Sengkarut Pilu Royalti Penulis Lagu

Nov 16, 2023

Ketika ribut tentang merch palsu kemarin, salah satu komentar yang banyak saya temui adalah, ledekan pada band yang cuma bikin kaos tapi tak bikin lagu baru. Teenage Death Star misalnya, mereka dibilang lebih mirip distro karena jarang bikin lagu, jarang konser, tapi sering bikin kaos baru. Ledekan, sindiran, dan ejekan ini mungkin lahir dari kerinduan, atau memang sekadar komentar getir fans yang melihat idolanya tak juga bikin karya.

Memang kenapa sih penulis lagu atau personil band malas bikin lagu baru? Bukankah dengan lagu baru, mereka akan dapat karya baru yang bisa dijual. Entah mendapat royalti atau tawaran manggung yang notabene akan berpengaruh kepada penghasilan si penulis lagu. Sayangnya dari temuan saya, di Indonesia pembayaran royalti dan jaminan hak cipta masih jadi problem. 

Setidaknya jika dilihat dari sengketa beberapa pemusik dalam setahun terakhir. Mulai dari Ahmad Dhani dan Once, hingga band Kotak dengan mantan personilnya Posan Tobing. Belum adanya sistem yang benar-benar kompeten untuk menghidupi penulis lagu, membuat banyak band atau musisi tak lagi mengandalkan lembaga royalti negara yang bertugas mengumpulkan hak mereka. Akibatnya, musisi mungkin lebih fokus mengurus merch yang jelas pengelolaan keuntungannya ketimbang lagu.

Teenage Death Star misalnya, dibilang lebih mirip distro karena jarang bikin lagu, jarang konser, tapi sering bikin kaos baru. Ledekan, sindiran, dan ejekan ini mungkin lahir dari kerinduan, atau memang sekadar komentar getir fans yang melihat idolanya tak juga bikin karya

Konsep Royalti dan Hak Cipta

Fallissa Putri, lawyer dan penulis naskah yang fokus pada isu hak cipta, menyebut bahwa pemerintah mengatur tentang royalti dan hak cipta pada UU No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta. Seluruh definisi dan kategorinya juga bisa dibaca di sana. Misalnya Hak Cipta adalah hak yang dimiliki seseorang ketika ia membuat karya, baik tulisan, film, atau musik. Hak ini secara otomatis hadir dan tidak perlu didaftarkan. 

“Jadi sebelumnya biar pemahamannya sama dulu nih ya. Hak cipta secara hukum sebenarnya adalah benda, benda tidak berwujud dan selayaknya benda ia bisa pindah tangan. Benda ini bisa kita jual, berikan, hadiahkan, wariskan, atau gadaikan. Nah yang bikin agak ribet ia tidak berwujud,” kata Putri

Untuk itu penting dalam konteks hak cipta dan royalti antara pemusik dan label membuat perjanjian hitam di atas putih. Dalam UU Hak Cipta juga ada aturan tentang hak moral dan hak ekonomi. Di situ ada aturan tentang siapa pencipta, siapa yang berkontribusi, dan bagaimana relasi antara pencipta dan kolaborator dalam pengerjaan karya.

Belum adanya sistem yang benar-benar kompeten untuk menghidupi penulis lagu, membuat musisi tak mengandalkan lembaga royalti negara yang bertugas mengumpulkan hak mereka. Akibatnya, musisi lebih fokus mengurus merch yang jelas pengelolaan keuntungannya ketimbang lagu

Dalam praktiknya pemilik hak cipta dan hak royalti bisa berbeda. Pemilik hak cipta menurut undang-undang adalah si pembuat karya, dalam kasus tertentu ada produser yang memodali. “Nah hak cipta ini gue beli nih sebagai produser,” katanya. “Ini semua bisa diperjualbelikan, berdasarkan undang-undang hak ekonomi bisa dipindah tangankan, dan ini adalah lisensi. Dan ini wajib ada perjanjiannya,” kata Putri.

Dalam konteks undang-undang hak cipta di Indonesia, royalti dan hak cipta adalah dua konsep yang berbeda. Hak cipta adalah hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta karya untuk melindungi karyanya dari penggunaan yang tidak sah atau tanpa izin. Idealnya dalam peraturan turunan ada mekanisme yang mengatur bagaimana penggunaan karya cipta seseorang oleh orang lain, sehingga hak pencipta bisa terlindungi tanpa dieksploitasi. 

Di masa lalu band banyak yang memberikan hak secara penuh kepada label rekaman. Baik hak cipta maupun hak royalti tanpa memahami bagaimana pengerjaanya. Ini berujung di mana beberapa musisi tak mendapat apapun bahkan jika lagunya sukses. Menurut Undang-undang hak cipta biasanya berlaku selama masa hidup pencipta plus 50 tahun setelah kematiannya. “Secara legal kalau kontraknya kaya gitu, nah secara moral, itu perkara yang lain,” kata putri. 

Problem royalti ini penting dipahami dari kaca mata regulasi hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini karena industri musik, terutama layanan streaming dan konser, memiliki kue pendapatan yang sangat besar

Hak royalti dalam musik berbeda dengan bentuk royalti lain misalnya merek atau paten yang bisa didaftarkan. Meski secara substansial, hak ini bisa juga diperjualbelikan. “Bahwa setelah ciptaannya (musik) jadi, haknya sudah muncul, itu lebih ke prinsip hukum dan ini yang membedakan hak cipta dengan HAKI yang lain. Kalau HAKI yang lain seperti merek atau paten, harus didaftarkan pada negara, sertifikatnya muncul baru haknya muncul, ” kata Putri.

Problem royalti ini penting dipahami dari kaca mata regulasi hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini karena industri musik, terutama layanan streaming dan konser, memiliki kue pendapatan yang sangat besar. Berdasarkan data International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dan WEF, layanan streaming musik mampu meraup US$ 8,9 miliar yang setara Rp 125,5 triliun dan berkontribusi 47% terhadap total pendapatan industri secara global. 

Kontribusi tersebut meningkat pesat dari 2013 yang hanya 9% dengan nilai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 19,7 triliun. Pasar musik digital Asia sebetulnya tergolong kecil jika dibandingkan dengan skala global. Hanya menyumbang 14% dari total pendapatan industri musik global. Indonesia sendiri berada di posisi ketujuh pasar musik digital terbesar di Asia dengan potensi pendapatan mencapai US$ 21 juta pada 2015. Posisi pertama ditempati Jepang dengan potensi pendapatan sebesar US$ 432 juta. 

Pada 2016 McKinsey & Company menyebut Indonesia sebagai bagian empat negara paling potensial untuk industri musik digital selain Thailand, Hong Kong, dan Malaysia

Pada 2016 McKinsey & Company menyebut Indonesia sebagai bagian empat negara paling potensial untuk industri musik digital selain Thailand, Hong Kong, dan Malaysia. Indonesia berkontribusi terhadap 34,7% pasar JOOX. 9,8% pasar Spotify, dan 10,2% pasar SoundCloud di Asia Tenggara. Pasar yang tidak seberapa besar jika dibanding total volume dunia jelas jauh dari menggiurkan, tapi bagi penulis musik apapun besaran royaltinya, itu adalah hak yang mesti diberikan.

Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hak ekonomi kepada penulis musik pemerintah sebenarnya memiliki aturan lain. Misalnya melalui PP Nomor 56 Tahun 2001. Pasal 3 Ayat 1 PP ini berbunyi, “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.” 

Nah seorang penulis musik bisa hidup dan mendapatkan pemasukan dari royalti yang dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti. Lembaga bantu pemerintah non-APBN ini berperan besar dalam mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan musik. Sayangnya peran mereka kurang maksimal di lapangan.

Penulis musik bisa hidup dan mendapatkan pemasukan dari royalti yang dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sayangnya peran mereka kurang maksimal di lapangan.

Realitas Lapangan Yang memilukan

Dari penyelenggara konser musik sendiri menilai kinerja LMKN juga kurang memadai, padahal  pengelolaan pembayaran royalti pertunjukan masih jadi salah satu sumber penghasilan penting bagi penulis lagu. Fariz Fachryan, penyelenggara konser musik asal Yogyakarta, menyebut Pada dasarnya UU ini didasarkan pada hal baik namun terlalu banyak bolong dalam peraturan turunannya

“Saat ini UU dan PP di bawahnya itu tidak banyak mengatur mengenai tugas LMKN terkait penarikan royalti performing rights-nya. Banyak yang  berkutat pada tugas fungsi LMKN dan LMK yang menghimpun dan mendistribusikan royalti Tapi point penting bagaimana royalti itu ditarik tidak banyak dijabarkan,” kata Fariz.

Ia melihat saat ini LMKN ini dibentuk dengan tanggungjawab yang pasif. Sehingga jika ada penyelenggara konser yang tidak melakukan pelaporan royalti ya LMKN juga ga bisa melakukan apapun. “Padahal tugas LMKN Harus mencakup semua hal. Kalo engga yaa persoalan royalti tidak akan selesai,” kata Fariz.

Sebagai penyelenggara, Fariz Fachryan tidak masalah membayar royalti. Tetapi birokrasi yang ada sangat rumit, bahkan bertele-tele. Belum lagi mengurus izin keramaian di polisi yang menurutnya merepotkan sekali. Ia mengusulkan harus ada perbaikan total dari pihak LMKN agar sengkarut royalti ini bisa diselesaikan

Di tataran pengelola festival musik atau konser, sebagai subjek pembayar royalti mereka tidak banyak dijabarkan kewajibannya apa saja. “EO yang membayar royalti EO yang melakukan konser sebesar apa? Kalo EO yang menggelar konser minimal 5000 penonton  yang bayar, gimana konser yang diselenggarakan korporat yang 500 orang gmn?” tanya Fariz.

Sebagai penyelenggara, Fariz tidak masalah membayar royalti. Tetapi birokrasi yang ada sangat rumit, bahkan bertele-tele. Belum lagi mengurus izin keramaian di polisi yang menurutnya merepotkan sekali. Ia mengusulkan harus ada perbaikan total dari pihak LMKN agar sengkarut royalti ini bisa diselesaikan.

“Jadi saran LMK nya dibubarkan dulu. Cari best practice yang jelas Ingat LMKN itu menggunakan dana royalti loh untuk running organisasinya dan itu 30% dari royalti yang diterima. Itu besar bgt loh,” kata Fariz

Menurutnya apabila tanggung jawab, sistem transparansi, sistem pungutan sudah jelas, ia sangat mendukung adanya LMKN. Ini masih baru membahas performing rights bagi penulis lagu, dan belum membahas platform media sosial seperti tik tok. Sosial media, juga layanan streaming, masih menjadi tugas besar yang harus diselesaikan untuk memberikan hak bagi penulis lagu.

“Jadi saran LMK nya dibubarkan dulu. Cari best practice yang jelas Ingat LMKN itu menggunakan dana royalti loh untuk running organisasinya dan itu 30% dari royalti yang diterima. Itu besar bgt loh,” kata Fariz

Ratri Ninditya, Koordinator Peneliti Kebijakan Seni Budaya di Koalisi Seni, menyebut bahwa. platform digital biasanya memiliki mekanisme tersendiri untuk memastikan lagu yang disebarluaskan tidak melanggar hak cipta siapa pun. Namun, ada baiknya musisi juga melakukan beberapa hal di bawah, supaya perlindungan semakin kuat jika terjadi sengketa. 

Ia menyarankan penulis lagu atau musisi mencatatkan hak cipta ke kantor kemenkumham atau situs http://e-hakcipta.dgip.go.id. Lantas simpan dan catat ISRC untuk tiap master, supaya catatan pemutaran lagu tidak hilang jika master dirilis ulang. “Hati-hati saat menegosiasikan perjanjian lisensi. Perhatikan ruang lingkup penggunaan lagu, durasi, eksklusivitas lisensi, pengecualian perjanjian, dan pihak ketiga. Hindari jual beli putus,” katanya.

Penulis lagu atau musisi perlu mencatat perjanjian lisensi ke ditjen kekayaan intelektual. Hal ini karena berdasarkan uu hak cipta pemerintah memiliki wewenang untuk menolak lisensi jika dianggap merugikan salah satu pihak. Saran lainnya adalah bergabung dalam organisasi. “Jadi anggota LMK supaya bisa mengklaim performance royalties (kalau tidak diklaim selama dua tahun, akan hangus dan diserap LMK atau jadi anggota serikat atau asosiasi musisi,”kata Ratri.

Penulis lagu atau musisi perlu mencatat perjanjian lisensi ke ditjen kekayaan intelektual. Hal ini karena berdasarkan uu hak cipta pemerintah memiliki wewenang untuk menolak lisensi jika dianggap merugikan salah satu pihak

Sementara untuk agregator dan layanan streaming, pencipta harus memastikan aggregator dan LMK mengirimkan catatan pemutaran lagu secara berkala. jika lagu didistribusi melalui platform digital besar, aggregator biasanya mengirim laporan berkala atas penggunaan lagu, sehingga dapat dihitung berapa royalti yang menjadi bagian dari pencipta yang bersangkutan.

“Jika pencipta menjadi anggota LMK, LMK juga harus melaporkan catatan penggunaan lagu kepadanya. tapi perlu dicatat, bahwa beberapa platform digital besar punya kesepakatan khusus dengan publisher dan LMK dalam bentuk blanket royalties dan pada akhirnya jumlah yang diterima musisi sangat kecil,” kata Ratri. 

Ratri menjelaskan, untuk streaming, platform membagi 12% dari keuntungan ke LMK dan publisher. Dari presentase tersebut, 2⁄3 ditarik oleh LMK jika lagu diputar dari akun freemium/ad-based. Sementara untuk akun berbayar (subscription), LMK menarik sebesar 1⁄3. Sisanya adalah bagian untuk penerbit. Untuk platform Over-the-Top (OTT), tarif sebesar 2,5% dan dibagi dua antara WAMI dan penerbit.

Saat ini yang jadi pekerjaan besar adalah pelaporan karya yang terlalu rumit. “Kadang ditemukan juga lagu sudah diunggah pihak lain tanpa diketahui pencipta. Hal ini terjadi karena track ID yang diberlakukan di platform bekerja atas dasar siapa yang unggah terlebih dahulu

Saat ini yang jadi pekerjaan besar adalah pelaporan karya yang terlalu rumit. “Kadang ditemukan juga lagu sudah diunggah pihak lain tanpa diketahui pencipta. Hal ini terjadi karena track ID yang diberlakukan di platform bekerja atas dasar siapa yang unggah terlebih dahulu. jika menemukan kejadian spt ini, pencipta dapat melaporkannya ke platform melalui mekanisme yang tersedia,” jelas Ratri.

Jika terjadi sengketa antara penulis lagu dan pihak lain, biasanya lagu tersebut akan diblokir sementara sampai sengketa selesai. tantangannya lagi, kebijakan platform hanya sebatas memblokir dan menahan royalti, dan pencipta harus menyelesaikan sengketa sendiri dengan pihak yang bersangkutan.

 

Bagaimana Penulis Lagu Melihat Royalti?

Cholil Mahmud, penulis lagu dan vokalis Efek Rumah Kaca, menyebut pada praktiknya seorang penulis lagu seseorang bisa hidup dari menulis lagu. “Tapi tergantung ingin hidup yang seperti apa? Ya kan. Standar hidup orang mau seperti apa. Kalau orang nggak banyak puas, ya nggak cukup-cukup juga,” katanya.

Salah satu problemnya adalah sistem yang ada saat ini masih belum bisa mensejahterakan penulis lagu. “Gua bisa hidup dari musik ada performancenya, share dari pemilik master, bukan hanya pencipta lagu, kalau ngga punya master gue akan dapet lebih sedikit lagi,” kata Cholil.  Dalam konteks ERK, pemilik master, royalti, dan hak cipta adalah mereka sendiri, membuat Cholil dan ERK sangat beruntung.

Sebagai penulis lagu sumber penghasilan adalah royalti dari konser sebagai bagian dari performing rights. Sayangnya di Indonesia hal ini masih belum bisa dimaksimalkan. “Gua sebagai pencipta lagu ERK yang tergabung dalam WAMI (Wahana Musik Indonesia), itu berapa kali gua manggung misal manggung lima kali, ngga muncul (royaltinya) dari record dan laporan yang dibuat sama WAMI, mereka ngga (mencatat) sampai ke situ,” kata Cholil.

Salah satu problemnya adalah sistem yang ada saat ini masih belum bisa mensejahterakan penulis lagu. “Gua bisa hidup dari musik ada performancenya, share dari pemilik master, bukan hanya pencipta lagu, kalau ngga punya master gue akan dapet lebih sedikit lagi,” kata Cholil Mahmud

Padahal sebagai penulis lagu mereka berhak mendapatkan royalti pemutaran dari bundle hotel, restaurant, dan tempat karaoke. Itu juga di luar konser,sebagai penulis Cholil juga tidak mendapat laporan dari penerimaan dari konser atau perform ERK di panggung-panggung yang ada. Meski demikian Cholil dan ERK secara mandiri melakukan pencatatan terhadap hak penulis lagu. Misalnya kepada Adrian Yunan yang pernah menulis beberapa lagu ERK.

Cholil menceritakan bahwa kebetulan ERK selain pemilik master juga bertindak sebagai label. Sementara untuk pencipta lagu di ERK dicatat sebagai individu-individu yang menulis lagu. “Rekaman ada recordnya siapa saja yang hadir dalam rekaman, siapa yang kontribusi. Dan setelah jadi produk, dicatat berapa kontribusinya. Berapa persentase kontribusi dari Adrian, dari Akbar, dari Cholil. Karena nanti uangnya dibagi dari situ,” kata Cholil.

Di Indonesia untuk royalti ada dua jenis kepemilikan royalti yaitu karya dan master. Misalnya Efek Rumah Kaca membuat lagu berjudul “Hujan Jangan Marah”, lalu diaransemen ulang oleh Pandai Besi dengan komposisi yang berbeda. Maka sebagai pencipta lagu “Hujan Jangan Marah”, ia memperoleh royalti penciptaan dan royalti master dari dua kanal band berbeda.

“Adrian kan harusnya bisa menikmati uang dari hasil ciptaannya yang dimainkan oleh ERK. Tapi WAMI-nya ngga kolek. Nah akibatnya Adrian dia ngga dapet manfaat, padahal ERK-nya manggung,” kata Cholil

“Penciptaan gua ngga akan ketuker kalau dia nyatetnya uda benar dengan ciptaan Adrian. Jadi uangnya Adrian kalau terdaftar LMK uda punya salurannya sendiri-sendiri dan gua ngga akan bisa ambil saluran Adrian,” kata Cholil.

Keluhan sebagai pencipta lagu selama ini Cholil harus menegosiasikan langsung dengan penyelenggara acara agar mendapatkan haknya. Ia menyebutkan Adrian sebelumnya tidak mendapatkan haknya ketika lagu-lagu yang dibuat bersama ERK dinyanyikan di panggung. Padahal Adrian sendiri tergabung dalam WAMI. 

“Adrian kan harusnya bisa menikmati uang dari hasil ciptaannya yang dimainkan oleh ERK. Tapi WAMI-nya ngga kolek. Nah akibatnya Adrian dia ngga dapet manfaat, padahal ERK-nya manggung,” kata Cholil.  

Cholil bersama ERK memilih jalan lain yang lebih etis dengan membangun hubungan baik dengan penulis lagunya. “ERK menyisihkan sebagian uang yang kita rasa dapet manfaat dari penciptaan lagu. Saat catat setlist kita catat presentase buat alokasi pencipta lagunya setiap ERK manggung,” katanya

Ini adalah ketidakadilan yang terjadi karena LMK tak bisa mengumpulkan hak penulis lagu. Cholil bersama ERK memilih jalan lain yang lebih etis dengan membangun hubungan baik dengan penulis lagunya. “ERK menyisihkan sebagian uang yang kita rasa dapet manfaat dari penciptaan lagu. Saat catat setlist kita catat presentase buat alokasi pencipta lagunya setiap ERK manggung,” katanya.

Untuk sementara cara ini adalah solusi yang paling adil bagi penulis lagu untuk mendapatkan haknya. Sebenarnya ini adalah tugas LMK yang berfungsi mengumpulkan hak penulis di setiap konser atau penyelenggara lain. “Permasalahannya penyelenggara belum tahu perlu, kita uda punya regulasinya ngga ada yang tahu misalnya. Ya pemerintah harus lebih giat lagi mensosialisasikan regulasi,” katanya.

Leilani Hermiasih, solois di balik Frau, menjelaskan tentang situasi dan status penghidupannya sebagai musisi. Sejak awal mulai bermusik sebagai Frau, ia tidak pernah menganggap musik sebagai sumber pemasukan utama

Leilani Hermiasih, solois di balik Frau, menjelaskan tentang situasi dan status penghidupannya sebagai musisi. Sejak awal mulai bermusik sebagai Frau, ia tidak pernah menganggap musik dan royalti penulis lagu sebagai sumber pemasukan utama. “Karena kebetulan aku mendapat beasiswa untuk sekolah lanjutan, sehingga tabungan dari beasiswa-beasiswa itulah yang menghidupiku selama ini,” katanya. 

Hal ini diyakini Lani sebagai dampak atas privilese yang dimiliki. Hal lain yang jadi faktor pembeda adalah kepercayaannya pada lisensi Creative Commons. Sejak merilis album Starlit Carousel di Yesnowave, Lani menggunakan lisensi CC-BY-SA. Dengan lisensi ini, siapapun berhak untuk menggunakan lagu-lagu ini untuk kepentingan pendistribusian ulang hingga remix, selama distribusinya dilakukan secara non-komersil, mencantumkan sumber aslinya, dan karya barunya menggunakan lisensi yang sama. 

Meskipun menggunakan lisensi CC, Lani tetap membuka kemungkinan jika ada yang ingin bekerjasama untuk menggunakan lagunya secara komersial. Untuk hal seperti itu, tentu saja ia akan membuat kontrak khusus, seperti yang dilakukan teman-teman musisi lain. “Dengan dasar kepercayaanku pada sistem lisensi seperti ini, royalti komersil yang didapatkan aku anggap sebagai bonus,” kata Lani. Untungnya, tim frau dan teman-teman kolaborator yang selama ini menemani juga tidak berkeberatan dengan situasi ini.

 

Ilustrasi oleh Agung Abdul Basith.




Penulis
Arman Dhani
Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Mengoleksi piringan hitam, buku, dan sepatu. Saat ini sedang menyelesaikan buku Melawan Perintah Ibu (EA Books) dan Usaha Mencintai Hidup (Buku Mojok). Bisa ditemui di IG dan Twitter. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Bernadya – Sialnya, Hidup Harus Terus Berjalan

Album perdana Bernadya, Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan, seperti membaca buku peta petunjuk jalan memahami pemikiran dan perasaan seorang perempuan

Petualangan Imajinatif The Superego Lewat Single Vespa Tua

Band indie rock asal Lampung yang bermusik dengan nama The Superego resmi hadirkan karya anyar berupa single dengan tajuk “Vespa Tua” hari Jumat (19/07). Lagu ini mengambil inspirasi dari perjalanan Fuad sang vokalis saat …