Wawancara Eksklusif Adikara: Bermusik di Era Digital Lewat Tembang-Tembang Cinta

Nov 30, 2024

Jika membahas lagu yang viral di media sosial tahun ini, rasanya tidak mungkin jika tidak menyebutkan “Primadona” dan “Katakan Saja” untuk kategori tersebut. Kedua lagu itu dinyanyikan oleh solois berusia 24 tahun bernama Adikara Fardy.

Meski sudah meraih perhatian yang cukup banyak untuk 2 lagu tersebut, Adikara lanjut dengan single ketiganya tahun ini yang berjudul “Rindu”. Karya musik yang beredar 15 November ini turut menampilkan Andien sebagai kolaborator vokal.

Berjarak 10 hari setelah musisi kelahiran tahun 2000 ini meluncurkan “Rindu”, kami bertandang ke kantor Pagoda Records, label musik milik Adikara di bilangan Tangerang Selatan untuk bincang-bincang seputar karya dan perjalanan kariernya.

Sesi wawancara dimulai oleh Adikara dengan bercerita mengenai bagaimana ia bisa tercemplung menjadi musisi. Muncul perdana lewat single “Pesona Cinta” tahun 2019 lalu, sang solois mengaku kariernya dimulai tahun 2018 saat Candra Darusman mengajaknya terlibat dalam kompilasi Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman dengan menyanyikan lagu “Detik Waktu”.

 

 

 

Saat itu, Candra Darusman menemukan Adikara lewat video YouTube yang ia unggah, di mana di video itu ia menyanyikan lagu “Quando, Quando, Quando” yang kabarnya langsung menarik perhatian sang musisi legendaris tersebut.

 

 

“Kebetulan tuh mereka lagi nyari penyanyi cowok yang jazz-jazz-an dan suaranya yang cukup berat. Nyari video di Youtube, terus ketemu gue di Youtube. Om Candra dan Om Erwin, selaku produser Detik Waktu saat itu merasa cocok,” kenang Adikara yang mengaku saat rekaman waktu itu ia masih mengenakan seragam SMA.

Kami juga sempat membahas sedikit soal single “Rindu” dan bagaimana Andien bisa terlibat dalam lagu ini. Adikara pun menuturkan, bahwa dulu setiap mendapatkan pertanyaan kolaborator impiannya, ia selalu menyebut Andien di setiap kesempatan.

 

 

Manifestasinya pun akhirnya terwujud tahun ini lewat single “Rindu”. Proses mengajaknya saat itu pun dirasa cukup nekat.

“Gue DM, ‘Mbak mau collab gak?’. Terus ternyata gue gak expect ternyata se-humble dan seantusias itu responsnya. Jadi kayak it’s a privilege lah gue bisa collab sama dia,” tutur Adikara.

Lokasi wawancara yang mengambil tempat di kantor Pagoda Records membuat kami merasa harus membahas soal label independen asuhannya ini. Terbentuk beberapa bulan lalu saat rilis single “Nirwana”, nama Pagoda diambil dari mobil impian Adikara.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Pagoda Records (@pagoda_____records)

 

Mobil Mercy Pagoda itu merupakan mobil impian sang Ayah, yang akhirnya juga menjadi mobil impiannya. Meski sampai saat ini belum bisa mendapatkan mobil tersebut, akhirnya nama itu yang ia adaptasi saat membangun Pagoda Records.

Perbincangan kami lanjut membahas banyak topik seputar perkembangan jazz sebagai genre yang digeluti Adikara, sampai rencana perilisan album penuh perdananya yang dijadwalkan lahir tahun depan. Simak langsung di bawah ini.


 

Lo sering diasosiasikan sebagai musisi jazz, bagaimana lo melihat perkembangan genre ini di Indonesia?

Mungkin karena adanya TikTok dan reels, musik sekarang udah beragam banget sih. Apapun bisa naik. Mungkin kalau dulu mayoritas musik pop itu mungkin macam pop melayu, kalau sekarang kayak musik apapun bisa naik gitu gara-gara TikTok dan perkembangan medsos. Tapi khususnya di Indonesia, dengan adanya orang-orang yang berani kayak salah satunya Ardhito (Pramono) dan musisi pop jazz beken lainnya kayak Natasya Elvira. Jadi kayak sekarang tuh gue ngelihatnya apapun yang enak pasti dikasih kesempatan gitu sama semesta.

Kalau perkembangannya, gak specifically jazz sih, genre kita makin meluas gitu, makin internasional gitu rasanya. Senang aja sih bisa berada di era sekarang, di mana semua musik bisa dapat kesempatan yang sama.

 

Single “Katakan Saja” sudah menyentuh lebih dari 20 juta streams, menurut lo di zaman sekarang, apakah itu bisa jadi patokan musisi yang sukses?

Tergantung tiap musisi kali ya, karena gue pribadi tuh gak pernah nyangka. Gue kan ngeluarin lagu pertama tahun 2019, terus baru pertama kali dapat stream di atas 2 juta itu tahun ini, setelah 5 tahun. Jadi kayak buat gue is a huge sukses kali ya, karena tolak ukurnya kalau dibandingin lagu-lagu gue sebelumnya jauh banget gitu.

Karena kan balik lagi kalau tujuan bermusik gue yang penting musik gue didengar sebanyak-banyaknya dan pesan gue tersampaikan sama sebanyak mungkin orang. Gue bersyukur aja sih.

 

 

Di unggahan IG lo sempat menulis di caption “20 Million Streams, Album coming soon.” jadi sudah sampai mana penggarapan album perdana lo?

Semua lagunya udah jadi, cuma tinggal 3 lagu lagi yang perlu diproduksi. Harusnya Januari udah bisa dirangkum, karena kebetulan pengin bikin piringan hitamnya juga kan. Jadi harus ngebut banget produksinya. Rencananya pengin rilis di kuartal 2 tahun depan.

 

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Adikara (@adikaraf)

 

Apakah pencapaian lo mendapatkan 20 juta streams berpengaruh sama keputusan untuk merilis album?

Sebenarnya lagu-lagunya itu udah jadi the momen “Katakan Saja” udah rilis. Jadi waktu itu memang gue lagi ambis-ambisnya kali ya, lagi semangat-semangatnya. Dalam kurun waktu 1 bulan gue bikin 9 lagu sama demo kasar. “Katakan Saja” tuh salah satu lagu yang dibikin sembari bikin lagu-lagu yang lain. Saat itu memang lagi album mode on banget lah. Terus sekarang lagi mikir kapan rilisnya. Kalau gue lihat kalender gue yang belum diganti di HP, harusnya rilis di Juni kemarin, cuma kayaknya mundur semua sih.

 

Bakal ada berapa lagu di album nanti? Dan apakah sudah bisa dibocorin apa judulnya?

Ada 9 lagu, dan judul albumnya Klise. Kenapa Klise? Gara-gara lagu-lagunya tentang cinta-cintaan yang klise gitu sih. Sesimpel itu. Karena kan gue bukan tipe songwriter yang nulis lagu berdasarkan cerita orang lain, terus gue paling gak bisa bikin lagu galau gitu. Jadi gue ambil cerita-cerita percintaan gue yang cukup klise kalau diingat-ingat, dan dirangkum dalam sebuah album.

 

Apa perbedaan sosok Adikara saat merilis single perdana “Pesona Cinta” dan Adikara yang baru saja merilis single “Rindu” dan akan disusul sebuah album penuh?

Salah satu advice yang pernah gue dapat dari seorang musisi yang cukup gue kagumi adalah yang penting tuh sebagai musisi lo tau maunya apa. Apa yang pengin lu kejar dan yang pengin lo capai.

Mungkin kalau saat merilis single “Pesona Cinta” tuh I have no idea. Saat itu gue pas masuk Trinity, ada Afgan, Maudy, dan lain-lain. Pas ditawari masuk bayangan gue tuh cuma pengin jadi sebesar mereka. Tapi ternyata seiring berjalannya waktu, ternyata it takes more than that gitu. Kayak lo perlu visi misi yang jelas sama pesan apa yang pengin lo sampaikan.

Kalau sekarang gue kan ‘terpaksa’ mikir sendiri ya, jadi kayak harus lebih firm sama apa yang pengin gue buat dan capai, dan harus lebih konsisten. Kalau bisa di-summarize jawabannya dulu gue belum tau mau apa kali ya. Apa yang gue pengin kejar dari segi branding dan persona yang ingin gue bangun, atau dari segi musik, secara sound. Karena dulu gue sempet ngeluarin kayak “Pesona Cinta”, bahasa Indonesia, tiba-tiba gue ngeluarin EP jazz, bahasa Inggris semua. Tapi sedangkan kalau gue lihat kayak musisi-musisi Indo yang gue cukup kagumi kayak MALIQ & D’Essentials atau Tulus, mereka kan warnanya sama ya. Mungkin sekarang gue lebih mencoba untuk menjaga konsistensi dari segi sound dan branding kayak gitu-gitunya sih.

 

Lo banyak rilis lagu bertema cinta, terus lagu cinta yang baik menurut Adikara itu bagaimana?

Menurut gue banyak aspek yang bisa memengaruhi lagu cinta yang menurut gue bagus ya. Dari lirik udah pasti. Cuma kayak instrumentasinya juga sih. Kayak lagu “Rindu”, gue sama Mbak Andien tuh pas nulis lagu, gak necessarily pengin ngejar sound 80’s, tapi kami pengin menciptakan perasaan di mana saat pendengar mendengar lagunya feel good gitu. Kayak lagu “September” dari Earth, Wind & Fire itu feel good kan? Nah, di “Rindu” tuh pengin menciptakan itu. Jadi menurut gue, lagu cinta yang baik itu saat lirik dan aransemen itu menyatu sih.

 

Bagaimana strategi lo dalam mempromosikan musik di era streaming dan media sosial saat ini?

Apa-apa kan sekarang serba online ya, jadi gak terlalu nge-rely ke conventional way of promoting your music. Although, for the sake of being a musician gue masih ngejalanin radio-radio gitu untuk nge-fulfill gue sebagai musisi gitu. Lebih merasa “musisi” gitu kalau lo promo ke radio, bawa gitar sendiri.

Cuma kalau di “Primadona” tuh fokusnya lebih ke digital. Kami bikin campaign di TikTok dan Instagram. Dan di “Primadona” kebetulan we got lucky gara-gara kemarin tuh dirilisnya mendekati ulang tahun Jakarta, jadi kayak banyak yang pakai lagu itu untuk ulang tahun Jakarta. Jadi saat ini strateginya mostly online sih, digital.

 

Kalau tadi lo bilang strategi promosinya di digital, tapi untuk album lo nanti bakal rilis piringan hitam. Itu karena apa?

Keren-kerenan doang [tertawa]. Gak sih. Sebenarnya kita kan gak pernah tau digital streaming platform ke depannya kayak gimana. Kalau ada sesuatu yang physical itu kan abadi, dan salah satu cara gue mengabadikan karya gue tuh mungkin lewat piringan hitam. Selain sentimental kalau ngeluarin sesuatu yang ada fisiknya, ya keren juga gak sih. Source of revenue juga gak sih buat orang-orang yang suka koleksi rilisan fisik.

 

Kenapa memilih format piringan hitam di album ini?

Karena gue koleksi beberapa sih ya. Ada beberapa koleksi album-album yang gue suka banget. Dan zaman sekarang orang-orang pengin koleksi aja gitu loh, gak necessarily dengerin kan. Dan mungkin untuk beberapa orang yang suka musik gue, pengin mengabadikan album gue dengan cara tersendiri. Mungkin ada yang jadi lagu wedding-nya, atau lagu apanya, cuma salah satunya ya si vinyl ini sih.

Dan gue kemarin mampir ke Lokananta, terus gue mikir, ‘Kayaknya ada album gue lucu sih di sana’.

 

Apa tujuan akhir lo dalam bermusik?

Kayaknya gak pernah tau deh gue. Pastinya mimpi seorang musisi kan gak jauh dari konser atau album, cuma gue pengin punya legacy di mana karya gue bisa dinikmati sebagaimana gue menikmati karya-karya Guruh Soekarno Putra, Chandra Darusman, Quincy Jones, ya bikin lagu-lagu yang timeless sih sebenarnya. Hopefully gue bisa menjalani label ini bisa sustain dan empower musisi-musisi yang butuh kepercayaan kali ya, gara-gara gue dulu sempet merasa ‘gak dipercaya’ sama beberapa pihak. Mungkin cerita menarik, lagu “Primadona” ditahan-tahan gitu pas gue mau rilis sama label lama gue. Sebenarnya lagu itu udah jadi lama tuh, cuma verse-nya doang, chorus-nya baru gue temuin tahun ini.

Jadi gue bikin Pagoda Records ini buat ngasih ruang untuk musisi kayak there’s someone yang percaya sama lo. Kayaknya buat musisi lo cuma perlu 1-2 orang yang percaya banget sama lo sih, buat percaya diri kan, karena banyak yang gak PD sama karyanya.

Untuk mimpi long term-nya, punya sekolah musik kayaknya seru deh. Untuk empower musisi-musisi yang mungkin punya passion ngajar juga. Jadi gak cuma yang pengin belajar aja, tapi yang pengin share ilmunya juga. Pokoknya seputar musik aja sih.

Sama sebenarnya yang kemarin bikin music video “Primadona” dan “Rindu” itu kan Kakak gue. Jadi selain Pagoda Records tuh kami ada juga Pagoda Films, dan ujung-ujungnya bakal jadi Production House film atau music video. Ekspansinya sih kami pengin Pagoda ada di seputar dunia kreatif, siap membantu bentuk seni apapun dan empower seniman-seniman Indonesia.

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Adrian Khalif – HARAP-HARAP EMAS

Jika menghitung dari awal kemunculannya dengan single “Made in Jakarta”, Adrian Khalif dapat dikatakan butuh waktu 7 tahun untuk sampai di titik tenar lewat perilisan single “Sialan” kolaborasi bareng Juicy Luicy. Itu pun berproses …

Mr. Whitesocks Mengadaptasi Musik Emo dan Math Rock di Karya Perdana

Mr. Whitesocks asal Malang resmi merilis karya perdana mereka berupa 2 single sekaligus yang bertajuk “Sticky Notes” dan “She/Her” di hari Kamis (21/11). Di karya ini mereka mencampur gaya musik emo dan math rock. …