Saat Musisi Hebat Menulis Lagu yang ‘Kurs’
Harus saya akui jujur bahwa ide artikel ini saya ambil plek-ketiplek dari sebuah podcast.
Satu tahun terakhir ini saya menjadi penikmat podcast yang selalu saya dengar lewat layanan Spotify. Dan Rolling Stone Music Now (dengan warna sampul kuning yang menampar) menjadi Podcast yang saya gemari.
Di sebuah unggahan di 26 Juli 2016 (yang belum lama saya dengarkan), tajuknya keren sekaligus menampar: When Great Artist Make Terrible Songs. Selama setengah jam lebih, podcast ini menampilkan banyak musisi legenda rock ‘n roll dari mulai Chuck Berry, Brian Wilson, Lou Reed bahkan Bob Dylan yang di satu masa pernah menulis lagu-lagu yang culun.
Delapanpuluhan menjadi sentra era yang dibicarakan di topik podcast tersebut. Secara mengejutkan, Banyak legenda rock yang menjadi dangkal dan culun di era ini. Paul Simon dengan “Cars are Cars” yang terdengar seperti lagu anak-anak sampai beberapa nomor hip hop yang tak pantas ketika dinyanyikan oleh musisi seperti Lou Reed (“The Original Wrapper”), Dee Dee Ramones (“Funky Man”) sampai Brian Wilson dengan “Smart Girls” yang menyedihkan.
Bukti-bukti menyimpulkan bahwa bahkan artis-artis hebat dan legendaris sekalipun bisa ternoda akibat karya-karya jelek yang mereka buat. Ini lantas menjadi penting meningat dunia punya banyak musisi yang sudah diglorifikasi oleh karena rentang waktu jenjang karier mereka serta akibat karya-karya yang mereka buat yang memang terpatri dalam peta perjalanan musik.
Lalu bagaimana di tanah air?
Tak bedanya, tanah air memiliki banyak musisi legenda yang dikenal dengan karya-karyanya yang terpatri dalam the so-called tinta emas perjalanan musik Indonesia.
Iwan Fals misalnya, musisi yang sudah berkarier dari akhir 70-an ini menjadi legenda akibat lagu-lagu yang bertema kritik sosial seperti “Wakil Rakyat”, “Oemar Bakrie” sampai “Bento” yang ditulisnya bersama musisi lain yang ada di super grup Swami I. Di luar itu, ada juga lagu-lagu macam “Ku Menanti Seorang Kekasih” dan “Buku Ini Aku Pinjam” yang sangat romantis namun dengan gaya yang sophisticated.
Di era 70-an, kita mengenal AKA, dinamit hard rock dan funk yang melejit lewat nomor-nomor macam “Crazy Joe”, “Do What You Like” yang memicu aksi spektakuler sang vokalis Ucok ketika di atas panggung yang sampai sekarang belum ada tandingannya.
Di era 90-an, Slank adalah potret musisi yang mendambakan kebebasan dan tak lupa menyertakan kritik-kritik sosial di dalamnya, lagu-lagu seperti “Birokrasi Complex”, “Generasi Biru” dan lainnya. Lagu-lagu lain, “Kamu Harus Cepat Pulang” dan “Anyer 10 Maret” sangat khas di eranya.
Meski demikian, tak terkira sebelumnya bahwa legenda – legenda ini ternyata tak selamanya membuat karya-karya yang keren dan masterpiece. Dalam sekian dekade rentang perjalanan mereka, ada noda-noda kecil yang menurut kami lumayan mencoreng kemurnian mereka dalam menulis karya yang baik. Penyebabnya beragam, dari yang memang ingin mencoba hal baru, atau memang faktor kebuntuan dalam menulis semata.
Perlu dicatat bahwa kalian berhak untuk tidak setuju, agree to disagree. Karena apa yang menurut kami benar, belum tentu menurut kalian benar. Tetapi jika kalian mencoba melihat garis besar dari setiap karya rekaman band-band, mungkin saja kalian setuju.
Berikut daftarnya.
Netral – I Love You
Om Bagus dikaruniai kedigdayaan menulis lagu-lagu yang keren untuk Netral. Lagu-lagu seperti “Pelor”, “Dukun Kebo Ijo” lagu-lagu absurd yang butuh ekstra keras dalam memahaminya adalah kenikmatan tersendiri. Ini mengapa tak bisa dibayangkan jika NTRL menulis lagu semacam “I Love You” yang terdengar lurus, dangkal dan klise. Sangat disayangkan, apapun itu alasannya.
God Bless – Rock N Roll Hidupku
https://www.youtube.com/watch?v=apfGxkEQviA
God Bless dan rock ‘n roll ibarat darah daging. Tak butuh pengakuan bahwa rock n roll adalah jalan hidupnya (meski kenyataannya agak sedikit ternoda ketika om Iyek bernyanyi dangdut atau pop sedangkan gitaris Yan Antono mengiringi rekaman-rekaman pop – ya masih bisa dimaafkan lah). Itu mengapa ketika saya mendengar “Rock N Roll Hidupku di album 36th, saya mendengar, again, sebuah klise. Seakan-akan rock n roll benar-benar nyata sampai hari ini. Meskipun sebenarnya itu hanya sekadar cerita angin lalu saja.
Slank – 2 Sweet 2 Forget
Sejauh yang saya terka (mungkin saya salah), Anthem for The Broken Hearted adalah debut album internasional Slank. Sebagai sebuah album bercap internasional, Anthem punya diperlakukan khusus; direkam, mixing dan dimastering di studio di Holywood, US dan diedarkan di pasar Amerika juga Eropa. Di album ini pula, Slank mendapat tur pertama mereka di US untuk mempromosikan album ini. Namun sangat disayangkan jika beberapa materi di album ini ternyata hanya saduran dari lagu-lagu hit Slank, salah satunya “2 Sweet 2 Forget” (a.k.a. terlalu manis). Sebagai debut internasional, seharusnya mereka bisa membuat lagu-lagu berbahasa Inggris terbaru yang akan dikenang, baik oleh fans di Amerika, terlebih di tanah air.
Naif – Planet Cinta
Lirik puitis nan canda, kemasan vintage khas 70-an menjadi bunga-bunga segar yang harum di empat rekaman Naif. Namun makin ke sini, nampaknya upaya untuk eksplorasi dan menemukan sempalan-sempalan teranyar Naif menemui kebuntuan, sampai puncaknya di album Planet Cinta yang terdengar seperti kehilangan arah. “Planet Cinta” membicarakan cinta yang dangkal yang digambarkan dengan urusan tata surya, konstalasi planet-planet, dll bukan topik yang menarik untuk sebuah band besar seperti Naif.
Guruh Soekarno Putra – G&R (Galih & Ratna)
Misi ‘mulia’ dari seorang Guruh untuk membuat menempatkan house music sebagai ‘tren gelap’ yang tengah di pertengahan 90-an ke tempat yang lebih terhormat patut diacungi jempol. Namun tetap saja, melihat nama besar Guruh Soekarno Putra dengan segala karyanya di Guruh Gypsy, Indonesia Mahardia, NTXTC bukanlah sebuah karya yang bisa disandingkan secara musikalitas. Bukan maksud mengendurkan house music, namun keliatan sekali bahwa rekaman-rekaman yang ada di sini nampak miskin makna. Jikalau misi positif bahwa musik house bisa dipakai untuk pengiring aerobik ketimbang tripping, ya that’s it, hanya sebatas itu. Tak ada sesuatu yang bisa diulas dari karyanya. Jika harus memiih, ya tentunya Galih dan Ratna yang asli jauh lebih bermakna ketimbang versi house nya.
_____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI
Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya. CARAKA merupakan band …