Voxxes – Zero Hour
Setelah terlihat bingung dengan arah bermusik dalam EP What The Night Will Be (2021) dan beberapa materi sebelumnya, akhirnya Voxxes menebus segala ketidakjelasan mereka dengan album penuh perdana Zero Hour.
Dalam Zero Hour, Voxxes benar-benar menggambarkan musik pop 80-an yang nyaman di telinga. Tidak sederhana, namun juga tidak rumit, dan rasanya cukup nyaman dinyanyikan band bareng penonton di panggung-panggung mereka yang akan datang.
Lagu pertama “Sunshine Peach Tea” menjadi sebuah pembuka yang mengejutkan. Harmonisasi antara jangkauan vokal yang tinggi, solo gitar dengan distorsi meliuk-liuk, synthesizer yang meriah, serta lirik yang gampang dicerna menjadi sajian baik di awal.
Rasanya seperti dilibatkan dalam adegan berbunga-bunga di sebuah film era terkait dengan segala warna-warninya dalam satu lagu, pun juga menjadi alasan ketertarikan saya untuk mendengarkan Zero Hour secara keseluruhan.
Setelah itu, Voxxes mengurangi intensitas distorsi dan synthesizer dalam lagu bertempo cukup pelan, “Fences” yang sudah dirilis sejak dua tahun silam. Dalam satu putaran mendengarkan, reff dari lagu ini sudah menjadi jaminan sing along bersama penonton.
Lagu ketiga “Without You” masih dengan nuansa pop yang kental, serta keceriaan yang membalutnya. Disusul oleh lagu “Paris” yang kembali melibatkan padatnya permainan synthesizer menjadi daya tarik tersendiri. Namun, lagu “Moonlight” yang menjadi favorit saya yang lain. Temponya memang tidak sekencang lagu pertama, tetapi rasanya cukup untuk menjadi ajakan turun langsung ke lantai dansa.
Dalam siaran pers, Voxxes menjelaskan, bahwa Zero Hour dihadirkan dalam konsep dua sisi, digambarkan dengan situasi siang dan malam yang dibagi menjadi lima lagu pertama serta lima lagu terakhir. Maka dari itu, jangan heran jika setelah “Moonlight” berakhir, Voxxes langsung sendu di lagu-lagu selanjutnya.
Lima lagu terakhir punya warnanya sendiri. Tidak melulu berbunyi instrumen elektronik, beberapa lagu minimalis juga mereka bawa di fase ini. Sebut saja “Forever Now” yang hanya melibatkan dentingan piano sebagai pengiring vokal hingga durasi berakhir dan “Spend The Night” terdengar sayup-sayup strings section dan gitar akustik.
Menjawab pertanyaan mengapa lagu “Half Empty” ditempatkan terakhir. Di setengah durasi lagu begitu terdengar sendu dengan permainan ambience di kanan dan kiri telinga, yang berlanjut ke tempo yang tiba-tiba dibawa naik dalam setengah durasi yang tersisa.
Lagu tersebut membawa sahut-sahutan antara vokal, instrumen yang mentok dimainkan, ditambah dengan brass section yang menegaskan kesan megah di lagu. “Half Empty” merupakan sebuah penutup yang pas dari rangkaian cerita yang manis.
Meski begitu bukan berarti album ini tanpa cela. Lagu “Lemonade” adalah contohnya, menempati urutan ketujuh sebagai focus track. Rasanya lebih cocok jika “Sunshine Peach Tea” yang mengambil peran tersebut, langsung menggebrak tanpa basa-basi dengan aspek-aspek yang sudah disampaikan di paragraf-paragraf awal.
Lagu “Lemonade”, jujur terdengar sangat biasa. Tidak cukup kuat untuk menggambarkan keseluruhan album yang sudah ditata dengan sebaik mungkin. Musiknya datar-datar saja tanpa selipan kejutan seperti lagu-lagu lain, ditambah dengan imbuhan perkusi tidak penting di penghujung lagu.
Pun sama halnya dengan “Zero Hour” yang rasanya lebih baik dikeluarkan saja dari album. Lagu hanya memuat spoken words dan jedag-jedug elektronik yang tidak tepat guna. Kalau Voxxes bermaksud menyertakan lagu sebagai penghubung antara peralihan sisi album, saya sangat yakin Voxxes bisa melakukan hal yang lebih baik lagi.
Melihat Voxxes yang berproses dengan baik dalam bermusik, membuat album Zero Hour ini secara keseluruhan terdengar menyenangkan. Selamat menempuh kisah yang lebih luas lagi.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …
We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms
Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan. Album Asian Palms …