi pembuka. Tentu, asumsi kekayaan intelektual muncul dari interaksi tersebut. Kendati demikian, saya yakin jika Rhoma Irama dan Soneta tidak seceroboh itu. Rhoma Irama adalah orang yang well-prepared soal pentasnya. Lagu-lagu hingga rehearsal pasti telah dilakukan olehnya sebelum pentas diselenggarakan. Hal ini terbukti dari pilihan sound dan busana yang telah diperhatikan baik-baik olehnya. Alhasil saya menduga jika hal ini terjadi karena salah paham. Tiada yang menginginkannya.

Namun nasi telah menjadi bubur, tentu interaksi tersebut menyita perhatian, dan tak bisa diabaikan. Saya tentu bersepakat kita perlu memelajari lebih kekayaan intelektual, tetapi tak elok menanggalkan kontekstual. Bukan semata-mata membenarkan, tetapi agar dengan tepat persoalan bisa diposisikan dan penyelesaian bisa disiapkan. Harapannya dapat terselesaikan, tanpa berkepanjangan dan tak menjadi bola liar yang [terus] digulirkan, hingga menjadikan momen sejarah membuat maknanya terjarah.

 


*Catatan

Terima kasih kepada Kiki Pea selaku Talent Relation Rajawali Indonesia untuk Soneta yang telah memberikan kabar terbaru terkait konser, khususnya mengenai Rhoma Irama. Terima kasih kepada Rajawali Indonesia untuk penggunaan dokumentasinya.

Referensi

Frederick, W. H. (1982). “Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture”. Indonesia, 34, hal 103–130. https://doi.org/10.2307/3350952

Raditya, Michael H.B. (2021). “Membaca Ulang Kontestasi Dangdut dan Rock Era 1970-an”. Jurnal Ekspresi Seni 23(1), hal 75-95.

Weintraub, Andrew N. (2010). Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music. Oxford: Oxford University Press.

Penulis
Michael HB Raditya
Peneliti musik di LARAS-Studies of Music in Society. Pendiri Pusat Kajian Dangdut (www.dangdutstudies.com). Pimpinan orkes dangdut, O.M. Jarang Pulang. Buku terbarunya bertajuk: OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020). Salah satu tulisan dangdutnya diterbitkan oleh Routledge, pada buku Made in Nusantara: Studies in Popular Music (2021).
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Rahtut
Rahtut
1 year ago

Naiss ulasannya, jarang2 dapat baca ulasan musik yg berkualitas dan komprehensif seperti ini di era sekaran

Eksplor konten lain Pophariini

Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)

Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …