Terima Kasih, Ricky (oleh: Yudhistira Agato)

Apr 26, 2025

Saya sebetulnya enggak pernah dekat-dekat amat dengan Ricky. Mungkin baru beberapa tahun terakhir, semenjak dia bekerja untuk media Whiteboard Journal—yang kebetulan juga tempat beberapa teman mencari nafkah—kami lebih sering berinteraksi, entah di kantor ketika saya kebetulan mampir atau di acara musik di mana kami sama-sama hadir. Kami kadang ngobrol-ngobrol kecil atau bercanda gurau, dengan musik selalu menjadi jantung pembicaraan. Namun ketika kabar kepergian Ricky sampai ke saya via WhatsApp, Sabtu malam lalu, saya panik. Di tengah hiruk pikuk berusaha mengonfirmasi kebenaran berita ini dengan beberapa orang, saya diterpa rasa kehilangan. Berbagai memori acak saya dengan beliau bermunculan dan tidak kunjung padam. Setelah beberapa hari, ketika tulisan ini dibuat, saya masih merasakan hal yang sama. 

Pertama kali saya bertemu (alias nonton doang) Ricky adalah di acara peluncuran EP pertama Seringai di Kemang pada 2004. Venue-nya percis di seberang Aksara Kemang, lupa namanya apa. Masih berumur 17 tahun, saya memberanikan diri datang sendiri ke gig independen (waktu itu mungkin masih pake istilah ‘underground’) perdana saya. Jujur, saya gak punya memori apa pun soal penampilan Seringai di sini, tapi saya ingat memiliki kaset High Octane Rock EP, kaos desain rilisan tersebut dan sebuah bandana hitam—kedua item terakhir sudah saya jual di Kaskus lebih dari satu dekade yang lalu. Kaset ini sering saya putar ketika remaja, menjadi perkenalan saya dengan style dan tone gitar Ricky yang heavy, tidak kelewat technical tapi tetap catchy dan tasty. 

Percakapan pertama saya dengan Ricky baru terjadi di 2017 via Facebook chat. Waktu itu, saya kebetulan masuk daftar guitar heroes lokal versi beliau dan saya ingin mengucapkan terima kasih, “Rick, gue baru liat list lo haha gile aje gue masuk. Tapi tengkyu banget yakss. Appreciate it.” 

Ricky merespons dengan melayangkan beberapa kata pujian lagi dan berkomentar soal bosannya dia melihat diskursus soal gitaris terbaik yang ujung-ujungnya lagi-lagi shredder.

“Buset ini orang baik dan ramah banget,” ujar saya dalam hati.

Tapi mungkin seharusnya saya tidak terkejut. Ketika masih menjabat sebagai editor Rolling Stones Indonesia, Ricky sudah banyak sekali membantu proyek musik ngamen saya, Vague dengan menampilkan kami di dalam majalah musik tersebut dan juga mengundang kami manggung di Rolling Stone Cafe di Ampera, tidak lama sebelum venue tersebut tutup secara permanen.

Ricky juga kerap membantu saya untuk urusan pekerjaan. Beliau pernah menyumbang daftar best-music-of-the-year untuk media tempat saya bekerja, berkontribusi atas beberapa kutipan untuk tulisan voxpop saya tentang Rotor di The Jakarta Post. Saya bahkan pernah diberi akses wawancara dengan aktor Iko Uwais ketika Ricky masih menjadi manajernya. Sayangnya karena satu dan lain hal artikel ‘10 tahun The Raid’ saya batal naik. Saya tidak pernah meminta maaf ke Ricky secara proper selama ini, karena malu dengan inkompetensi saya sendiri, namun beliau tidak pernah bertanya atau menagih apa-apa.

Tahun lalu, proyek musik saya Vague hendak merayakan 10 tahun album Footsteps dan Ricky menjadi salah satu nama yang nekat kami ajak. Dengan santainya dia menjawab via WA, “Haha bole aja dhis, would be happy, tapi gue cek jadwal sama Seringai dulu yak.” Latihan pertama bareng Ricky di studio, saya lumayan deg-degan, takut terlihat terlalu amatir atau tidak serius, kemudian bikin dia menyesal sudah menyetujui ajakan kami. Seorang profesional, Ricky datang awal, membawa teknisi dan equipment gitar dia sendiri, namun dengan mudah beradaptasi dengan chemistry band. Situasi latihan terasa cair dan menyenangkan, penuh dengan candaan dan tawa seakan kami berempat sudah pernah main musik bareng sebelumnya.

Mengingat kembali penampilan kami di gig tersebut, mungkin yang lebih impresif dari permainan gitar Ricky yang cemerlang dan presence-nya yang besar, adalah how much of a good sport he was. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh atau terlihat tidak menikmati suasana, biarpun mungkin sudah lama sekali dia tidak bermain di depan sekitaran hanya 100-150 penonton. Selepas acara, dia sempat bilang, “Seru banget tadi ya.” Dan mengatakan, kalau dia kangen main di gig kecil. 

Di acara Cherrypop 2024 di Jogja, Ricky dan Jirapah menghabiskan lumayan banyak waktu bersama, makan bareng sebelum dan setelah manggung (Nasi Teri Gejayan, thanks Alva). Dia sengaja datang sehari lebih awal (Seringai main hari ke-2) agar bisa nonton-nonton band lain, seperti layaknya pecinta musik pada umumnya. Di kantor Whiteboard awal tahun ini, selepas mendengarkan test press vinyl Planetarium, kami ngobrol dengan Ricky hingga larut. Saya ingat beliau menceritakan rencana tur Seringai ke Jepang dan Taiwan, dan bagaimana musik Jirapah akan cocok dengan audiens di sana. Kami sempat berkelakar bahwa lagu “Bekerja” bisa dibikin versi bahasa Jepang seperti lagu “Dreams”-nya The Cranberries yang dinyanyikan ulang Faye Wong dengan bahasa Kanton. 

Pertemuan langsung terakhir saya dengan Ricky adalah ketika Jirapah manggung di Bandung pada Februari lalu (Amerta, band yang albumnya diproduseri Ricky juga tampil). Beliau ikut dengan rombongan kami menggunakan mobil Elf, dan menawarkan rumahnya sebagai titik pertemuan dan penitipan mobil-mobil pribadi. “Biasa kalau Seringai ada manggung luar kota, rumah gue jadi basecamp anak-anak kok,” ujarnya. Sepanjang perjalanan pulang-pergi, kami semua banyak ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari badminton, politik hingga masa kecil Ricky yang ia habiskan di Ipoh, Malaysia. Beliau bercerita ketika timnas kedua negara sedang bertarung di ajang internasional, dia sering menjadi bahan bulan-bulanan teman-teman sekelasnya di sana. 

Entah kenapa, trip Jirapah kali itu sungguh berkesan buat saya. Di situ Ricky terasa seperti seorang teman lama yang sedang nebeng ikut makan, nongkrong, dan nonton gig. Hangat, santai, dan tidak berjarak. Biarpun tentu saja, dia dikenali banyak orang di mana pun kami berada. Salah satu momen favorit saya adalah pada tengah malam hari sebelum pulang ke Jakarta, kami sempat makan bakmi di kedai favorit Ricky. Selepas makan, sebelum naik ke Elf, Ricky ditagih foto rame-rame oleh beberapa pemuda setempat yang sudah menunggu semenjak kami masih asyik makan.

Beberapa minggu lalu, sebelum rekaman di studio, saya mengirimkan ucapan terima kasih ke Ricky via WhatsApp karena sudah meminjamkan kabinet gitar miliknya untuk saya gunakan. “Aman dhis. Goodluck,” ternyata menjadi kata-kata terakhir beliau untuk saya.

Jujur, sejak berita kepergian Ricky, saya bergumul untuk bisa mengekspresikan perasaan saya secara akurat. Kata-kata yang saya rangkai selalu terasa dangkal dan tidak cukup hingga akhirnya beberapa kali saya memilih untuk mengunggah foto beliau saja. Tulisan ini pun mungkin gagal mengungkapkan banyak yang ingin saya sampaikan.

Dengan segala kesibukannya, Ricky entah bagaimana masih punya waktu untuk menjadi pribadi yang ramah dan senantiasa berbagi waktu, sumber daya, pengetahuan, atau sekedar senyuman hangat. Kok bisa ya? Entahlah. Mungkin bukan kebetulan juga bahwa interaksi pertama dan terakhir saya dengan Ricky berporos di beliau berbagi dan memberi. That’s how I will always remember him. 

Terima kasih, Ricky. You’re already missed.

 

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

False Theory Ceritakan Kisah Penyembuhan Luka Masa Lalu di Single Dua Atma

Unit pop punk asal Tana Paser, Kalimantan Timur, False Theory merilis single ketiga bertajuk “Dua Atma” pada Kamis (05/06). Lewat lagu ini, mereka mengangkat cerita tentang dua jiwa yang saling menyembuhkan dari luka masa …

Workshop dan Talkshow Latihan Pestapora Solo Hadir Penuh Manfaat

Tepat seminggu yang lalu pra-acara Latihan Pestapora Solo dalam format workshop dan talkshow dilaksanakan selama tiga hari tanggal 12-14 Juni 2025 di dua tempat, Loji Gandrung dan Omah Sinten. Pra-acara ini merupakan rangkaian menuju …