Wawancara Hursa: Pembersihan Diri Tidak Main-Main
Band ini mudah ditebak. Menarik nama dari judul sebuah buku kompilasi puisi, lirik pelit nan misterius dengan tuju multitafsir, juga selipan desain sampul penuh detail dan pemaknaan tajam, Hursa sangat punya peluang untuk dilewatkan dan jadi membosankan.
Bersandar pada data, sosial media mereka digeluti individu rentang usia 25-34, dominannya. Dengan anak-pinak kaum adam yang menguasai porsi dengan nyaris 80%. Begini, untuk band yang personilnya laki-laki, jelas ini mimpi buruk. Peluang ngeceng mereka terpaksa harus lewat jalur kolaborasi dengan puan. Ah, barangkali itu alasan mereka melibatkan Neida di album terbaru mereka, Katarsis? Konspirasi menggelitik.
Soal Katarsis, rilisan teranyar Hursa, tak perlu jadi kerabat mereka untuk tau bahwa album ini adalah karya yang amat personal bagi keempat personel Hursa. Dalam 10 nomor yang berderet di dalamnya, ada buah pemikiran, pengalaman, hingga perasaan yang disajikan. Segala sisi disapa, bicara soal pribadi, keluarga, pasangan, pekerjaan, mimpi, dan hal-hal lainnya, mereka mampu. Wawancara ini bersifat mengenalkan. Unik tindak-tanduk dan sepak terjang para punggawa, serta nilai dan makna karya yang mereka usung.
Gala, sang vokalis, berkeringat seni, nafasnya puisi, sosoknya tetap manusia. Bukan tipe orang kreatif yang saya kira akan menarik hela nafas panjang sebelum bicara, mendikte dengan 1001 pengalaman keras hidup, dan mencakar-cakar dengan matanya. Gala Yudhatama, sosok yang pita suaranya dipinjam oleh Hursa dalam karya-karya mereka bak manusia biasa saat ditemui. Tak terlampau menyebalkan dibalik kegemarannya pada seni yang sejatinya penuh. Satu poin diamankan, pertanyaan masih mampu dijawab dengan lugas, seolah tau porsinya. Bukan sedang meniti lirik, sedang menjawab pertanyaan wawancara. Bagus!
Pandji menenteng kamera. Sedang membuat konten saat ditemui waktu itu. Modal bagus untuk band ini, pikir saya. Ya, kalau disaksikan, mereka cukup aktif melakukan aktivasi di YouTube. Tak heran kalau Pandji terbiasa. Gerak yang diambil malam itu dijadikan materi Instagram pribadinya saya rasa. Narsis juga beliau. Tapi porsinya pas. Tidak mengganggu. Harus begitu. Pandji dewasa secara pemikiran. Punya visi dan misi yang jelas. Suatu waktu saya iseng berkoar bahwa Pandji-lah sosok yang paling perfeksionis dalam band ini. Tawa merebak, Gala mengamini.
Hursa datang berdua malam itu. Dua personil lainnya, Irvan dan Goldy, berhalangan.
Sekilas tentang album mereka, “Hursa, Hursa” itu pembuka yang optimistik. Ya, namanya juga awal, mood yang disusun masih penuh semangat. Manusiawi. Mau dan berharap yang baik-baik. Mustahil, tapi masih diharapkan. Awalan yang khusyuk. Mereka berdoa dalam kebisingan metropolis. Trek dengan Neida mereka pasang di posisi kedua, mengikat mereka yang sudah mampir, kuda terlanjur disiapkan, pendengar dipersilakan naik. Lajunya santai, mengelus yang takut, membuat nyaman telinga baru. Strategi pintar. Eksekusinya lancar. Trek selanjutnya. Singkat saja. Saya pernah memasang “Ruang Tanpa Jenjang” barangkali lebih dari jumlah jari tangan terus-menerus tanpa henti. Favorit.
Soal Katarsis, rilisan teranyar Hursa, tak perlu jadi kerabat mereka untuk tau bahwa album ini adalah karya yang amat personal bagi keempat personil Hursa
Bobby sang manajer bukan orang asing, saya diberi akses lebih dulu ke dokumen audio mereka, saat memutar “Heylaa”, rasanya seperti kuda sedang hilang kendali. Nyaris jatuh. Shock merambah. Tapi degup jantung kembali diatur, harus sampai ke ujung, pikir penunggang dan si kuda. Pelan-pelan. Sangat yakin. Lagu ini favorit kedua setelah “Ruang Tanpa Jenjang”. “Dan Seterusnya” itu keberanian yang agak tengsin. Mulai main cepat tapi malu-malu. Secara analogi kuda, proses menemukan ritme. Secara musikalitas, jeda pariwara yang ditubuhkan. Lagi-lagi, untuk mengatur nafas.
“Kabung” sama seperti “Ruang Tanpa Jenjang”. Saya pernah kecanduan. “Di Banyu Biru, Di Tatapmu Abu” agak bodo amat saya rasa. Banyak unsur yang ditabrakan. Menarik. Memberi warna pada album ini. “Lara Cita” lebih di atas angin. Sudah punya taji di trek sebelumnya, lebih lepas di sini. Pamer sekali, hey! Iya, Hursa, kamu tidak membosankan. Kamu punya kejutan. Baik. “Rumangsa” bersama Sri Hanuraga itu indah. Mendeskripsikan band ini apabila diminta memperkenalkannya dalam 4 menit 31 detik. Dan untuk “Terima Kasih”, saya mengucap terima kasih. Proses selesai. Dipersilakan geser ke petualangan selanjutnya.
Gala, sang vokalis, berkeringat seni, nafasnya puisi, sosoknya tetap manusia. Bukan tipe orang kreatif yang akan menarik hela nafas panjang sebelum bicara, mendikte dengan 1001 pengalaman keras hidup, dan mencakar-cakar dengan matanya
Saat wawancara ini dilakukan, pertanyaan menyasar ke berbagai hal umum dan detail. Masih mengulik seputar dasar permukaan band ini. Siapa mereka dan apa-apa saja yang telah mereka kerjakan. Referensi ini dan itu serta kondisi dan daya tarik yang mereka tawarkan. Trivia dasar seputar rilisan mereka sampai ke yang agak personal. Murni iseng. Ingin kalian juga tahu lebih jauh tentang band ini.
Gue cukup menggemari puisi. Pun beberapa karya Simon Hate. Nama Hursa diambil dari judul buku kumpulan puisi Simon Hate, betul? Sewaktu kalian nongkrong di rumah Gala. Gala memang suka Simon Hate secara personal?
Gala: Goks! Kalau Simon Hate, bukan suka sih, tapi waktu peluncuran bukunya itu, gue diundang. Bokap emang penulis dan satu kumpulan lah sama Simon Hate. Makanya pas rilis, peluncuran bukunya itu, bokap diundang dan gue diajak. Kebetulan gue juga suka bukunya ya. Suka baca puisi. Udah, berangkat dari situ tau Om Simon Hate-nya.
Sampul buku Hursa itu kuda, kan? Kalian mengimplementasikan Kuda pun sebegitunya di sosial media kalian. Secara emoji.
Pandji: Eh tapi lucunya adalah, gue gak tau ini juga kode semesta atau bukan atau cuma gak sengaja aja. Karena lucunya pas hari itu kita ngumpul, ada materi tapi gak ada nama bandnya kan. Kelar itu kita makan di warteg depan rumahnya Gala. Di warteg itu ada lukisan kuda. Ini kuda kuda di hari yang sama nih. Jangan-jangan? Makanya jadi simbolis.
“Kalau Simon Hate, bukan suka sih, tapi waktu peluncuran bukunya itu, gue diundang. Bokap emang penulis dan satu kumpulan lah sama Simon Hate. Makanya pas rilis, peluncuran bukunya itu, bokap diundang dan gue diajak”
Simon Hate tau kehadiran kalian sebagai sebuah band?
Gala: Gak tau [tertawa].
Pandji: Izin ya, Om.
Hursa. Bagaimana rasanya diulas Bimbim (Slank)? (Karya Hursa pernah diulas oleh Bimbim; di kanal YouTube yang bersangkutan!)
Pandji: Kalau gue deg-deg-an. Kaget kan pas itu masuk di kontennya itu kan. Konten review musik. Ya gue senang. Deg-deg-an juga. Penonton konten itu setidaknya masuk atau hobinya musik juga. Gak meleset lah. Gue senang banget. Senang banget. Tapi mungkin gue rasa beliau juga, “Nih apa sih nih musik?”
Gala: Gue senangnya ada tapi gak ekspektasi apa-apa, gitu. Bimbim terkesan dengan musik Hursa, enggak. Ya, sekate-kate lo aja Om [tertawa].
Obrolan kami memutar ke bagaimana Hursa menyiapkan strateginya sedemikian rupa sampai bebunyian mereka bisa menyapa gendang telinga Bimbim. Lekas juga beberapa pencapaian promosional yang disiapkan sedemikian rupa untuk mendorong karya mereka. Pandji membeberkan dapur Hursa. Apa yang mereka biasanya pikirkan sebelum melangkah. Kesimpulan didapat: Hursa tidak main-main dalam bermain musik. Tindak sebegitu monumentalnya. Sangat dipertimbangkan.
Hursa well-prepared sekali. Banyak orang perfeksionis ya di band ini?
Pandji: [Tertawa!]
Gala: Lebih ke takut kejeblos aja sih. Khususnya perkara budget. Harus hemat-hemat. Takut buang tenaga, buang waktu.
Basic-nya, untuk sementara ini ya, karena semuanya musisi. Kita bermusik untuk hidup. Gak ada kerjaan lain di luar musik. Mengerjakan sebuah proyek pun. Pengertiannya dikerjakan untuk menghasilkan. Pengennya gak melihat ini sebagai band doang. Tapi sebagai sebuah perusahaan.
Main-mainnya Hursa gak main-main, ya?
Gala: [Tertawa] Ya, gitu!
Pandji: Iya, jangan main-main banget deh! [tertawa].
Gala: Basic-nya, untuk sementara ini ya, karena semuanya musisi. Kita bermusik untuk hidup. Gak ada kerjaan lain di luar musik. Mengerjakan sebuah proyek pun. Pengertiannya dikerjakan untuk menghasilkan. Pengennya gak melihat ini sebagai band doang. Tapi sebagai sebuah perusahaan.
Sebelum bahas Katarsis, coba rekap perjalanan kalian dari lahir sampai Katarsis lahir!
Pandji: 2016, gue dan Irvan menggagas sebuah band. Mencari personel lain. Gak sengaja satu proyek sama Gala. Akhirnya coba. Workshop bareng. Akhirnya ketemu formula baru. Gala sebagai vokalis ber-keyboard. Ada drummer dulu, tapi dia cabut, akhirnya ketemu Goldy. Workshop, rilis, manggung pertama di Maret 2019, di Kios Ojo Keos. Setelah itu rilis album, single, dan singkatnya sampai di Katarsis.
Kalau sebagai individu?
Pandji : Kalau gue, karena session di Kunto juga, paling kerumitannya adalah momen untuk bikin lagunya. Jarang-jarang. Cari mood-nya susah. Itu aja sih. Gak ada yang tabrakan banget.
Gala: Awal Hursa ada, gue masih kuliah. Kalau anak-anak gak bisa workshop karena kegiatan bermusik, gue hampir gak pernah. Gue sempat main teater. Latihan beberapa minggu. “Ruai” rilis bersamaan dengan gue sidang skripsi. Gue sempat mikir gue harus selesai dulu baru bermusik, atau gimana? Gue pengen ngejar juga nih. Pengen jadi musisi. Hal lain yang harus gue korbankan ya kelas, nilai, dan lain-lain. Tapi sisi lain, gue takut melewatkan kesempatan. Yaudah, gue barengin aja. Kuliah agak lama sedikit tapi gak apa-apa. Ya, setelah wisuda, lebih kosong lagi jadwalnya [tertawa].
“Kalau gue, karena session di Kunto juga, paling kerumitannya adalah momen untuk bikin lagunya. Jarang-jarang. Cari mood-nya susah. Itu aja sih. Gak ada yang tabrakan banget.”
Pandemi gini, gak bisa manggung, kenapa merilis album sih?
Pandji: Kebutuhan sih kalau ini. Gue rasa yang dengar hanya lingkaran-lingkaran terdekat.
Gala: Supaya lebih dikenal.
Emang kalian ingin seterkenal apa?
Pandji: Ya, banget lah! [tertawa]. Canda. Targetnya sih untuk menghidupi.
Menggunakan diksi yang demikian dan bebunyian yang asing pula. Kontradiksi dengan keinginan kalian untuk terkenal, bukan?
Pandji: Gue mengamini sekali Efek Rumah Kaca. Idealis kita gak akan 100% juga. Banyak juga lagu-lagu yang umum. Kalau kita bicara teknis, suatu saat juga kita akan mentok dan masuk ke standar umumnya.
Gala: Buat gue idealis Hursa masih bisa diterima orang sih. Tetap ada idealismenya, ada Hursa-nya tapi bisa lo terima.
Okay. Menarik. Menutup, coba lanjutin pernyataan ini deh. Karena Hursa, kami jadi…
Pandji: Karena Hursa, kami jadi punya tanggung jawab yang lebih besar.
Gala: Karena Hursa, kami jadi punya dua album.
Karena Hursa, gue jadi…
Gala: Kalau gue, karena Hursa, gue jadi dikenal lebih banyak musisi. Sepele, tapi achievement.
Pandji: Kalau gue, karena Hursa, gue jadi punya sebuah band yang positioningnya tepat. Karena Hursa!
Karena Katarsis, kami jadi…
Pandji: Haa! Haha. Karena Katarsis, kami jadi bisa berkolaborasi dengan musisi lain.
Gala: Setuju!
“Buat gue idealis Hursa masih bisa diterima orang sih. Tetap ada idealismenya, ada Hursa-nya tapi bisa lo terima.”
Terakhir, karena Katarsis, gue jadi …
Gala: Gue jadi lo wawancara! [tertawa].
Pandji: Karena “Kataris”, gue jadi lebih legaan dikit sama hidup! [tertawa].
Tak perlu rumit mengambil kesan. Hursa adalah band yang penuh persiapan. Mereka memandang proses menjalankan band ini sebagai mendirikan dan mengoperasikan sebuah perusahaan. Cukup tegas. Celetukan saya lainnya adalah “Barangkali satu-satunya hal yang paling tidak disiapkan dari Hursa adalah terbentuknya kalian. Yang berjalan setelahnya sudah wajib kudu musti disiapkan”. Lagi, Gala tertawa. Tau saya mengeluarkan pernyataan hiperbola atas Pandji yang perfeksionis. Kapten yang dibutuhkan oleh tiap band. Plus, ya, peraturan paling top dari internal mereka: Selama proses kreatif Hursa, siapa yang tidak membuat lagu, diganjar hukuman denda membayar satu shift tagihan rekaman. Maju terus, Hursa!
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …