Wawancara Khusus Aldrian Risjad: Tak Bercita-cita Menjadi Rock Star
Artis Sun Eater, Aldrian Risjad merilis mini album perdana Interrobang dengan focus track —begitulah sebutannya di siaran pers— berjudul “State of Uncertainty”. Video musiknya langsung beredar di hari yang sama 10 Juli 2020 yang disutradarai Rifqi Fadhlurrahman.
Dalam album berisi total enam judul, dua puluh menit terasa singkat untuk sebuah album rock. Interrobang meluapkan hal pribadi, ketakutan, dan bisa jadi luka berat. Tiga buah single yang lebih dulu dirilis termasuk di dalamnya, yaitu “Milk Candy”, “Premature”, dan “Help You Out”.
Hal menarik dari Aldrian Risjad dan “State of Uncertainty” yang di mini album sedikit berbeda dengan audio video musik. Mastering seluruh lagi di mini album dikerjakan Wisnu Ikhsantama Wicaksana. Namun, mastering lagu untuk video musiknya dikerjakan Stephan Santoso.
Enam hari setelah Interrobang diperdengarkan, Pop Hari Ini berkesempatan berbincang santai dengan Aldrian Risjad melalui aplikasi panggilan video. Kami berbicara panjang lebar tentang perjalanan karier bermusiknya, tentang Baskara, Sun Eater dan lain sebagainya.
Awal perjalanan bermusik seorang Aldrian Risjad gimana sih?
Sebenarnya kalau awal perjalanan bermusik, yang ada jejaknya itu ketika gue kemarin rilis “Milk Candy” di bawah Sun Eater bulan Mei 2019. Cuma kalau perjananan bermusik gue dari awal banget sebenarnya, sejak gue SMP. Gue mulai main gitar, mulai nyanyi, mulai perhatiin lagu-lagu. Terus ya gue di situ mulai berlatih nyanyi serius dan kayak berpikir someday gue mau jadi penyanyi.
Kapan pertama kali manggung?
Pertama kali manggung lomba nyanyi. Dulu sempat beberapa kali ikut lomba nyanyi gitu. Ada acara Purwacaraka atau semacamnya, ada juga acara di luar. Kayaknya itu sih momen gue pertama kali manggung. Maksudnya pakai minus one, trus nyanyi sendiri di panggung. Oh sama pernah juga sih gue SMP sering sama bokap gue diajak jalan-jalan ke kafe-kafe. Nyanyi satu dua lagu. Kata bokap gue buat ngelatih mental gue gitu.
Bokap mendukung banget ya?
Iya, bokap support banget sih. Dia juga yang ngajarin gue gitar dan bisa dibilang semasa awal gue nyanyi, dia mentor gue karena awal-awal tuh gue lumayan buta nada. Jadi gue minta diajarin sama dia, “Gimana sih ‘pah caranya nyanyi di chord yang benar?” Maksudnya, yang nggak ke mana-mana. Dia sempat mentorin gue juga sebelum akhirnya gue bertemu orang lain.
Belajar musik dari bokap?
Iya selain yang diajarin di sekolah, main suling, main pianika. Dulu bokap gue alasannya gini, bokap gua agak sexist juga ya. Cuma bokap gue bilang, anak laki harus bisa main gitar. Sebagai anak SD, gue termotivasi lah .
Dulu sempat ngeband?
Sempat, gue pertama kali ngeband itu waktu gue masih SMA sama teman-teman kelas. Pas lagi acara class meeting. Berjalan 3 tahun, cover-cover tapi saat itu juga gue belum ada kepikiran buat bikin lagu sih. Gue bisa dibilang ngeband pertama kali bikin lagu pas gue kuliah di kampus gue FISIP UI. Gue waktu itu maju jadi semacam kontingen band untuk lomba band se- UI. Kelar lomba kita serius bikin lagu, 1-2 lagu cuma nggak ada kabar. Ya udah, akhirnya dari situ juga kenapa gue milih untuk jadi solois karena ngeband buat gue agak melelahkan dalam proses penulisan lagu. Susah ngumpulin anak-anaknya. Terus kalau udah ngumpul, belum tentu jadi. Di titik itu lah gue menyadari, gue lebih suka sendiri.
Gimana ceritanya gabung sama Sun Eater?
Jadi sebenarnya, Baskara (.feast, Hindia), dia kan lulusan komunikasi UI juga kan. Gue juniornya. Kita nggak ketemu di kampus karena dia lulus gue baru masuk. Cuma waktu itu gue bikin acara kampus gitu, acara seni, ada cabang musik dan muatan acaranya itu ngajarin anak-anaknya produksi musik. Kebetulan selain megang acara, gue juga ngurus hal lain. Kita ngundang Baskara sebagai alumni, buat jadi coach. Di situ gue kenal dia, bikin lagu, produksi-produksian. Setahun kemudian dia gue kontak, mau produced gue nggak. Ternyata selang beberapa bulan, dia malah ngajak gue gabung di Sun Eater. Saat itu dia baru ada konsepnya doang, tapi saat itu oke gue mau.
Itu tahun berapa?
2018 deh kayaknya, 2018 akhir.
Kenapa Sun Eater?
Karena gue nggak kenal siapa-siapa lagi, sesimpel itu. Oh, gue sempat juga ditawarin sama label bawahan production house buat TV gitu. Ternyata produksinya, timeline-nya nggak jelas dan gue ngerasa kayak di-PHP in. Jadi gue cabut aja. Gue bikin sendiri aja lah. Nggak mau tergantung sama orang. Akhirnya gue contact Baskara yang menurut gue saat itu, satu-satunya orang di industri yang dekat dan bisa gue approach.
Saat itu memang nggak ada pilihan lain?
Nggak ada.
Sebenarnya kalau nggak di Sun Eater, lo bisa independen atau lo malas ngebentuk tim?
Bisa banget. Cuma permasalahannya, gue masih clueless banget. Gue merasa butuh dikelilingi orang-orang yang support gue. Dalam songwriting aja, benar-benar clueless. Jadi dulu sering banget tuh nanya Baskara, WA random. “Bas, ini gimana sih caranya.” Pada masa itu, Baskara bisa dibilang mentor gue juga selain dia sebagai A&R Sun Eater. Cuma dia banyak ngementorin gue, ngeproduserin gue juga. Dari situ gue baru bisa merasa mandiri bikin lagu karena dulu gue benar-benar se- clueless itu bahkan dalam hal produksi sekalipun.
Lo dicampuri sampai hal musik dan penulisan lirik?
Dicampuri enggak, cuma karena yang gue cerita tadi pas awal-awal gue clueless. Gue justru yang banyak nanya. “Bas, baiknya gue ke arah mana ya. Menurut saran lo, gue fokus ke arah mana ya.” Dia kasih masukan, gue terima. Tapi tetap gue cerna juga jadi nggak mentah-mentah dia bilang gue lakuin.
Selain Baskara, banyak ngobrol sama siapa lagi?
Setelah Bas itu gue kenal mentor yang menurut gue benar-benar mentorin gue banget ada dua sih, Mas Lafa sama Bang Iga.
Hubungan sama orangtua baik-baik saja?
Kalau dibilang baik-baik aja, sekarang sudah jadi status aman. Kalau dibawa throwback, gue banyak menceritakan soal itu bukan karena kondisi present time– nya kita buruk. Tapi lebih karena ada unek-unek gue yang belum kelar aja di masa lalu. Itu ternyata masih sering keluar gitu. Ketika gue bikin lagu, somehow keluar aja unek-unek gue soal itu. Jadi kayaknya menurut gue itu harus gue angkat juga.
Sesuatu di masa lalu baru bisa diluapkan sekarang karena pada saat itu lo nggak tau mau ngomong atau melampiaskannya gimana?
Benar banget. Gitu persis. Kayak sekarang gue di posisi saat gue nulis lagu-lagu di Interrobang gue merasa stuck gitu, gue jadi nggak bisa nulis hal lain selain masalah keluarga. Jadi kenapa gue merasa harus nulis, gue udah di titik gue nggak bisa nulis yang lain lagi. Itu membebani gue dan mau gue lepas juga.
Bokap mendukung. Kalau nyokap gimana?
Dua-duanya support. Beda kadar support– nya aja. Kalo bokap support-nya full. Dia sampai sekarang ngomong, ya udah full di musik aja dulu. Nyokap gue masih setengah-setengah. Masih ngeliat ke musik bisa gue jadikan kerja, tapi masih kayak ragu juga. Apakah gue bisa? Bokap udah full. Nyokap masih butuh gue yakinkan lagi karena momentumnya baru lulus kuliah. Yah dilema-dilema cari kantor. Nyokap gue masih fifty-fifty.
Gimana mereka saat tau menjadi inspirasi bermusik?
Sejujurnya banyak di luar dugaan. Sebenarnya lagu gue yang benar-benar mengangkat dalam artian negatif, “Milk Candy” itu kan mengangkat perceraian mereka dan bagaimana itu masih menghantui hidup gue. Gue agak takut awalnya ngomong ke bokap nyokap, kalau gue nulis ini dan akan gue rilis. Cuma ternyata respon mereka di luar dugaan gue. Nyokap gue malah ketawa-tawa. Terus malah bilang, “Mamah mau di video klip dong.” Bokap gue juga santai aja. Bokap gue malah bilang, “Nah berarti Mamah dari dulu bla bla bla”. Kalau video “Help You Out”, gue tuh proses bikin video yang itu surprise. “Pah, Aldi ada manggung tanggal sekian, nanti datang ya.” Sama anak-anak Sun Eater dibikinin tiket palsu gitu, jadi bokap gue ngira ada manggung, gak taunya cuma kita berdua aja. Kelar kita ketawa-tawa gitu aja di rumah.
Intinya mereka support dan mereka merasa menjadi inspirasi, bangga lah bahwa lo udah menemukan jalan hidup lo untuk bermusik?
Mereka malah melihat gue dengan cara yang berbeda. Gue kan dulu di rumah anak santai jarang curhat. Trus tau-tau gue bikin kayak gitu. Mereka jadi kayak oh ternyata membekas ya di Aldi. Mereka jadi ngeliat gue dengan cara yang berbeda, in a good way.
Bagaimana tanggapan lo setelah mendapat komentar ‘AldrianRisjad is exactly our rockstar’ di video “State of Uncertainty?”
Sejujurnya gue nggak melihat diri gue sebagai sosok rock star. Gue nggak tau definisi rock star, mungkin bisa berbeda-beda, bisa berubah berdasarkan zaman juga. Kalau dalam definisi rock star itu rock n roll, itu gue nggak banget karena secara pribadi gue tipikal orang yang bisa dibilang nggak aneh-aneh. Gue bukan tipe orang yang suka party. Gue nggak suka berada di keramaian party. Gue merasa gue bukan party star, dalam tanda kutip gue bukan orang yang bisa menghidupkan party dan bagi gue itu definisi rock star gitu. Sedangkan gue lebih melihat musik gue, ya musik rock. Entah apa gue rock star apa bukan, Gue nggak bisa bilang juga karena gue emang nggak melihat diri gue sebagai bintang kemewahan gemerlap gitu.
Loe main perempuan nggak?
Waduh tidak dong.
Tapi perasaan lo dipermainin?
Nggak juga sih. Gue aman sih untuk urusan asmara.
Apakah seorang Aldrian Risjad bercita-cita menjadi rock star?
Gue bukan bercita-cita menjadi rock star. Tapi gue bercita-cita untuk membuktikan diri gue. Motivasi gue nyanyi itu dulu karena zaman SMP gue suka nonton ajang pencarian bakat di TV. Saat itu gue merasa, gue mau bisa nyanyi kayak gitu. Nyanyi di depan banyak orang, mungkin ribuan, mungkin jutaan, dan itu ada latar belakang balas dendam juga karena gue merasa waktu gue SD kayak bocah yang dalam artian nggak diakui keberadaannya. Dan gue merasa oh kayaknya musik bisa jadi jalan buat ngebuktiin itu. Dan juga balas dendam dalam artian, waktu SD gue benar-benar buta nada. Berapa kali gue kalau di kelas seni itu lumayan dicengin.
Lo tadi bilang di kelas seni ada yang ngecengin. Ada nggak yang akhirnya nonton lo manggung?
Teman SMP kayaknya ada deh. Jadi dulu gue tuh momen dicengin parahnya pas SMP karena SD gue belum open gitu ke orang-orang kalau gue suka nyanyi. Eh bahkan gue belum suka nyanyi deink SD. SMP gue mulai suka nyanyi. Gue sering nyanyi di sekolah, misalnya jam istirahat gue dengerin lagu pakai headset. Banyak yang ngatain, “Suara lo jelek, ngapain lo nyanyi nggak ada bakat mending lo main gitar aja.” Cuma gue batu gitu, dalam hati ‘oh gue tau kok gue bisa’. Lo aja yang nggak ngerti. Dulu gue sotoy banget. Untungnya gue sotoy sih.
Gimana pertimbangan kolaborasi sama Iga Massardi dan keterlibatan nama lainnya seperti Lafa Pratomo di mini album ini?
Kalau balik cerita awal. Gue clueless banget bikin lagu, gue di-direct Baskara saat itu. Dia nyaranin gue, “Di, kita coba pecah-pecah produser ya, misalnya lagu A ini, lagu A itu.” Cuma, gambaran saat itu nggak terealisasi, tapi justru akhirnya gue kenal sama Iga dan Lafa. Tapi intinya, kalau Iga waktu itu Baskara WA gue, “Di. Iga katanya mau nih nge- produced lo. Dia suka suara lo, dia nonton video cover lo.” Beberapa hari kemudian gue ke kantor ketemu Iga. Kenalan, kita mulai jalan. Kalau Lafa, gue sama Awan lagi bikin lagu gue yang “Premature” kan. Saat itu kita nyari-nyari, “Wan, kita mau rekaman di mana ya, siapa yang produced ya.” Gue langsung came up Lafa aja. Udah langsung ke Lafa kita. Ternyata cocok banget mereka berdua sama gue. Itu dua pertemuan yang sangat gue syukuri karena mereka sangat berkontribusi, dalam bahasa musikalnya pencarian tone gue di musik.
Tapi dengerin lagu-lagu Barasuara?
Cukup monumental sebenarnya kalau buat gue, sekitar 2016 gitu gue tuh belum ngedengerin musik-musik dalam artian musik independen yah. Dulu referensi gue kalau musik Indonesia masih benar-benar terbatas, ke musik-musik radio atau lagu lama sekalian. Barasuara jadi gerbang karena mereka salah satu band independen yang saat itu lagi hot-hotnya dan gue kena juga. Gue langsung melek gitu ternyata banyak ya band lokal yang keren.
Kalau Lafa?
Dulu gue nggak terlalu dengerin Danilla. Malah gue baru dengerin Danilla ketika dia baru rilis album kedua. Kan dia ada album lamanya, gue belum terlalu dengerin. Gue baru dengerin justru album keduanya dan ternyata gue lebih suka yang keduanya.
Terus kenapa mini album?
Karena itu lebih ke konsekuensi konsep di awal. Gue dari awal emang nggak membayangkan buat bikin album tapi di tengah perjalanan gue sempat juga apa gue jadiin album aja ya sekalian. Yang total rilis enam kan. Gue sempat ada empat draft lagu lain. Ini nggak cocok buat rilisan yang ini. Empat lagu itu nggak bisa nih dipaksain jadiin satu album sama lagu-lagu yang rilis di Interrobang. Nuansanya udah beda gitu. Gue merasa di Interrobang gue di titik maksimal gue untuk menceritakan apa yang ingin gue ceritakan. Ketika gue berusaha menulis dalam topik ranah yang sama tapi gue perluas, gue nggak dapetin getarannya lagi. Kenapa mini album? Karena buat gue ini nggak sekadar EP juga gitu. Lumayan ada benang merahnya lagu per lagu.
Apa yang spesial dari album Aldrian Risjad sampe semua orang harus dengar?
Kalau secara musikal orang-orang mesti dengerin kayaknya untuk di generasi gue yah. Kayaknya solois yang ngebawa genre rock kayak gini, baru gue aja. Maksudnya udah lama nggak ada. Kalau gue perhatiin, sepengetahuan gue yah. Gue nggak tau semua orang yang nyanyi juga. Sepengetahuan gue, solois rock terakhir ada influence banget, Ello atau mungkin generasi yang lebih tuanya.
Gue merasa eksplorasi gue di EP ini worth it untuk orang-orang dengerin karena ada berbagai macam referensi gue yang mungkin sadar nggak sadar ada di situ. “State of Uncertainty” bisa mengingatkan kalian sama lagu rock 2000-an, cuma diproduksi dengan cara 2020. Lalu ada “Milk Candy” yang rasanya modern rock banget. Bahkan ada “Premature” yang sound– nya itu garage rock. Eksplorasi gue luas juga. “Help You Out” rasa-rasa stadium rock tapi rasa Coldplay juga.
Jadi menurut gue ini eksplorasi luas untuk orang dengerin, musik rock lebih variatif. Kalau secara lirik gitu, ada beberapa teman gue yang gue kaget juga, berterima kasih udah bikin lagu ini. Gue nggak expect orang berterima kasih, gue bikin lagu cuma bikin aja gitu. Bahkan satu track terakhir “Grateful”, track voice note doang. Ini gue bukannya gue senang teman gue ada yang sedih. Cuma di sini gue sadar bahwa karya gue ada maknanya, ada pentingnya, bokapnya baru meninggal, gue bilang turut berduka. Trus dia bilang, makasih banget gue dengerin “Grateful” terus entah kenapa, dia ngerasa butuh aja dengerin “Grateful.” Saat itu gue ngerasa, gue sempat ragu gitu mau masukkin “Grateful” cuma akhirnya gue masukkin. Cuma di saat itu gue langsung mikir. oh kalau gue tau karya gue bisa se- impactful ini bisa se-ngebantu orang, gue nggak akan ragu-ragu ini untuk rilis lagu. Even “Grateful” yang cuma voice note doang. Mungkin karya ini bisa bermakna juga buat kalian yang ngerasa mengalami hal-hal serupa juga.
______
Mini album Aldrian Risjad, Interrobang sudah bisa didengarkan di layanan streaming yang tersedia.
______
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Sambut Album Perdana, Southeast Rilis Single By My Side
Band R&B asal Tangerang bernama Southeast resmi merilis single dalam tajuk “By My Side” hari Rabu (13/11). Dalam single ini, mereka mengadaptasi musik yang lebih up-beat dibandingkan karya sebelumnya. Southeast beranggotakan Fuad …
Perantaranya Luncurkan Single 1983 sebagai Tanda Cinta untuk Ayah
Setelah merilis single “This Song” pada 2022 lalu, Perantaranya asal Jakarta Utara kembali hadir dengan single baru “1983” (08/11). Kami berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan terbentuknya band ini hingga kisah yang melatarbelakangi karya terbaru …