Rock Upon A Time: Kidung St.Loco Dua Puluh Tahun Setelahnya

Jun 6, 2024
St Loco Rock Upon A Time

Sebelum bicara soal St.Loco dengan album Rock Upon a Time, di awal milenia menginjak 2000 tahun masehi, Linkin Park menelurkan album Hybrid Theory pada Oktober 2000. Radio-radio di kampung saya, seperti juga ratusan kabupaten lain di Indonesia, memutar lagu-lagu hip metal setiap malam usai magrib. Anak-anak muda saat itu terobsesi entah menjadi Mike Shinoda atau Chester Bennington.

Kemudian gerak genre ini berkembang dan versi lokal hip metal mulai muncul. Mulai dari Scope yang muncul dengan pada 1999 dengan Boneka, kemudian Bergerak (2002), dan Boneka (2007), pada dekade itu juga muncul 7 Kurcaci dengan album Malam Minggu (2003), Kripikpeudeus dengan Rockin Da Empire (2002), hingga St Loco dengan album Rock Upon a Time pada 2004.

Dalam biografi St Loco di Nagaswara, haluan music rock dari Saint Loco digambarkan melalui vokal Joe Tirta yang khas, dipadukan dengan kekayaan diksi yang dituturkan dengan Rap oleh Berry Manoch. Selain itu peran Hoediarto (Gitar), Timotius Firman (DJ), Gilbert (Bass) dan Nyonk Webster Manuhutu (Drum) membuat St Loco menjadi unik dan berbeda. Mereka mendefinisikan musiknya sebagai hip rock, di tengah banyaknya band hip metal atau rap rock tanah air.

Bermula dari Teman dan Gereja

Dalam perjalanannya Nyonk pernah mengalami kecelakaan yang membuatnya digantikan oleh Timotius yang memanggul dua peran berbeda. Namun pada ketika Nyonk sembuh, peran itu dikembalikan padanya. Lalu bagaimana awal mula pertemuan St Loco?

Versi lokal hip metal mulai muncul. Mulai dari Scope yang muncul dengan pada 1999 dengan Boneka, kemudian Bergerak (2002), dan Boneka (2007), pada dekade itu juga muncul 7 Kurcaci dengan album Malam Minggu (2003), Kripikpeudeus dengan Rockin Da Empire (2002), hingga St Loco dengan album Rock Upon a Time pada 2004.

“Iwan, Nyonk dan Gilbert teman satu kampus di Harvest Music, kemudian mereka bercita-cita untuk mencoba membuat sebuah band. Lalu Nyonk ajak Berry untuk ngerap. Kemudian Iwan dan Gilbert mengajak Joe yang saat itu sedang sering main di Institut Musik Indonesia,” kata Tius. 

Tius bertemu dengan Gilbert di sebuah studio musik daerah Jakarta Barat dan kemudian berkenalan dengan yang lainnya untuk mencoba jamming musik di studio. “2018 Joe keluar, diganti dengan Dimas yang juga teman lama. 2023 ada penambahan member dalam St. Loco, gitaris kedua kami yang bernama Asido. Dan sekarang kami resmi bertujuh dalam band ini,” jelas Tius.

Berry Manoch, vokalis St Loco, menyebut bahwa proses penggarapan album Rock Upon a Time, dilakukan dengan proses kultural yang beragam. Personil St Loco menyalurkan perpaduan berbagai macam referensi elemen genre mereka yang disukai. Mulai dari kultur musik alternatif tahun 90an seperti hip-hop, hardcore, trash, industrial, noise rock, dan grunge. “Menjadi berbagai macam bentuk susunan komposisi dan gaya karakteristik milik kita sendiri yang terasa begitu all out chemistry-nya bersama anak-anak. Bagi gue terasa begitu mentah dan tanpa basa basi originalitas dalam menyalurkan proses kreatifnya,” katanya.

Salah satu hal unik yang membuat St Loco berbeda dari band sejenis di masa itu adalah penulisan lirik yang indah dan arkaik. Misalnya dalam lagu “Maria”:

Rescue me from this mess / Take away this restlessness / Let’s make a decision to end this division. Rima yang dibuat memiliki makna sakral dengan pendekatan tradisi gereja yang indah.

Hal ini diakui oleh Berry yang menyebut bahwa dalam konteks penulisan lirik banyak merepresentasikan refleksi kultur dan pengalaman mereka yang dekat dengan tradisi  lingkungan sekitar gereja lokal. Tiys menjelaskan bahwa saat itu mereka banyak bermusik di gereja masing-masing. 

Berry Manoch, vokalis St Loco, menyebut proses penggarapan Rock Upon a Time, dilakukan dengan proses kultural beragam. Para personil menyalurkan bermacam referensi mulai dari kultur musik alternatif tahun 90an seperti hip-hop, hardcore, trash, industrial, noise rock, dan grunge

“Saat itu kami hanya ingin menjadi band yang bertemakan lirik yang positif. Makna lirik di album Rock Upon A Time beberapa diambil dari kisah di dalam Alkitab seperti lagu Promise Land, My Friend, Fly Away,” katanya.

Meski demikian ada pula lagu lain yang ditulis untuk merespon cerita kehidupan sehari-hari yang terjadi disekitar personil St Loco. “Dan mungkin saat ini semua personil beragama kristen. Jadi terasa seperti band rock rohani. Haha,” lanjut Tius. 

Erie Setiawan, penulis dan kritikus musik, menjelaskan bahwa pada mulanya musik-musik rohani dalam tradisi katolik lahir dari Gregorian Chant. Ini adalah musik liturgis Gereja Katolik Roma, digunakan untuk mengiringi teks misa dan jam kanonik, atau doa ofisi. Nyanyian Gregorian dinamai sesuai dengan St. Gregorius I, selama masa kepausannya (590–604) di mana nyanyian ini dikumpulkan dan disusun. 

“Tradisi ini memuncak pada abad ke-16. Kemudian banyak komposer yang menyusun musik berdasarkan konsep atau ayat dalam kitab suci,” jelas Erie.Charlemagne, raja Franka (768–814), memperkenalkan nyanyian Gregorian di kerajaannya, di mana tradisi liturgis lainnya—nyanyian Galik—digunakan secara umum. Selama abad ke-8 dan ke-9, terjadi proses asimilasi antara nyanyian Galik dan Gregorian. Itulah nyanyian dalam bentuk yang berevolusi yang turun hingga saat ini.

Berry menyebut bahwa dalam konteks penulisan lirik banyak merepresentasikan refleksi kultur dan pengalaman mereka yang dekat dengan tradisi  lingkungan sekitar gereja lokal. Tiys menjelaskan bahwa saat itu mereka banyak bermusik di gereja masing-masing.

Tradisi Panjang Musik Spiritual

Erie juga menjelaskan bahwa sebelum ada konsep religi atau agama, aktivitas bermusik dan entitas supranatural seperti bunyi dan hentakan kaki sudah dilakukan sejak Yunani kuno. “Musik yang sangat konseptual, titik tolaknya ketika Giovanni Pierluigi da Palestrina bikin musik berdasarkan Mazmur, itu akhirnya jadi semacam tradisi lokal di Romawi. Di seantero Italia, seperti di Vienna, masih ada. Tradisi ini dirawat selama 700 tahun,” katanya.

Menurut Erie ada banyak karya klasik seperti Missa da Requiem yang menggunakan ayat dalam alkitab sebagai inspirasi. Johann Sebastian Bach sendiri adalah komposer juga dikontrak gereja membuat musik untuk kepentingan ibadah. Nah tradisi ini yang mungkin terus berkembang dan menjadi inspirasi banyak musisi setelahnya, bahkan saat ini dan ini yang dilakukan oleh St Loco.

Dalam lagu Promised Land, St Loco mengadaptasi bait Mazmur untuk kemudian diadaptasi menjai lirik. “When I walk through the valley of the shadow of dead / The one jah revelation gonna make me strikes back / And when my sword swings there’s no time for retreat.” Hasilnya menjadi sebuah lirik sakral yang bisa dinikmati sembari berjingkrak dan moshing di lapangan.

Meski demikian ada pula lagu lain yang ditulis untuk merespon cerita kehidupan sehari-hari yang terjadi disekitar personil St Loco. “Dan mungkin saat ini semua personil beragama kristen. Jadi terasa seperti band rock rohani. Haha,” lanjut Tius

Musik rohani bukan suatu yang asing di Indonesia. Meski bentuk modern seperti rap-rock yang dibawakan St Loco terasa segar, di Indonesia ada Purgatory yang memanfaatkan musik dengan nuansa industrial Nu-Metal yang berkiprah sejak 1994. Dalam bentuk yang populer musik-musik seperti Kyai Kanjeng yang dibawakan Maiyah, bisa menjadi kategori yang sama dengan musik rohani.

Di Indonesia musik-musik rohani lebih dilabeli sebagai musik etnik. Karena musik gospel selama ini sudah dikooptasi oleh industri dan ada upaya komersialisasi. Sehingga musik-musik yang dimainkan oleh rakyat dan bukan dari industri, jadi lebih sakral. “Nah sepertinya misalnya fenomena Kyai Kanjeng atau Cak Nun, asal orang bisa mendengarkan dan memahami pesan (agama),” kata Erie.

Dalam konteks St Loco, Erie melihat bahwa meski memang ada nuansa gereja dan alkitab, namun bukan sesuatu yang eksplisit, melainkan tafsir personal si pemilik lagu. Impresi pendengar jelas sangat subjektif, sehingga tiap lirik yang ada dalam album Rock Upon a Time bisa berbeda antar satu pendengar dengan yang lain. ”Jadi kita boleh saja menafsir dan menerjemahkan. Berbicara tentang kedalaman diri sendiri itu adalah ekspresi spiritualitas,” jelas Erie.

Pada prinsipnya komposer atau musisi berkarya memiliki kebebasan dalam membuat lagu, sehingga apakah ia bisa dipadukan dengan musik dan ajaran agama. “Pertemuan musik dan spiritualitas akan ada dalam setiap lagi. Pilihannya adalah mau eksplisit atau implisit. Tapi album St Loco yang itu (Rock Upon a Time) dahsyat,” jelas Erie.

St Loco mungkin menjadi pintu gerbang untuk para pendengar musik rock untuk bisa mengapresiasi musik dan puji-pujian terhadap tuhan. Meski liriknya dipengaruhi pengalaman personil yang juga aktif di gereja, toh para pendengar yang berbeda keyakinan, bisa menikmati dan mengapresiasi secara serius. Bahkan setelah dua dekade dirilis mereka masih mendengar dan mengingat baik lirik-liriknya.

Bryan Barcelona, penggemar bola dan penggemar St Loco, menyebut bahwa ia juga tak keberatan dengan nuansa rohani dari album Rock Upon a Time. “Ngeh-nya mungkin cuma di lapisan luarnya, ya. Kaya sampul albumnya yang ada nuansa Katolik, lalu personel-nya kan cuma didominasi pemeluk agama Katolik dan beberapa pegiat gereja seingetku. Ada lagu berjudul “Maria” juga kan.” 

Meski demikian ia baru menyesap dan memahami makna lirik lagu St Loco justru pada saat kuliah. “Baru ngulik lebih dalam dan ya ga berpengaruh apa-apa juga. Tetap dengerin aja, kalaupun berhenti dengar bukan karena alasan itu, lebih ke karena Saint Loco setelah album kedua jadi jelek aja musiknya. Hahaha,” katanya.

 

Fans Dua Dekade Kemudian

Genre hip metal, hip rock, atau rap rock sendiri menjadi sangat populer di kalangan banyak remaja daerah. Di berbagai festival musik lokal musik-musik yang dibuat oleh St Loco, Scope, Funky Kopral menjadi idola. Ritme yang berada pada irisan musik hip-hop, metal, dan rock membuat para penggemarnya merasa dimanjakan dengan suara lintas genre.

“Awal perkenalan album ini waktu nge-band jaman SMP. Ada kawan yang dulu doyan banget sama RHCP dan Linkin Park, tiba-tiba mengenalkan Saint Loco dengan intro, “ada hip metal versi Indo, nih!” Tidak butuh waktu lama untuk bisa akrab dengan album ini, karena sejak pertama kali dikenalkan, langsung ngulik beberapa lagu untuk di-cover,” kata Bona.

Saat itu, menurut Bona, di beberapa festival musik di daerah sering banget ada band yang nge-cover “Hip Rock” karena bisa pamer skill, terutama untuk bassist-nya karena ada teknik slap bass yang cukup mencolok dan lumayan sulit untuk anak sekolah pada waktu itu. Di era itu, festival musik sering banget didominasi oleh band yang bisa nge-cover lagu dan teknik bass “nge-skill” kaya Funky Kopral, RHCP, dan Saint Loco mulai pelan-pelan ikut masuk meng-influence juga. 

 

“Kalau ditanya kenapa menarik untuk didengar, ya mungkin karena era itu hip-metal/nu-metal lagi menjamah dan di Indonesia yang nabrakin dengan konsep DJ juga belum banyak seingatku. Jadi kesannya baru, plus MTV waktu itu juga kalau ga salah sempat nempatin Stt Loco jadi salah satu Artist of the Month. Untuk anak sekolah saat itu, cukup dijadikan referensi,” jelasnya.

 

Beberapa lagu dalam album Rock Upon a Time, seperti Hip Rock, Microphone Anthem, dan Freedom Fighter menjadi lagu yang paling banyak diputar di radio. Menariknya lagu Microphone Anthem tak ada di layanan streaming manapun. Tius menyebut bahwa ada problem hak cipta yang rumit. “Ribet ngurusin perijinan tentang lirik rap. Lirik rap lagu tersebut adalah lagu dari Run DMC,” katanya.

Pada 2000an saat genre musik hip metal populer, lirik lagu St Loco yang memilih menggunakan bahasa inggris jadi poin berbeda. “Karena kayaknya dulu keren aja bisa bawain lagu dengan lirik bahasa Inggris dan gitar-nya juga bukan tipikal yang show-off, beda dengan part bass-nya, tapi tetap keren. Porsi growl-nya juga lumayan banyak, jadi saat itu kelihatan keren banget,” kata Bona. 

Meski demikian bukan berarti tak ada lagu dengan lirik bahasa Indonesia yang indah. Dalam lagu “Metropolis” misalnya, bait lagu “Kilau cahayanya / Telah hilang telah sirna / Wangi dan harumnya / T’lah ternoda oleh kita,” memadukan nuansa penyesalan akan dosa asal yang mencekik. Apalagi teknik scratching dari DJ Tius, membuat lagu ini jadi renyah.

Kini setelah dua dekade, album ini secara produksi musik jadi punya penilaian berbeda meskipun tidak menghilangkan sentimen personal. Seperti banyak anak muda yang tumbuh pada 2000an dan kini generasi internet, selera musik tumbuh. Hal ini seperti penjelasan Erie yang menyebut bahwa musik-musik yang ada mulai dari Gregorian chant hingga era gospel seperti saat ini mengalami perubahan bentuk.

“Karena kan sekarang eksplor musik lebih luas, dan ternyata referensi band seperti St Loco itu versi yang lebih bagusnya dari luar banyak. Jadi lebih ngerti, “oh ini akarnya dari band ini, ngambilnya dari sini, influence-nya dari sini” Jadi kalau ditanya apakah ini album yang rutin aku dengarkan saat ini, jujur tidak. Tapi kalau dengerin album ini, masih aman dan tidak menghilangkan memori masa SMP saat nge-band dan ngulik beberapa lagunya,” kata Bona.

Tius dan St Loco mengaku merasa senang dan gembira masih ada yang mendengarkan album Rock Upon a Time dua dekade kemudian. “Wah gokil dong, thank you banget buat orang-orang yang masih mendengarkan album pertama kami. Semoga kenangan jaman dulu menjadi momen yang asik dalam hidup kalian,” katanya.

 


 

Penulis
Arman Dhani
Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Mengoleksi piringan hitam, buku, dan sepatu. Saat ini sedang menyelesaikan buku Melawan Perintah Ibu (EA Books) dan Usaha Mencintai Hidup (Buku Mojok). Bisa ditemui di IG dan Twitter. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Band Grindcore Amerika, Full Of Hell Memuji Seniman Indonesia

Saat melakukan peliputan Blackandje Fest 2024 hari Sabtu (31/08) di Creative Culture, Jakarta Selatan, Pophariini mendapat akses untuk menemui dua anggota Full Of Hell, Dylan dan Dave. Kami mewawancarai mereka dari mulai musik Indonesia …

MALIQ & D’Essentials Perdana Jalani Tur Album di 6 Kota

Sukses menghibur 14.000 penonton di Jakarta dalam Konser 20 Tahun bulan Mei 2023 lalu, kini MALIQ & D’Essentials siap berkunjung ke Makassar, Bali, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Kuala Lumpur dalam rangkaian Can Machines Fall …