UU KUHP Bakal Belenggu Kebebasan Berekspresi Para Musisi?
Pada 6 Desember 2022 pihak DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kontroversial di mata masyarakat. Karena di dalam KUHP ini tersirat adanya upaya untuk membelenggu kritik masyarakat, termasuk kebebasan berekspresi warga (yang di antaranya adalah para seniman dan musisi).
Dunia musik di Indonesia sedari dulu selalu melahirkan banyak-banyak musisi yang kerap menulis lagu protes dan kritik terhadap penguasa. Mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi seperti sekarang ini. Meski Orde Reformasi banyak disebut membawa banyak perubahan, faktanya beberapa tahun terakhir pihak penguasa sepertinya makin mempertebal tameng mereka terhadap kritik dari masyarakat.
Pihak pemerintah mengklaim kalau UU KUHP yang baru disahkan pada 6 Desember 2022 kemarin adalah versi revisi paling terkini dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië, yang pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.
Dunia musik di Indonesia sedari dulu selalu melahirkan banyak-banyak musisi yang kerap menulis lagu protes dan kritik terhadap penguasa. Mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi seperti sekarang ini.
“Perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda,” tulis Presiden RI di dokumen RUU KUHP final Paripurna 6 Desember 2022, yang diterima oleh redaksi Pophariini.
Sayangnya, UU KUHP yang baru disahkan tersebut dinilai oleh banyak pihak sebagai alat dari penguasa untuk mengkriminalisasi masyarakat, serta mengandung banyak ‘pasal karet’.
Pophariini di bawah ini coba membedah beberapa pasal di UU KUHP ini yang terasa janggal, dan berpotensi jadi ‘pasal karet’ yang mengancam kebebasan berekspresi dari para seniman dan musisi:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Meski Orde Reformasi banyak disebut membawa banyak perubahan, faktanya beberapa tahun terakhir pihak penguasa sepertinya makin mempertebal tameng mereka terhadap kritik dari masyarakat
Pasal 240
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Swami (supergrup yang terdiri dari: Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel Yakin, Nanoe, Innisisri, Jockie Suryoprayogo, Totok Tewel) yang sejak tahun 1989 menulis lagu-lagu protes seperti “Bento”, “Bongkar” & “Badut”, apakah bisa dikategorikan sebagai ‘menghina presiden dan pemerintah’?
(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Di kedua pasal di atas tidak didefiniskan batasan antara ‘menghina’, ‘mengkritik’ dan ‘memprotes’. Menyerang kehormatan dan menghina presiden / pemerintah itu standarnya seperti apa?
Swami (supergrup yang terdiri dari: Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel Yakin, Nanoe, Innisisri, Jockie Suryoprayogo, Totok Tewel) yang sejak tahun 1989 menulis lagu-lagu protes seperti “Bento”, “Bongkar” & “Badut”, apakah bisa dikategorikan sebagai ‘menghina presiden dan pemerintah’?
Kemudian ada lagi beberapa contoh lagu protes, yang bisa saja kena ‘pasal karet’, jika mengacu pada Pasal 218 & 240 UU KUHP 2022:
Bimbo – “Tante Sun“ (1977)
Rotor – “Pluit Phobia” (1992)
Seringai – “Mengadili Persepsi” (2007)
Efek Rumah Kaca – “Mosi Tidak Percaya” (2008)
Kelompok Penerbang Roket – “Di Mana Merdeka” (2015)
Laze – “Budak” (2018)
.Feast – “Gugatan Rakyat Semesta” (2022)
Kemudian di UU KUHP 2022 ada lagi pasal 256 yang membelenggu kebebasan masyarakat untuk unjuk rasa atau demonstrasi. Tidak sedikit elemen seniman dan musisi yang juga turun ke jalan ikut masyarakat berdemonstrasi. Berikut isi pasalnya:
Beberapa contoh lagu protes yang bisa saja kena ‘pasal karet’, jika mengacu pada Pasal 218 & 240 UU KUHP 2022 seperti Bimbo – “Tante Sun“ (1977), Rotor – “Pluit Phobia” (1992), Seringai – “Mengadili Persepsi” (2007) dan Efek Rumah Kaca – “Mosi Tidak Percaya” (2008)
Pasal 256
Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Selain itu, dunia pertunjukan musik juga akan terdampak dengan disahkannya UU KUHP 2022. Ini bisa dilihat dari ayat di Pasal 265:
Pasal 265
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang mengganggu ketenteraman lingkungan dengan:
a. membuat hingar-bingar atau berisik tetangga pada Malam
Dunia pertunjukan musik biasa dilangsungkan pada malam hari. Jadi apabila mengadakan pertunjukan musik hingar-bingar pada malam hari juga bakal kena ‘pasal karet’ ini?
RKUHP sempat memicu unjuk rasa besar-besaran pada 23 September 2019 – 2 Oktober 2019. Di Yogyakarta, Alun-alun Tugu Kota Malang, Semarang, dan Balikpapan. Di depan gedung DPR dan esoknya para pelajar SMA juga ikut turun berunjuk rasa di depan gedung DPR
Pihak penguasanya seperti harus diingatkan kembali kalau profesi pejabat dan aparat itu adalah sebagai pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Gaji mereka juga diambil dari pajak masyarakat.
Sebelumnya RKUHP sempat memicu unjuk rasa besar-besaran pada 23 September 2019 – 2 Oktober 2019 (satu pekan dan dua hari).
Rangkaian unjuk rasa yang menuntut penundaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ini dimulai pada 23 September di daerah Gejayan, Yogyakarta, kemudian Alun-alun Tugu Kota Malang, Semarang, dan Balikpapan, yang kemudian diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Pada 24 September, bertepatan dengan 20 tahun Tragedi Semanggi II, ribuan mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR saat rapat paripurna dan gedung pemerintahan daerah lainnya di berbagai wilayah. Polisi sempat menembakkan gas air mata pada pengunjuk rasa. Kemudian pada 25 September, para pelajar setingkat SMA juga ikut turun berunjuk rasa di depan gedung DPR.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah memiliki waktu tiga tahun untuk menyosialisasikan RKUHP yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU)
Pemungutan suara dijadwalkan akan diadakan pada 24 September 2019, tetapi karena menghadapi protes publik, Joko Widodo mengumumkan untuk menunda pemungutan suara pada 20 September 2019.
Menko Polhukam Moh. Mahfud MD pada Kamis (8/12), meminta pemerintah untuk tidak hanya memperbaiki KUHP tetapi juga merevisi KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
“KUHP itu hukum materiilnya, KUHAP itu hukum proseduralnya,” ungkap Mahfud MD.
KUHAP adalah dasar hukum bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pengadilan Agama untuk melaksanakan wewenangnya. Kitab ini mengatur tentang penyidikan, penyelidikan, penahanan, penangkapan, dan hal-hal lain yang menjadi prosedur dari tindak pidana yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Masa sosialisasi selama tiga tahun ke depan ini mungkin masih bisa kita gunakan sebaik mungkin, dengan cara terus menyuarakan protes terhadap UU KUHP ini di berbagai media, karena penggantian Presiden dan anggota parlemen akan berlangsung dua tahun lagi (2024)
“Para Jaksa sudah punya KUHP yang baru, yang akan berlaku tiga tahun yang akan datang yaitu, tanggal 6 Desember 2025, akan berlaku efektif dan menjadi pedoman hukum pidana materiil,” tambah Menko Polhukam.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan, pemerintah memiliki waktu tiga tahun untuk menyosialisasikan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Menurut dia, pemerintah akan membentuk tim untuk mendukung sosialisasi ini.
Masa sosialisasi selama tiga tahun ke depan ini mungkin masih bisa kita gunakan sebaik mungkin, dengan cara terus menyuarakan protes terhadap UU KUHP ini di berbagai media, karena penggantian Presiden dan anggota parlemen akan berlangsung dua tahun lagi (2024). Ada kemungkinan UU KUHP masih bisa diubah atau direvisi lagi, seiring dengan pergantian pemerintahan yang baru.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Band Punk Indonesia Favorit MCPR
Dalam perhelatan Festival 76 Indonesia Adalah Kita di Solo, kami menemui band punk-rock asal tuan rumah, MCPR sebagai salah satu penampil untuk mengajukan pertanyaan soal pilihan 5 band punk Indonesia favorit mereka. Sebelum membahas …
Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan
Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi. …