Wawancara Eksklusif Avhath: Album Mini Ephemeral Passage adalah Momen Silaturahmi
Rasa penasaran muncul saat mendengar kabar bahwa Avhath akan kolaborasi bersama KUNTARI, kira-kira pertengahan 2024 lalu. Dalam hati, bagaimana 2 entitas yang sudah memiliki ciri khas masing-masing ini meracik sajian musik ya?
Setelah merilis single “to my disquiet” September 2024 dan sempat diberi bocoran materi, akhirnya Avhath resmi melepas album mini bertajuk Ephemeral Passage yang menampilkan single tersebut 3 bulan kemudian.
Merasa cukup waktu untuk mencerna 6 lagu mereka, Pophariini memutuskan untuk menemui para personel Ekrig (vokal), Reynir Fauzan (gitar), Indra Purba (bas), dan Prana Yudha (gitar) hari Kamis (16/01) di kantor Pure Evil bilangan Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan ini, para personel yang kompak memakai kaus promosi album Ephemeral Passage bercerita mengenai banyak hal seputar album.
Sebelum masuk ke topik utama, kami menanyakan soal perjalanan Avhath terbentuk. Band mengatakan para personel sudah sering bertatap muka sekitar tahun 2010-an ketika mereka rutin berkeliaran di skena Parkit Dejavu.
Saat itu bahkan para personel masih tergabung di band masing-masing. “Technically (saat itu), kami gak ada yang kenal satu sama lain. Tapi, kami semua kenal sama Ekrig. Jadi, mungkin dia yang kayak, ‘Ah udah, ngeband aja lah’. Kayaknya dia yang menyatukan, menurut gue,” kata Indra.
Album band asal Italia, The Secret, Agnus Dei menjadi pemicu terbentuknya Avhath di tahun 2012 hingga mereka melahirkan album Ephemeral Passage.
Ketika berbicara mengenai garis besar yang ditawarkan band bergenre blackened crust ini, mereka mengungkapkan secara umum lebih mengukuhkan Avhath untuk always pushing the boundaries within their capabilities in music.
“Visi dan misi band terhadap si album ini memang pengin coba territory baru dengan berkolaborasi sama KUNTARI kayak gimana jadinya. Terus dengan melibatkan Lafa Pratomo sebagai produser gimana jadinya. Itu sih yang pengin diterusin,” ujar Ekrig.
Rey yang sepakat dengan pernyataan Ekrig menambahkan ia dan rekan-rekannya perlu waktu cukup lama untuk akhirnya merilis album ini setelah terakhir The Avhath Rites beredar di 2019.
“Kami gak yang maksain harus bikin rilisan. Mungkin saat ini udah lebih kebayang yang model-model gitu karena udah lebih clear. Cuma kalau dulu tuh kayak masih benar-benar fun aja. Kalau misalnya menurut kami mood-nya lagi gak ada buat bikin album, ya gak jadi. Kalau mood-nya lagi ada, cepat banget jadinya,” ucap Rey.
Penggodokan album Ephemeral Passage tidak secara aktif menyertakan Indra. Sang pemain bas yang sempat vakum dari kegiatan band menyampaikan perasaan selama memantau proses kreatif teman-teman bandnya.
“FOMO lah. Sebal. Cuma gue yakin apa pun yang dikeluarkan kawan-kawan gue udah pasti keren. Gue pede itu. Demo pertama yang gue dengar ‘liminal end’ kan. Gue udah gak kaget, pecah banget,” tegasnya.
Sesi bincang Pophariini dan Avhath berlanjut ke topik proses pengerjaan album Ephemeral Passage. Kami juga menanyakan rencana band ke depannya. Simak langsung di bawah ini.
Ceritakan proses pembuatan album mini Ephemeral Passage dari draft awal sampai resmi rilis!
Ekrig: Kami workshop di tahun 2023. Habis itu approach Lafa sebagai produser untuk nengahin. Baru dapat waktunya Lafa itu di Januari 2024, dan go with the flow aja. Memang dari Oktober 2023 Avhath dan KUNTARI udah clear. Jadi along the way memang gak ada kesusahan yang sampai sebegitunya karena masing-masing udah tau dan punya respect terhadap musik masing-masing.
Di setiap rilisan, Avhath selalu bekerja sama dengan produser lintas genre. Sebenarnya apa yang kalian cari dari kriteria produser terpilih?
Rey: Kalau misalnya kriteria produser lebih ke teknis. Kami tau dia adalah orang yang know what they’re doing. Jadi minimal secara teknis kami gak usah mikir orang yang kayak apa. Baru habis itu taste-nya. Kayaknya itu sih. Yang paling penting chemistry, cuma yang membuat kami tertarik adalah portofolionya. Gak tau kenapa ya. Kayaknya pas pertama kali pakai produser pun agak random juga. Yang menarik sih sebenarnya lebih ke ngasih warna lain di Avhath aja. Itu kalau point of view personal gue. Jadi kayak si Aldead, Remedy, dan Lafa, masing-masing punya karakter dan style-nya. In songwriting juga, karena mereka juga bantuin.
Setau gue Lafa belum pernah meng-handle band yang musiknya sekeras Avhath. Sejauh mana sih Lafa memberikan masukan untuk album mini Ephemeral Passage?
Ekrig: Kalau teknis sih udah pasti.
Rey: Layering gitar misalnya. Jadi sebelumnya mungkin gue sama Yudha kalau layer gitar suka-suka kami aja. Cuma pas sama Lafa lebih ke, “Eh Rey, lo ngambilnya yang di sini aja, Yudha ngambil yang di sini”.
Ekrig: Supaya spektrumnya bisa lebih wide.
Rey: Teknis juga sebenarnya. Ya, hal-hal kayak gitu sih yang kami juga sebenarnya baru pertama kali coba.
Ekrig: Yang membedakan produser karena beda teknis. Kalau ditanya alasan kenapa Lafa, sebelumnya gue juga belum pernah kenalan sama Lafa. Jadi, setelah gue approach si KUNTARI, kayak within the next week atau within that week gitu. Gue bilang ke Iksal (Harizal, manajer Avhath), “Kayaknya produsernya Lafa kali ya, seru tuh”. Gue bilang gitu. Itu sesimpel cuma kayak, “Kayaknya nih orang dalem deh” gitu. Karena karya-karyanya Lafa itu selalu mengutamakan rasa ketimbang teknisnya duluan. Maksud gue, kalau teknis canggih, semua orang juga pasti bisa ngulik dan semua orang pasti punya. Tapi kalau menggali dari rasa, itu kayaknya lo punya koneksi yang spesial ketika ketemu sama orangnya.
Dugaan gue ternyata benar, ketika gue kenalan sama Lafa. Ngobrol sama dia segala macam, dia tuh bukan kayak, “Lo nanti mau pakai ampli apa?” bukan kayak gitu. Kami workshop pertama sama Lafa ngobrol doang karena memang yang paling penting katanya dia tuh, “Ya, connection gue sama lo tuh di-build dulu aja, karena kita kan belum saling kenal”. Itu yang paling penting menurut dia. Tapi ternyata, along the way pas workshop dan rekaman, dia memberikan suggestion gak dari segi rasa doang, tapi segi teknis yang tadinya kami gak kepikiran, kayak layering gitar, atau misalnya vokal gue. Gue kadang-kadang suka ngasal aja direct-nya gitu, “Gue mau pakai guttural di sini, gue mau pake screeching di sini”. Padahal mungkin di lagu-lagu Ephemeral Passage itu gak ada yang cocok, akhirnya gue gak ada guttural sama sekali di Ephemeral Passage.
Bukan semata-mata dia membatasi, cuma balik lagi, kalau misalnya gue melakukan itu, nanti pesan yang gue sampaikan rasanya gak akan dapat. Jadi bukan teknis doang kami pilih Lafa, tapi memang kami yakin nih orang bisa nge-deliver apa yang memang kami ingin narasikan dan memang nih orang beneran into sama si karya yang lagi kami bangun bareng.
Setelah bekerja sama dengan Lafa, sejauh apa dia membuat kalian merasa menjadi musisi yang lebih baik?
Yudha: Kayak tadi yang udah di-mention, secara teknis gue lumayan banyak belajar dari pengalaman kami rekaman dan workshop bareng. Penulisan lagu juga, banyak input dari dia yang menurut gue baru, sebelumnya belum pernah kepikiran untuk diterapkan.
Rey: Kayaknya kalau gue lebih banyak belajar teknis. Mungkin justru malah membuat gue jadi pengin produserin next release karena kayak inspired kerja bareng sama Lafa. Begitupun sama Remedy dan Aldead. Kayaknya mungkin next release saatnya back to the roots kali ya atau yang lebih classic Avhath.
Ekrig: Classic Avhath, tapi dengan knowledge yang udah kami dapetin dari beberapa produser yang pernah kami kerja sama. Kalau gue sih kesan yang gue dapetin selama kerja sama Lafa lebih personal. Maksudnya untuk teknis, iya gue perhatiin di gitar atau drum. Dia punya approach yang tadinya kami pun mungkin gak kepikiran. Tapi jadinya gue malah berteman baik gitu sama dia. Obrolan-obrolan gue soal musik itu malah jadi lebih widen lagi. Sesimpel tadinya tuh gue orangnya insecure banget, ketika kami mau rilis sesuatu itu gue pasti ada ketakutan sendiri, “Gimana ya kalau misalnya nanti orang-orang gak dengerin atau apa”. Tapi si Lafa ngasih wejangan ke gue, “Ki, kalau misalnya lo takut kayak gitu, mendingan gak usah dirilis. Karena ketika dirilis itu udah bukan punya lo lagi, jadi lo gak harus pusing soal itu”. Dia bilang gitu. Itu buka perspektif gue. Kalau berkarya, itu punya gue cuma sampai ketika itu dirilis aja. Yang tadinya gue gak kepikiran soal itu, tapi jadinya perspektif baru buat gue.
Indra kan gak ikut proses workshop dan rekaman. Tapi sekarang pasti belajar untuk memainkan lagunya, lo merasa ada yang beda gak secara bagan dan aransemen?
Indra: Telak. Dalam artian yang dibahas Ekrig soal rasa, dapat tuh. Ekrig tadi bilang kan kenapa dia bilang Lafa karena rasa gitu. Gue menangkapnya kayak, awalnya yang gue tau (gaya musik) Avhath tuh style-nya “liminal end”. Tapi setelah dengerin “to my disquiet”, “A Threnody”, terutama “TRAVERSAL”, bisa ya kayak gini ya dan tetap pecah. Rey pernah ngomong rilisan Avhath favorit dia adalah yang saat itu dirilis. Jadi ya saat (rilis album mini) Avhath Rites, bagi Rey karya terkerennya Avhath ya itu, pas “Felo De Se”, ya “Felo De Se”. Pas ngerasain, “Anjir, benar kata Rey”. Gue jadi lebih terbuka perspektif baru.
Awalnya tuh kan, ya ini gue blak-blakan aja ya. Pas gue dengar demo, “Anjir, ‘liminal end’ doang nih yang gue nangkep, yang lain kayak apaan nih ye?”. Tapi gue dengerin setiap hari, kulik, anjir pecah semua. Menurut gue gitu ya. Kayak ada satu momen, di minggu ini gue demen banget “TRAVERSAL”. Tau-tau minggu depan gue demen banget “A Threnody” nih. Terakhir-terakhir gue lagi demen-demennya “to my disquiet”.
Kalau susah belajarnya, gak. Karena (tempo) pelan sekarang [tertawa]. Paling susah itu kan “liminal end”. Jadi kalau itu udah gue nailed, yang lain gampang. Tapi itu menurut gue ya. Speed wise beda cuma tetap kencang, heavy, megah gitu. Mungkin klisenya gue tambah nge-fans aja sama teman-teman gue.
Bagaimana perkenalan Avhath dan KUNTARI sampai akhirnya merilis karya bersama?
Rey: Sebenarnya, kalau gue tau Tesla dari zaman dia jazz-jazz-an. Cuma tau-tau aja, belum kenal. Jadi gue ngebayanginnya mungkin kayak Ekrig ke Lafa ya, kayaknya dia orangnya dalem juga. Gue mikir gitu ke Tesla soalnya pasti ada alasannya kenapa dia banting setir tuh dari musisi jazz ke musisi eksperimental. Jadi kayak ekspektasi gue sih, “Anjir, nih orang kayaknya jenius deh”. Dan pas pertama kali ketemu sama dia, iya benar.
Mungkin salah satu yang membuat kami cocok juga adalah cara kami melakukan songwriting. Jadi pas workshop tuh somehow smooth gitu. Biasa kan orang mungkin ada yang kayak, kalau bikin lagu misalnya bagannya dulu. Cuma kalau Avhath tuh bikin lagu suka-suka kami. Nah KUNTARI juga ternyata mirip-mirip kayak gitu. Lebih ke rasa, vibe, dan feel pada saat itu kayak apa. Bahkan ada beberapa lagu yang kami gak pakai ya dari workshop itu, 2 lagu mungkin karena pada saat itu yang kekulik sekitar 5 terus 2 gak kepakai. Akhirnya, kami bikin lagi baru. Jadilah yang sekarang album mini ini.
Ekrig: Kesan pertamanya sih gue gak mikir macam-macam. Lebih ke excited aja karena nih orang kayaknya nyebrang banget aja [tertawa]. Dan memang itu salah satu alasan yang penguin dituju juga ketika kepikiran KUNTARI untuk diajak collab, pengin nyebrang.
Rey: Gue malah deg-degan kayak, “Studionya proper gak ya?” [tertawa]. Karena kan kami yang nge-host. Dia datang jauh-jauh dari Bandung, terus habis itu sebenarnya studionya memang kolektif gitu kan, namanya Studioland. Kami memang tergabung di situ, punyanya Ratta (Bill Abaggi) dari Bedchamber dan Glyph Talk.
Ekrig: Kalau gue lebih ke excited. Maksudnya kayak, jadi yang tadinya excitement gue gimana lagunya nanti akan jadi, dan ketika jadi, gimana lagu ini memberikan impact ke pendengarnya atau gimana lagu-lagu ini membawa Avhath dan KUNTARI ke mana, apalagi yang bisa di-explore dari project ini.
Yudha: Baik Lafa maupun Tesla gue sebelum ada project ini gak kenal juga. Ya gue pribadi sempat kayak, “Wah belum kenal nih, semoga klop nih secara chemistry”. Bisa dibilang untungnya melewati ekspektasi sih. Tesla menurut gue juga kenapa kerja sama dia karena idenya bagus. Kayaknya dia gak melihat musik dari sudut pandang yang sama kayak kami gitu. Itu bisa kasih impact yang bagus dalam hal kolaborasi. Kami bisa dapat input yang benar-benar beyond dan terjawab di Ephemeral Passage ini.
Ekrig: Untungnya ini sih, gue baru ingat juga. Si Tesla itu ketika compose si Ephemeral Passage ini, dia gak mau sekadar bunyi-bunyian yang dia hadirkan itu just for the sake of keren doang. Kayak memang udah ada reason-nya itu ada di situ. Itu yang kayak tadi si Rey bilang, memang orangnya dalem juga. Gak cuma bikin musik doang aja gitu.
Rey: Yang gue senang banget, Tesla sama Lafa humble banget. Jadi kayak kami benar-benar merasa bareng bikinnya. Bukan yang kayak, “Gue udah bagian gue ya, sekarang bagian lo”. Gak kayak gitu. Jadi chemistry-nya nyambung banget semua. Kebetulan Tesla sama Lafa kenal udah dari lama di Bandung, dari zaman jazz-jazz-an dulu. Kalau lo baca liner notes-nya Lafa, Ephemeral Passage nih sebenarnya ajang silaturahmi antara Lafa, Tesla, sama Avhath. Jadi ya gitu sih, yang sebenar-benarnya.
Indra: Kalau gue tau Tesla Manaf itu justru dari skena noise. Itu adalah skena di mana dengan lagu-lagu tidak bernada.
Yudha: Not balok dicoret [tertawa].
Indra: Gue memang suka sama skena dan area musik tersebut. Tapi karena memang gue gak ngerti apa-apa, gue cuma jadi penikmat aja. Terus gue melihat, wah Tesla bikin KUNTARI nih, lagi-lagi makin gak bernada nih. Terus gue juga tau dia pernah kolaborasi sama Ssslothhh, dan tiba-tiba Avhath mau sama KUNTARI. Wah mau kayak apaan nih. Tapi setelah gue jalanin, ya gokil aja sih. Memang orang-orang beyond. Mungkin leluhurnya yang bikin piramida Mesir kayaknya [tertawa] atau reinkarnasinya tau gak lo, mungkin keturunan pharaoh.
Tapi uniknya gitu, benar kata Rey. Ngobrol UFC nyambung, ngobrol apa nyambung. Tapi kan harusnya menurut gue orang yang beyond di daerah tersebut harusnya socially distance, ngerti gak lo? Ini super unik. Gue grateful aja sih sama experience ini.
Out of topic. Tapi gara-gara lagi dibahas, gue juga punya pengalaman kaget lihat Tesla nonton UFC di sebuah festival.
Ekrig: Itu obrolan gue di mobil, otw workshop pertama tuh. Ya dia ternyata suka UFC, gue lagi nonton juga. Ya dia cerita-cerita lah. Dia bukan sekadar UFC doang, tapi dia suka seni bela diri katanya dari komik Kungfu Boy (Ironfist Chinmi).
Rey: Oh, cocok sama Indra.
Indra: Gue juga pernah ngobrol sama dia, kalau Chinmi kan general. Ini ada yang super obscure gitu. Namanya Kenji, dan dia nyambung. Itu komik bela diri yang lebih f*cked up lagi tuh.
Makanya untuk orang-orang kayak gitu, tapi ngobrol nyambung, apa-apa have fun, maksudnya socially kami connect, itu sangat grateful for this experience.
Serumit apa Avhath menyatukan karakter dengan KUNTARI secara teknis bermusik?
Ekrig: Sebenarnya kalau pertanyaan teknis, kaminya gak ribet, Lafanya mungkin ribet tuh kayaknya [tertawa]. Karena kan memang karakter KUNTARI udah kuat lah, musiknya KUNTARI kayak gitu. Avhath juga udah punya warnanya sendiri. Memang kalau soal teknis yang ribet harusnya si produsernya karena kami bikin lagu. Masalah mengatur frekuensi udah urusan produser. Ya meskipun dari kami juga ada input segala macam. Kayaknya tantangan terbesar soal teknis itu adanya di Lafa. Kalau dari kami, kayaknya smooth-smooth aja ya.
Yudha: Mungkin kalau dari kami sama KUNTARI gak terlalu seribet itu nyatuinnya karena mungkin udah sama-sama sadar untuk ngasih ruang masing-masing kali. Bisa dibilang masing-masing udah nurunin ego karena sama-sama sadar ini project bareng-bareng. Mungkin karena itu jadi gak terlalu ribet nyatuinnya. Ya benar, Lafa yang mungkin agak sedikit ribet.
Memilih Yopie ‘Berawalp’ untuk mengerjakan artwork album ini. Apakah penggarapan bentuk visualisasinya langsung sesuai dengan apa yang diharapkan?
Rey: Kalibrasi pasti ada sih. Maksudnya gak yang kami kasih brief terus tiba-tiba keluar kayak, deng jadi “Oh ya kita udah suka”. Pasti ada kalibrasi lah di sana.
Ekrig: Tapi gak banyak karena si Yopie itu gue brief-nya cuma, “Bang, ini dengerin aja dulu lagu-lagunya, demo-demonya. Nih gue kasih liriknya. Selamin dulu, nanti minggu depan atau kapanpun Abang udah siap, ayo ngobrol”. Ya udah terus seminggu setelahnya dia ngobrol, “Bang, aku coba-coba sketch ya”. Dari sketch awal pun juga udah suka sebenarnya. Cuma dari situ ada minor tweak yang juga sebenarnya dari kami cuma kayak, “Bang, karena ini Ephemeral Passage. Jadi mungkin rada berbentuk suatu jalan atau arah gitu”. Tapi itu doang. Dan hasil akhir lukisannya sih gue sangat-sangat puas karena penuh filosofi dari dianya sendiri. Pemilihan warna juga gue suka karena memang masih ada cirinya Avhath di merah, tapi itu gak dominan.
View this post on Instagram
Gue gak tau ya. Selama ngerjain project Ephemeral Passage dari awal sampai akhir yang gue tangkap, ini kayaknya semua adalah orang-orang yang tepat karena si Yopie pun gue melihat berangkatnya dari rasa apa yang dia dengerin ketika gue ngasih demo. Dia baca liriknya, dia nge-translate-nya melalui gambar yang filosofis. Jadi hasilnya pun hampir gak ada revisi, langsung klik aja.
Rey: Tapi ada fun fact juga. Sebenarnya artwork kami tuh awalnya mau dibikin sama satu artist dari Kanada. Cuma entah kenapa, pas udah dekat-dekat deadline dia mulai gak responsif gitu, dan akhirnya kami harus decide buat kayak gak pakai dia. Terus kami cari Yopie. Jadi kayaknya perjalanan sampai ketemu sama Yopie pun ada alurnya juga ke sana.
Ekrig: Dan akhirnya dipertemukannya ya gara-gara takdir emang, “Orangnya bukan itu, yang ini”.
Waktu itu gara-gara melihat karyanya Yopie yang mana sampai akhirnya tertarik?
Ekrig: Gue follow dia di Instagram udah lumayan lama. Terus ada satu lukisannya dia yang gue personally pas ngelihat suka gitu. Jadi ada lukisan cewek gitu. Kayaknya dia emang ciri khasnya di situ deh. Gue gak tau filosofinya apa, tapi mata tuh selalu jadi objek yang dia kasih something gitu. Gue suka banget. Tapi ini sebelum ada ide ini ya.
View this post on Instagram
Gimana kalau sigil yang dia buat untuk Avhath di album ini?
Ekrig: Tadinya tuh belum ada commision soal sigil. Cuma gue tau memang si Yopie ini sigil practitioner kan. Terus kebetulan CD Ephemeral Passage mau dirilis sama Lawless Records dan Grimloc, akan keluar kayaknya 2 mingguan lagi. Si Arian ngide, “Nih buat CD-nya butuh elemen apa lagi ya? Kalau sigil aja gimana?”. Gue langsung ingat Yopie sigil practitioner. Ya udah gue coba konsultasi lah sama dia. Terus dia bikinin, yang gue baru tau itu adalah sigil itu bentuk dari akumulasi doa yang mau lo capai. Istilahnya gitu. Dia nanya, “Abang mau doanya apa?”. Gue kagak tau kan, gue sama sekali gak paham lah gitu-gituan. Terus ditanyain, “KUNTARI terbentuknya kapan? Avhath terbentuknya kapan? Aku rumusin dulu”. Ya kayak semua doanya tuh ada di situ. Even si border-nya pun juga bermakna. Jadi si sigil ini istilahnya kayak lebih di-breakdown lagi, akhirnya jadi si border ini.
Indra: Pokoknya philosophical lah. Tidak asal-asal aja.
Ekrig: Sama kayak Tesla tadi, naro bunyi-bunyian itu berdasarkan maksudnya apaan. Ya si Yopie pun juga kayak gitu.
Sukses dalam bermusik memiliki banyak bentuk. Bagaimana kalian melihat kesuksesan dan kegagalan Avhath selama ini?
Rey: As long as itu fun kayaknya udah sukses menurut kami. Jadi memang kami tau kapasitasnya Avhath segimana. Saat ini sih kami masih melihat mungkin Avhath agak sulit buat kami jadiin mata pencaharian karena segmented banget.
Ekrig: Industri di sini juga kayaknya masih belum untuk di jalur musik yang seperti kami.
Rey: Karena even kalau misalnya Avhath metal pun, metal juga banyak. Gak bisa potong rata metal. Ada pasarnya sendiri. Memang ada, cuma Avhath tuh ya lebih segmented lagi. Cuma kami senangnya adalah bikin musik yang kami semua senang aja sih. Gak ada paksaan, dorongan, memang didasari dengan friendship.
Ekrig: Selama masih berjalan, kayaknya itu sukses versi kami. Kalau kegagalannya apa ya?
Rey: Gak pernah merasa gagal sih. Maksudnya ya lo udah melihat ini sebagai pertemanan gitu, apakah lo pernah melihat kegagalan dalam pertemanan? Mungkin kalau misalnya lo udah gak berteman lagi. Cuma kami di sini masih kompak kan.
Ekrig: “Kompak” [tertawa]. Udah lama banget gak denger kata itu.
Indra: Mungkin gak ada pergantian personel, yang ada nambah. Itu mungkin kan kategori kesuksesan menurut kami yang variabelnya pertemanan itu. Gak pernah ada berantem, selek gitu-gitu loh. Jadi kategorinya ya belum pernah gagal lah. Mungkin gagal ketika ada yang tampol-tampolan atau gimana gitu. Kesuksesannya adalah sampai di satu titik itu hal yang memungkinkan, tapi bertahan di titik tersebut dalam sebuah konsistensi adalah satu kesuksesan tersendiri.
Yudha: Kayaknya memang dari awal terbentuk targetnya gak jauh-jauh banget. Benar, fun aja. Kalau memang pas sambil jalan ternyata bisa sejauh ini karena kami memang keep pushing aja. Gak yang merasa cukup, bisa dikulik ke mana lagi nih. Jadinya gak stuck di situ aja. Tetap mendorong dan mendobrak. Tapi, ya intinya fun itu harus ada. Selama fun itu ada, kami baik-baik saja.
Penjualan merchandise Avhath melalui rumah kalian sendiri, Pure Evil Merch laris manis. Apakah tanpa banyak manggung hal ini membuktikan bahwa bisa hidup dari musik dengan berjualan merch?
Ekrig: Untuk hidup personal mungkin gak, tapi mungkin untuk hidup band-nya Alhamdulillah bisa.
Rey: Benar. At least latihan bisa gak bayar.
Ekrig: Bisa reimburse [tertawa].
Rey: Kalau dulu kan latihan patungan. Apa lagi studio sekarang mahal banget. Kayaknya sekarang kalau patungan agak malas sih ya.
Sebutan penggemar Avhath, Sardonic Club. Bagaimana cerita fanbase ini berdiri dan proses komunikasi kalian dengan mereka?
Ekrig: Berdirinya karena si Iksal bilang, “Kayaknya memang perlu wadah untuk satu fanbase gitu”. Untuk nyatuin aja sih sebenarnya yang interest-nya sama. Terus komunikasinya sih, waktu itu pas lagi pandemi atau post-pandemi gitu.
Rey: Even pas pandemi kami ada nonton bareng gitu-gitu.
Ekrig: Pokoknya pas pandemi kami kayak adain nonton bareng, Netflix party, nonton horor bareng tiap minggu. Terus habis pandemi selesai, jalan biasa lagi. Iksal ngide kayak gitu, ya udah sign-up Discord. Semua yang tadinya nonton bareng pas pandemi masuk buat ngobrol-ngobrol. So far sih masih ngobrol di situ. Terus Broadcast Chat-nya Avhath di Instagram, ya gitu sih.
Rey: Dan organik semua kan itu.
Ekrig: Memang kayak even account-nya mereka sendiri yang pegang. Jadi gak ada direction dari kami. Cuma kalau misalnya habis manggung, dapat link Google Drive dari fotografer, kami share ke mereka. Kali-kali ada muka mereka di situ.
Apa rencana dan harapan Avhath ke depan bersama album Ephemeral Passage?
Rey: Gue lagi menikmati hasilnya aja kali ya. Setelah proses berkarya, hopefully sih pasti memang pengin dipanggungin juga karena kemarin pas main di Lawless (Fest) seru banget. Ngeband bareng KUNTARI tuh berasa natural banget. Kami gak merasa kayak ada orang asing gitu di panggung. Jadi fun banget.
Ya hopefully kayak misalnya bisa tembus ke festival. Jadi lumayan sajian kolaborasi yang menurut gue cukup menarik. Kayaknya orang yang gak dengerin metal pun menurut gue bisa menikmati. Mungkin harapan gue itu aja kali ya, lebih sering manggung.
Ekrig: Kalau gue sih harapan in general-nya bisa bawa album ini dipertontonkan ke publik lebih sering. Tapi kalau harapan pribadi, semoga albumnya ber-impact positif aja ke semua orang yang mendengarkan.
Kalau rencananya nanti ada CD dan live session di YouTube. Kalau Avhath memang langganan bikin live session ya karena merasa musik kami segmented kayak yang tadi si Rey bilang. Kami pengin tuh mungkin kalau segmented celahnya itu susah atau jarang ditemukan, ya udah mendingan kami bikin sendiri. Kami presentasikan kalau manggung kayak gimana, makanya sering bikin live session.
Kalau CD-nya itu nanti rencananya co-released si Lawless Jakarta Records sama Grimloc Records. CD-nya bakal puas banget sebenarnya kalau misalnya memang lo kolektor CD karena booklet-nya tuh penuh dan tebal banget. Itu isinya ada bacaan, liner notes dari Lafa dan salah satu member Sardonic Club. Terus ada producer’s note dari Lafa, terus Arian 13 interview kami. Ada foto-foto pas pertama kali kami workshop dan rekaman sama KUNTARI, ada foto-foto kami main ke studionya KUNTARI di Bandung. Itu ada semua di situ. Hopefully sih CD-nya another experience lagi untuk menikmati albumnya.
Indra: Harapan gue tur Amerika. Habis itu yang lain pulang, gue gak.
Yudha: Sama sih gue juga pengin tur Ephemeral Passage. KUNTARI sama kaminya full set, keliling Jawa mungkin ending-nya di Bali, atau bisa lebih jauh lagi. Itu sih, showcase dan tur.
Indra: Maksudnya kan kami travelling berlima ini udah gak bisa dihitung lah. Mau lagi plesiran, kondisi manggung, mau nyobain sama yang modelan Tesla tuh, ngehabisin 24 jam bareng, satu ruangan sama dia kayak gimana, penasaran aja.
Rey: Ngomongin live session, gue jadi kepikiran sesuatu soal Ephemeral Passage buat personal gue. Kalau gak salah gue pernah ngobrol sama Arian atau Ricky gitu. Mereka sempat bilang, zaman-zaman pandemi itu kan Seringai salah satu yang paling anti live session karena gak seru, manggung gak ada yang nonton gitu kan. Tapi kalau Avhath tuh, justru kalau gue melihatnya, gue manggung tuh lebih ke buat gue sendiri. Kayak lo nonton toe deh atau lo nonton yang tipenya cuma kayak mereka doang, hadap-hadapan, penontonnya bahkan gak dihirauin sama mereka gitu. Gue mikirnya pas ngeband sama Avhath kayak gitu.
Cuma pas lagi di Ephemeral Passage, somehow gue pengin menyajikan ini justru ke lebih banyak audience. Gak tau kenapa ya, kayaknya something yang gue proud of dan gue rasa ini orang yang gak dengerin metal atau awam banget, lo dengerin aja dulu deh. Gak usah suka, tapi lo dengerin dulu. Itu kayaknya baru kali ini doang gue merasa kayak ingin membagikan ini ke banyak orang. Padahal sebelumnya gue cuek aja, gue udah senang sama single-nya atau apa pun itu, kayak udah cukup. Cuma sekarang kayaknya kalau gak di-share tuh gak cukup, entah kenapa ya.
Ekrig: Karena banyak pesannya, jiah. Ya itu tadi, kayak si Yopie pun banyak filosofinya. Kalau memang lo doyan mencari tau, ini sebenarnya album yang banyak banget lo bisa menemukan hal-hal yang mungkin pas first listen lo gak temuin atau mungkin nanti pas udah ada CD-nya. Ketika lihat artwork-nya secara digital gak relate, tapi pas lo pegang artwork-nya baru relate. Kayaknya nih sesuatu yang personal dan dalam sih si album ini.
Rey: Milestone sih somehow. Gue merasanya setelah EP ini tuh kayak Avhath nih udah Avhath yang baru gitu. Gak tau ya, gue merasa ada itunya aja.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Fazan Menyelami Kehidupan Manusia Lewat Single Kisah Kecil Kita
Band indie pop asal Jogja, Fazan merilis single terbaru berjudul “Kisah Kecil Kita” (01/01). Band yang terbentuk 2008 ini terdiri dari Raushan Fikrillah (vokal, kibor, gitar), Ariful Hikam (gitar), dan Indra Lee …
Gebrakan Musik Pop Klasik ala TERASOMA di Album Mini Merekah
Setelah merilis sejumlah single lepasan, TERASOMA asal Bekasi menghadirkan album mini perdana bertajuk Merekah tanggal 22 Desember 2024. Band yang mengusung gaya musik pop alternatif ini beranggotakan Agung Fajarrianto (vokal), Caroline Pricilia …