(Skena) Lombok, Tidak Melulu Soal Pantai Indah
Akhir-akhir ini Pulau Lombok kian terdengar di kancah media musik nasional, tentu saja melalui Sundancer dan The Dare. Kedua band yang tengah harum ini seolah memberi angin segar bagi kancah musik nasional. Sundancer yang baru-baru ini merilis EP, Suvenir beserta video klip dan piringan hitam, Dedare Tanjung. Sementara The Dare yang baru saja merilis EP terbaru mereka menjadi penanda bahwa mereka belum usai. Namun jika kita ingin mencari tahu lebih lanjut tentang kota band ini dilahirkan, kita harus membicarakan pulau Lombok itu sendiri. Bagaimanakah keadaan atau keberlangsungan skena musik Lombok itu sendiri?
Pulau yang konstelasinya merupakan bagian dari Sunda kecil yang terletak di sebelah timur ini, bagi sebagian orang mungkin masih identik dengan musik reggae lantaran memiliki banyak tempat wisata pantai yang indah. Namun jika berbicara tentang keberadaan skena musik, pulau yang disirami matahari dan hujan ini justru diwarnai dengan hitam dan cadasnya skena musik keras yang hingga saat ini masih belum jua berhasil melabuhkan seluruh armadanya ke pelabuhan sentral (baca: Jakarta) juga atensi dari Pulau Jawa.
‘Adakah mereka?’ Tentu saja pertanyaan ini akan selalu dilontarkan. Apakah faktor engagement skena sentral dan spotlight media menjadi penghambat? Atau justru faktor dari para awak armadanya sendiri yang memang tidak memiliki ambisi untuk berlabuh. Dan muatan dari konten armada itu belum memenuhi standard kelayakan sentral? Kedua faktor tersebut adalah alasan yang menjadi beberapa armada skena Pulau Lombok belum pernah berlabuh di pelabuhan sentral.
Pulau yang konstelasinya merupakan bagian dari Sunda kecil yang terletak di sebelah timur ini, bagi sebagian orang mungkin masih identik dengan musik reggae
Boleh jadi Lombok memiliki puluhan ‘Kapten Ahab’, yang memiliki muatan kabin yang tidak kalah menarik dari armada-armada yang ada di sentral dan juga yang telah berhasil berlabuh. Lautan spotlight seolah menenggelamkan mereka yang memulainya dari nol, batasan bak karang yang memenuhi lambung kapal para armada ini menjadikan mereka mau tidak mau harus menjadi jago kandang di daratannya.
Pun, di daratannya terkadang kurangnya apresiasi dan edukasi para penikmat musik menjadi lagi-lagi hambatan dan juga para EO yang kurang menghargai keberadaan para armada ini bahkan sangat jarang menjadikan para ‘local heroes’ ini sebagai suguhan utama dalam hajatannya. Merekapun harus menelan asinnya air kenyataan dan menomor duakan hingga angka-angka setelahnya seolah mimpi mereka harus terhenti di pesisir pulau itu sendiri tanpa pernah menyeberang. Minimnya keberadaan media pun menambah deretan hambatan bagi para ‘local heroes’ ini. Hal ini juga menjadi problematika yang menohok bagi generasi penerus yang ingin mengikuti jejak ‘abang-abangan skena’.
juga para EO yang kurang menghargai keberadaan para armada ini bahkan sangat jarang menjadikan para ‘local heroes’ ini sebagai suguhan utama dalam hajatannya
Terlepas dari kenyataan tersebut, kini skena musik Lombok mulai bergerilya untuk menunjukkan taringnya. Dua wajah asal Pulau Lombok, Sundancer & The Dare, melesat menyusuri lampu sorot pelabuhan sentral, pergerakan kedua band ini pun tidak tanggung-tanggung, beberapa kota pun disambangi dalam tur yang kala itu dinamakan Gelombang Cinta, bahkan Sundancer pun berhasil menginjakkan kakinya pada perhelatan musik ibukota, seolah memantapkan diri sebagai ‘Band Pulau’ yang bernafaskan Surf Rock & Indie Pop.
Media-media juga kini mulai bermunculan. Pun, melalui platform YouTube (yang sudah seharusnya dimanfaatkan menjadi sarana untuk membuktikan diri) kini menjamur berisikan Penampilan para local heroes ini, Telinga para penikmat musik skena Lombok pun dihantam dengan banyaknya warna-warna baru yang memiliki potensi: Sebut saja Paris Hasan, Humming Town, Isvara, Mirakei, Social UFO, Abhy Summer, Navarin, No Big Deal , Sisasa, Pamela Paganini, Yuga Anggana, Lavie, Albert In Space, Weakness dan masih banyak lagi.
Gigs-gigs kolektif hingga momentum Record Store Day menjadi salah dua ruang untuk memperkenalkan diri kepada penikmat musik Lombok.
Tentu saja fenomena ini sangat patut disyukuri kemunculannya, sebab ini menandakan bahwa pulau ini memiliki regenerasi yang kini kian hari semakin membawa titik terang terhadap keberadaan skena itu sendiri. Wajah-wajah lama pun tidak kalah berpotensinya dengan regenerasi yang kini perlahan mulai bermunculan: Highway, Roll With The Punch, Ailhad 18 hingga Ary Juliant. Beberapa dari local heroes ini pun sudah tak asing lagi namanya di telinga para gigs-goers. Bahkan wajah-wajah lama yang sudah lama tak terdengar kabarnya pun hingga kini tetap dinanti-nanti. Gigs-gigs kolektif hingga momentum Record Store Day menjadi salah dua ruang untuk memperkenalkan diri kepada penikmat musik Lombok.
Namun dengan adanya kanal-kanal digital dan juga fisik ternyata belum dapat melabuhkan para awak dan armada-armada ini ke lautan yang lebih luas dari dermaga pulau mereka sendiri. Belum pantaskah karya-karya musik di Lombok hadir menjadi konsumsi publik di luar pulau ini sendiri? Melihat faktor-faktor di atas, tentu saja harapan yang tumbuh agar skena musik Lombok memiliki tempat di hati dan pikiran para penikmat musik di seluruh Indonesia. Namun, harapan terkadang belum dapat sejalan dengan realita. Banyaknya praktik ‘komersialisasi’ jaringan dan informasi bisa saja menjadi hambatan para local heroes ini.
Bila kita melihat kondisi terkini, penulis merasa sangat bersyukur dengan adanya pandemi ini; GGS (Gossip-Gossip Skena) justru kian mereda. Banyaknya gigs vigilante yang tak berizin kian menjamur hingga bulan April 2021 silam. Kondisi medan perang skena kini dipenuhi dengan local heroes lama maupun baru yang semua menyiapkan amunisi-amunisi mereka. Walaupun hambatan-hambatan dari kawan-kawan sendiri juga masih tetap saja ada. Pikiran-pikiran kerdil yang lupa untuk membangun hangatnya persaudaraan, penulis anggap hanya hama musiman yang dengan sendirinya akan mati dilalap oleh egonya.
Terkadang yang dibutuhkan untuk membangun sebuah basis kekuatan dengan harapan dapat menyeberang ke pelabuhan berikutnya bukanlah kapal Fortress yang berjalan dengan uap-uap primordial. Melainkan dengan eratnya jalinan komunikasi dan informasi yang tidak dikomersialisasi.
Penulis: Fikri Norman Haekal | @normanhaekal
Mendekam di sebrang nun jauh, tatkala berontak ayah tidak lupa menelpon untuk cepat pulang. Musik dan fotografi adalah obat populer yang selalu ditelan ketika penurun panas dan demam tidak bekerja.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Di Balik Panggung Serigala Militia Selamanya
Seringai sukses menggelar konser Serigala Militia Selamanya di Lapangan Hockey Plaza Festival hari Sabtu (30/11). Bekerja sama dengan Antara Suara, acara hari itu berhasil membuat program pesta yang menyenangkan untuk para Serigala Militia tidak …
Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta
Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara …