Tiga Generasi Menyambut Reissue Album Badai Pasti Berlalu

Oct 19, 2024

Sebelum bicara album OST. Badai Pasti Berlalu (1972) yang fenomenal, barangkali satu generasi penonton televisi di Indonesia pernah punya kedekatan personal dengan original soundtrack (OST) dua film anime. Pertama OST. Samurai X dan OST. Inuyasha. Musik-musik pengiring pembuka dan penutup seri anime itu demikian otentik dan familiar, sehingga nyaris membuat satu generasi anak di Indonesia hafal lagu-lagu seperti “Fukai Mori (Do as Infinity)” atau “It’s Gonna Rain (Bonnie Pink)”.

Dalam dunia perfilman, soundtrack bukan sekadar musik latar; mereka adalah bagian penting dari narasi, resonansi emosional, dan dampak budaya. Di Indonesia sendiri ada banyak sekali album yang didedikasikan untuk pengiring musik, mulai dari OST. Janji Joni hingga OST. Ada Apa Dengan Cinta. Pendekatan dua album ini berbeda, OST. Janji Joni adalah omnibus di mana beberapa musisi mengisi musik scoring untuk satu adegan, sementara OST. Ada Apa Dengan Cinta dibuat sebagai respon adegan film.

Beberapa album soundtrack jadi sangat ikonik, sehingga tidak hanya mendefinisikan film masing-masing, tetapi juga mengubah lanskap sinema dan musik Indonesia. Di Indonesia musik dalam film memainkan peran penting dalam membentuk sejarah musik, seringkali menjadi jembatan antara cerita film dan tren musik populer. Salah satu yang sangat berpengaruh adalah album Badai Pasti Berlalu yang dibuat pada 1977 oleh Erros Djarot.

Di Indonesia sendiri ada banyak sekali album yang didedikasikan untuk pengiring musik, mulai dari OST. Janji Joni hingga OST. Ada Apa Dengan Cinta. Pendekatan dua album ini berbeda, OST. Janji Joni adalah omnibus di mana beberapa musisi mengisi musik scoring untuk satu adegan, sementara OST. Ada Apa Dengan Cinta dibuat sebagai respon adegan film

Soundtrack Ikonik Mendefinisikan Ulang Apa Itu Musik Film

Musik film memiliki kekuatan untuk menangkap nuansa, semangat, dan juga visi artistik sebuah film. Musik-musik yang dihadirkan dalam Janji Joni, menggambarkan nuansa semangat zaman anak muda pada zamannya. Sementara OST. Ada Apa Dengan Cinta menggambarkan gairah dan romansa masa sekolah. OST. Badai Pasti Berlalu, di sisi lain bisa memberikan gambaran bagaimana sebuah karya artistik film direspon dengan musik yang indah pula.

Badai Pasti Berlalu adalah film yang digarap oleh Teguh Karya dan merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Marga T. Fokus film ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) dan  Leo (Roy Marten). Tiap pembabakan dalam film ini diiringi oleh musik yang dikembangkan oleh Eros Djarot. Meski dalam sebuah artikel disebutkan bahwa Teguh Karya sempat menolak Berlian Huauruk yang dianggap suaranya kurang tepat, namun Erros Djarot tetap ngotot dan ini menjadikan beberapa lagu dalam album ini jadi monumental.

Musik dalam film menunjukkan bagaimana suara dimanfaatkan untuk memanipulasi emosi penonton, memperkaya pengalaman sinematik secara keseluruhan. Dalam Badai Pasti Berlalu, musik dari menangkap semangat cerita cinta, menggunakan melodi yang indah mendayu-dayu untuk membangun hubungan emosional yang mendalam. Soundtrack ikonik ini tidak hanya memperkuat narasi, tetapi juga membentuk persepsi penonton tentang sinema.

Ini mengapa album Badai Pasti Berlalu jadi relevan. Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #31 Desember 2007 membuat daftar “150 Album Indonesia” terbaik sepanjang masa. Daftar ini digodok dan disusun oleh empat kontributor Majalah Rolling Stone Indonesia, yaitu Denny MR (wartawan senior), Denny Sakrie (pengamat musik senior dan kolektor musik), David Tarigan (pendiri Aksara Records, kolektor musik) dan Theodore KS (pengamat musik senior).

Philip Vermonte, Gen X dan Dekan, menyebut bahwa album ini istimewa tidak hanya secara artistik, tapi juga proses pembuatannya. “Album itu semua ingredient nya teramu sedemikian rupa, dari sisi musik dan terutama lirik yang sangat puitik, keduanya membuat siapapun yang mendengarkan album itu hatinya berdebar, emosi hanyut dan terombang-ambing seiring dengan lagu-lagunya,” katanya.

Dalam perbincangan kami, ia membandingkan dua versi Badai Pasti Berlalu. Pertama versi Erros Djarot yang dibuat pada 1977 dan versi Erwin Gutawa yang dibuat pada 1999. Jika pada versi 1977 pengisi vokal perempuan adalah Berlian Hutauruk, maka versi 1999 suara vokal perempuan diisi oleh Nicky Astria, Waldjinah dan Aning Katamsi. Dua versi album ini menurut Philip sangat berbeda, baik secara nada maupun pendekatan artistik.  

Album Badai Pasti Berlalu dikerjakan secara kolektif oleh Erros Djarot, Yockie Suryoprayogo, Debby Nasution, Chrisye, Fariz RM dan Stanley. Pada dapur penulisan lirik tidak hanya sekadar indah, tapi ditulis juga untuk membuat pendengarnya menciptakan imaji visual yang tidak hanya indah, tapi juga puitik. “Coba tengok lirik Merpati Putih dan musiknya, Anda akan tahu apa yang saya maksud,” kata Philip.

Sudut Pandang Generasi Milenial dan Gen Z

Sementara itu dari generasi yang berbeda, Lana, Millennial dan Pengelola Suara Dewandaru, menyebut bahwa album Badai Pasti Berlalu merupakan karya yang bisa berdiri sendiri sebagai karya. Meski tak perlu membaca buku atau menonton filmnya, album ini sudah sangat indah dan komplit dengan sendirinya.

“Beberapa soundtrack itu digunakan untuk mengisi adegan. Sehingga komposisi menyesuaikan mood adegan. Ini kenapa dalam album Badai Pasti berlalu semua genre ditabrak, ini album komplit,” katanya.

Beberapa musik memang bisa memperkuat film, terutama jika lagu yang dipilih bisa tepat dengan adegan yang disajikan. Ia mencontohkan AADC bahwa tiap pilihan lagu, penonton di generasi milenial bisa mengaitkan atau mengasosiasikan dengan adegan yang dibuat. Saat tokoh-tokoh menari di kamar Cinta atau saat Cinta bersama Rangga.

Lana; generasi millennial dan Pengelola Suara Dewandaru, menyebut bahwa album Badai Pasti Berlalu merupakan karya yang bisa berdiri sendiri sebagai karya. Meski tak perlu membaca buku atau menonton filmnya, album ini sudah sangat indah dan komplit dengan sendirinya.

Sebagai milenial pertemuan pertama Lana kepada album ini adalah ketika menonton konser Live, Loud and Legendary. Saat itu ia duduk di sekolah dasar kelas enam. “Aku ditemenin nonton bapakku saat itu,” katanya. Di situ ia menonton Erwin Gutawa membuat aransemen yang indah dibawakan oleh Chrisye dan Nicky Astria. Bertahun kemudian ia mengetahui bahwa album originalnya dibuat oleh Erros Djarot.

Lana juga mengaku gembira bahwa album ini bisa diakses siapapun. Meski kadang tentu saja ada orang-orang yang ingin melakukan gatekeeping, seolah musik ini hanya untuk kalangan terbatas. “Bagiku ya gatekeeping adalah bentuk insecurity. Ini (Badai Pasti Berlalu) karya seni sangat penting hingga punya dampak besar, jadi ya semestinya siapa saja bisa dengerin,” katanya.

Sebagai musik album Badai Pasti Berlalu memang sebaiknya bisa diakses oleh siapapun, perilisan dalam bentuk vinyl merupakan langkah yang tepat. Lana menyebut bahwa dengan dirilis ulang siapapun bisa mendengar, berbeda dengan generasinya yang susah mencari piringan hitam originalnya.

“Aku pikir siapapun berhak mengakses album ini, terlepas mereka tahu atau tidak dengan Chrisye atau Erros Djarot. Anak-anak Gen Z mau FOMO ya bebas, lagipula itu juga pola konsumsi,” katanya.

Pola konsumsi ini juga yang memperkenalkan Rezy Junio, Gen Z dan Penulis Naskah Film, dengan Badai Pasti Berlalu. Sebagai mahasiswa jurusan film di IKJ, ia mengaku bahwa album ini adalah bagian dari sejarah.

Itu mengapa ketika ada peristiwa  hebohnya harga vinyl Badai Pasti Berlalu versi rilisan promo radio beredar di marketplace dengan harga yang sangat menjulang, justru membuat rilis ulang ini jadi benar.

“Karena dengan versi rilisan ulang kita warga wargi seakan bisa memiliki vinyl yang rasanya udah kayak mitos. Pas pertama kali vinyl ini datang lalu saya pamerin ke orang rumah, mereka semua excited dan saling nyeritain pengalaman maupun pengetahuan mereka tentang Badai Pasti Berlalu,” katanya.

Rezy menyebut bahwa setiap track dalam album ini sangat indah dan semestinya didengar sebagai satu kesatuan yang utuh. Beragam genre mulai dari  orchestra, disko, hingga balladal “Menurut saya, sepanjang lagu Mataari kita kayak terus dikasih kejutan di tiap detiknya, lirik yang dibawakan juga masih relate sama kondisi gen-z sekarang yang seakan memberikan kalimat afirmasi bak ibu menenangkan kecemasan anaknya melalui baris “kapan badai pasti berlalu? badai pasti berlalu” yang dibawakan dengan melodi seperti mars pembangkit semangat juang,” katanya.

Rezy juga ingat ketika ia pertama kali memasuki sekolah film, Badai Pasti Berlalu menjadi salah satu daftar film wajib yang harus ditonton. “Namun, eksposisi terhadap album ini bagi saya sendiri adalah ketika Diskoria memberikan homage melalui cover single Balada Insan Muda yang membuat saya kembali teringat akan poster filmnya yang kerap berseliweran di coffee shop skena,” katanya. 

Menariknya mulai dari Philip, hingga Lana memiliki komentar yang nyaris semua, album Badai Pasti Berlalu semestinya bisa diakses siapapun. Itu mengapa ketika ada peristiwa  hebohnya harga vinyl Badai Pasti Berlalu versi rilisan promo radio di marketplace  yang sangat menjulang, justru membuat rilis ulang ini jadi benar.

“Setuju tidak setuju juga menjadi publikasi yang membuat orang-orang penasaran dan ingin mengulik “Apasih yang bikin album ini dinobatkan jadi album terbaik sepanjang masa?’ Sampai dijual mahal?” tanya Rezy.

Album Badai Pasti Berlalu adalah landmark, sebuah warisan budaya yang menjadi penting dan didengar lintas generasi. Keputusan untuk mencetak ulang dalam bentuk piringan hitam membantu lebih banyak orang untuk mengakses musik yang indah ini. Barangkali di masa depan, jika perlu, album-album penting dari generasi 60-70-80an bisa dirilis kembali, agar generasi hari ini bisa menikmati musik artistik dari era yang telah lewat.

 


 

Penulis
Arman Dhani
Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Mengoleksi piringan hitam, buku, dan sepatu. Saat ini sedang menyelesaikan buku Melawan Perintah Ibu (EA Books) dan Usaha Mencintai Hidup (Buku Mojok). Bisa ditemui di IG dan Twitter. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo

Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …

Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi

“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11).      Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …