Wawancara Khusus Capung: Terus Melangkah Bersama NOAH
Dulu saat mendengarkan lagu-lagu Peterpan, saya tidak pernah mencari tahu. Siapa yang bekerja sama dengan mereka soal penggarapan musik. Dua bulan kemarin ini, Ariel dkk muncul dengan Second Chance.
Ada satu nama yang menyita perhatian saya, yaitu Hery Cahyo Purnomo yang hadir sebagai produser musik Peterpan sejak hari pertama karier band dimulai. Orang mengenalnya sebagai Capung, gitaris band era 90an bernama Java Jive.
Ketika saya ramah dengan nomor “Kau Yang Terindah” yang dirilis Java Jive sekitar tahun 1993. Sepuluh tahun kemudian, ternyata Capung bersama Noey rekannya di Java Jive adalah musisi yang memiliki peran cukup besar di balik kesuksesan Peterpan. Bahkan Capung berkontribusi sampai hari ini.
Berbeda dengan Noey, Capung merupakan musisi yang terlibat penuh hampir di semua album Peterpan maupun NOAH, dari mulai Taman Langit (2003), Bintang di Surga (2004), Hari yang Cerah… (2007), Seperti Seharusnya (2012), Keterkaitan Keterikatan (2019), sampai program Second Chance.
Second Chance adalah tiga album pertama Peterpan yang dihadirkan dalam kemasan berbeda. Katakanlah tiga album ini jadi terdengar lebih fresh dan syukur mendapat banyak pujian dari penggemar NOAH. Terutama video musik lagu-lagu hitnya yang menampilkan banyak bintang.
Bagaimana sebenarnya awal kerjasama Capung dengan NOAH? Kami pun mendapat kesempatan berbincang dengannya hari Kamis (27/01) melalui Zoom yang dimulai dari perjalanan bermusik ia sendiri. Simak di bawah ini.
Apa kabar, Kang Capung?
Baik.
Lagi sibuk apa?
Sekarang masih menyelesaikan project-nya NOAH yang Second Chance. Ada tiga album plus ada lima lagu baru. Yang tiga album baru beres. Sekarang ini, ada rencana lima lagu baru. Lima lagu baru maksudnya aransemen baru, karena yang album itu kan konsepnya remake. Jadi, aransemen enggak boleh banyak berubah karena ada faktor orisinalitas. Kalau yang lima lagu bebas.
Bagaimana awal perjalanan bermusik Kang Capung?
Saya secara profesional tahun 1989-an bergabung sama Java Jive menggantikan almarhum Micko (Protonema). Java Jive ‘kan gitarisnya sempat ganti-ganti. Setelah saya masuk, kita mulai main di Hard Rock. Terus mulai manggung secara, kesannya profesional. Setelah manggung di Hard Rock, kita dapat tawaran untuk membuat materi sendiri. Waktu itu, labelnya masih Musica Studios di awal 1990-an.
Kita mulai belajar rekaman dan sebagainya. Di tahun 1993 album pertama Java Jive keluar. Lagu ciptaan saya ‘kan, “Kau Yang Terindah”. Kasarnya, debut lagu ciptaan saya yang pertama kali masuk ke jenjang komersil atau masuk industri. Saya belajar banyak, “Oh, bagaimana lagu itu bisa diterima oleh masyarakat atau bisa diterima di industri”.
Dari situ mulai berkembang ke album berikutnya sampai album keempat. Setelah album keempat, Java Jive semi vakum ya. Di tahun 2000-an awal, kita cuma bisa merilis single. Aku sama Noey mulai mikir. Waktu itu lagi musim band-band indie bikin kompilasi.
Oh, iya sebelumnya. Pada tahun 1994-an, saya punya materi lagu, “Selalu untuk Selamanya”. Tadinya mau dikasih ke Java Jive. Menurut Java Jive, lagunya terlalu solo. Memang betul sih, lagu itu saya ciptakan boro-boro ada pemain band di kepala saya. Waktu itu, yang kepikiran betul-betul seorang penyanyi sama piano.
Akhirnya, Fatur (vokalis Java Jive) pengin bawain lagu itu. Jadi lah album solo Fatur pertama dengan single “Selalu untuk Selamanya”. Uniknya, karena itu harus beda dengan Java Jive yang saat itu sudah rekaman. Kita minta bantuan band tetangga. Player-nya ada Yovie Widianto. Terus pemain drum dan basnya dari Protonema. Jadi, lingkupnya enggak jauh dari lingkungan band anak Bandung pada saat itu.
Dari situ saya juga belajar, konsep produksi untuk solo karena itu materi pertama saya. Enggak tau bedanya masa itu antara solo sama band, masih blur lah. Orang saya pemain band. Taunya kalau bawain lagu Top 40 kan. Ada lagu solo, ada lagu band. Jadi, enggak ada bedanya waktu itu. Cuma terasa feel-nya saja.
Setelah itu, karena Fatur dianggap sukses di tahun itu untuk lagu “Selalu untuk Selamanya”. Saya dapat tugas lagi. “Eh, bikin lagu dong untuk penyanyi yang lain”. “Oh, siapa?”. “Ini nih, penyanyinya Aquarius”. “Siapa?”. Ternyata Uthe (Ruth Sahanaya). Wah, kalau Uthe sih serius ya. Maksudnya, karena dia diva. Kalau Fatur teman sendiri, bikin lagu untuk teman. Nah, ini bikin lagu untuk diva. Rasanya, kayak waduh gimana.
Terus akhirnya saya berkolaborasi. Maksudnya, karena ini project saya sama Fatur dianggap sukses di “Selalu untuk Selamanya”. Kita berdua nge-jam lah. Ada prosesnya, proses kreatif. Di situ saya belajar bagaimana membuat lagu untuk orang lain, karena Fatur kita anggap orang sendiri. Saya mendapatkan pelajaran. Lagunya ‘kan dibawain sama Uthe. Jadi, single yang “Keliru”. Ini jadi proses belajar saya. Setelah itu berjalan dengan sendirinya.
Di tahun 2000-an, saya baru mulai belajar produksi bareng sama Noey untuk bikin kompilasi ngurus band-band baru. Maksudnya, band jenjang baru. Di situ mulai ketemu dengan band Caffeine, ketemu dengan Peterpan, ketemu dengan Letto, ketemu dengan berbagai macam band. Kebanyakan sih produksi Musica kecuali Caffeine. Sampai Vierra, sampai D’MASIV. Terus sampai akhirnya kita jadi juri A Mild Wanted kalau enggak salah. Di situ ketemu D’MASIV. Terus ada Supernova.
Begitu era itu selesai, baru sampai ke NOAH. NOAH itu kan sempat ganti produser. Setelah era “Separuh Aku”, album Seperti Seharusnya, kebayangnya NOAH itu sudah sanggup secara skill. Dari awal “Mimpi yang Sempurna” masih belajar sampai di era itu sudah ada quantum leap-lah. Mereka sudah ngerti musik dan sebagainya dan mereka mau eksplor sendiri. Bahkan, waktu itu produsernya produser U2, Steve Lillywhite. Begitu dengar Steve Lillywhite, wah keren. Saya senang.
Setelah era itu, NOAH punya PR album Keterkaitan Keterikatan yang agak terhambat. Entah proses kreatif dan proses produksinya. Saya dipanggil untuk membantu menyelesaikan. Bersyukur album itu bisa selesai, yang ada single “Wanitaku”.
Ternyata berlanjut. Mereka juga punya idealisme, yaitu lagu-lagu lama Peterpan agar bisa dibawain oleh NOAH dengan konsep semacam semi reunion. Tapi, orisinalitasnya kita masih jaga. Di album Second Chance ini, player-nya itu kebanyakan masih original. Kayak Uki gitarnya masih dipertahankan. Reza juga. Bahkan, kemarin Reza ada yang di-retake. Kebetulan Uki sudah hijrah jadi enggak bisa. Bagaimana caranya kita ngedit-ngedit si gitarnya Uki agar tetap ada di album itu.
Java Jive sempat vakum lalu di tahun 2003 dan aktif kembali sampai sekarang. Apakah kalian berencana membuat karya musik baru?
Kita masih solid, maksudnya setiap band itu ‘kan mengalami fase album pertama, album kedua, album ketiga. Biasanya, saat album ketiga. Tapi, ini berlaku pada era 1990-an. Enggak tau band sekarang. Album ketiga itu biasanya kita sudah mulai, wah karena namanya juga sudah ada star syndrome lah, ada berbagai macam.
Kita sebagai band yang sudah bisa melewati itu. Dari mulai ribut-ribut soal manajemen. Kalau zaman sekarang kayaknya ‘kan baru ribut antar vokalis, langsung pecat. Kalau kita mah sudah lewat masalah itu. Jadi, sudah kayak lebih ke band of brothers lah. Ketemu sudah nyantai. Jadi sudah, “Ayo manggung, kita seru-seru”.
Sudah bisa melewati itu dan kita bersyukur kita masih original. Maksudnya, kita masih bisa berkumpul dengan rasa yang sama dengan kita tahun 1990-an. Kita sendiri masih membuat single bareng, terakhir yang agak unik bareng sama Kang Fariz RM karena kita dulu suka banget.
Akhirnya, kita bisa jamming bareng beliau. Yang dulunya sebagai hero pada masa kecil bisa ketemu. Bahkan, mampir di studio saya. Rasanya kayak mimpi karena waktu zaman SMP saya tuh belajarnya. Kasarnya, kalau enggak ada Fariz RM. Saya enggak tertarik nge-band.
Itu yang namanya musik pop ya. Ada saling keterkaitan. Enggak usah jauh-jauh. Kayak misalnya, enggak ada Coldplay kalau enggak ada The Beatles. Enggak akan ada saya, kalau enggak ada Kang Fariz, dan lucunya saya pernah ketemu dengan Pongki Barata (Jikustik). Dia akhirnya curhat sama saya, “Kang, saya itu enggak akan jadi main band kalau enggak ada lagu ‘Buah Hati’-nya Java Jive”. Mereka bawain waktu SMA gitu. “Oh, iya ya?”. Sementara saya juga. Jadi, kita pernah bertiga di studio Musica. Ada Kang Fariz, saya sama Pongki. Kita bertiga saling tunjuk-tunjukkan. “Kalau enggak ada loe, gue enggak mau main band”. “Kalau enggak ada loe, gue enggak mau main band”. Jadi saya baru nyadar bagaimana musik pop itu saling punya pengaruh dan memengaruhi. Tapi, uniknya saya bukan penyanyi, sebagai musisi saja. Sementara Pongki gitaris dan penyanyi. Kalau Kang Fariz kan multi-instrumentalis. Kita benar-benar bisa saling melihat.
Dalam waktu dekat Java Jive ada rilisan enggak?
Kita baru saja rilis vinyl. Vinyl The Best of Java Jive. Ada vinyl kita volume 1. Jadi, itu bisa dilihat di Tokopedia, sudah ada tuh kayaknya. Dan menurut saya itu lagunya unik-unik karena itu agak-agak B-side ya. Yang dulunya enggak kepikir, “Eh iya ya ternyata ini ngeband banget ya si lagu-lagunya”. Ternyata dirilis sama Musica Studios. Ya, vinyl pertama karena mereka ada ngambil The Best sama plus lagu-lagu yang unik lah. Ada di Musica Merchandise.
Planning sih kita ada paling di era sekarang itu kan yang penting kesinambungan kayak sinetron ya. Sudah bikin ini, sudah bikin itu. Paling kita memperbaiki konten kita. Mungkin juga bikin single yang unik atau yang baru untuk Java Jive.
Perjalanan Kang Capung yang banyak diketahui orang sebagai personel Java Jive. Ceritakan saat menjadi produser atau bikin proyek bermusik lain!
Sebetulnya yang orang enggak ketahui, sebelum masuk Java Jive saya bergabung dengan beberapa band. Maksudnya, proto karier lah. Band SMA 5, saya bareng sama Armand Maulana. Sudah ada itu, sebelum Armand pindah ke Trio Libels kalau enggak salah. Sebelum itu, dia tergabung dengan band bareng sama saya namanya band SMA 5. Itu juga ada jenjang karier sampai masuk ke TVRI kalau enggak salah.
Itu juga sudah ada jenjang karier sebelum masuk Java Jive. Setelah proses Java Jive, saya sebetulnya banyak juga iseng-iseng nge-jam. Waktu itu bareng sama Icom, atau ada teman yang bikin Dunia Kecil. Itu juga sebetulnya nge-band tapi kita enggak merilis karya. Cuma senang-senang saja.
Kalau secara kreasi, saya masih suka bikin apa dengan project musik apa di luar Java Jive. Hanya buat senang-senang ya. Not commercially harus di-boost atau apa. Waktu itu saya bikin project sama The Cat. Bahkan sampai sekarang pun, saya juga bikin project di luar Java Jive. Di YouTube saya nge-remake lagu-lagu saya dulu yang enggak kepikiran secara teknologi. Sekarang saya bisa bikin sendiri di rumah project itu. Bikin itu buat seru-seruan saja.
Ada lagu-lagu Java Jive ciptaan saya yang saya remake. Lagian kalau penciptanya yang remake bebas. Kalau orang lain cover ‘kan agak-agak harus ada izin. Penciptanya sendiri bisa bebas sebagai sarana kreasi ya. Tapi, itu jadi mungkin kalau yang namanya orang secara komersil taunya Java Jive. Terus bareng sama Peterpan, NOAH karena secara komersil. Padahal di situ juga banyak, kayak kita terlibat di D’MASIV, terlibat di Vierra, kayak gitu. Cuma ya ada beberapa project yang memang harus komersial. Ada juga project yang hanya sebagai ekspresi. Kayak pelukis saja, nge-gambar saja. Iseng buat sendiri.
Bagaimana awal mula menjadi produser musik?
Saya pikir itu alami. Mungkin kalau di jenjang sekolahan kan ada yang namanya S1, S2, S3 ya. Kalau S1 Sarjana, S2 tuh mau Master, ya S3 kayak gitu. Mungkin kalau di musik tuh kalau buat aku, S1-nya itu kalau kita jadi artis atau mau jadi musisi yang punya karya lah. Kalau artis kayaknya agak terlalu ketinggian mungkin. Tapi, secara artis yang punya karya yang bisa dipertanggung jawabkan ke masyarakat. Itu S1-nya.
Kalau S2-nya mungkin sebagai jenjang berikutnya. ‘Kan kalau istilah produser itu adalah sebetulnya kayak semacam seseorang di balik layar. Maksudnya, tetap ikut berkarya dalam sebuah karya musik atau karya apapun. Itu secara alami mungkin S2-nya. Kita enggak menyentuh alat musik. Tapi, kita tetap berkarya. Mungkin S3-nya kalau pun jadi executive producer atau kelasnya sudah lebih tinggi lagi yang secara, mungkin lebih ke managerial. Tapi, saat ini saya lebih suka dan nyaman menjadi produser karena sudah hobi.
Dari SMP saya senang melihat mixer, saya senang merekam. Project pertama saya itu merekam jingle di kaset. Belajar merekam suara di tempat belajarnya, yang jadi kelincinya Armand Maulana. Merekam pakai ini, merekam pakai itu. Semenjak itu belajar. Dari dua track, terus belajar empat track, terus delapan track. Terus akhirnya masuk Musica ‘kan 24 track. Era digital sudah kayak ngawang semuanya. Tracking-nya sudah bebas. Belajar cara merekam, prinsip dasar produksi dari situ. Itu zaman SMA, di bawah tahun 1990. Mungkin sekitar 1988 – 1989.
Kapan Kang Capung mulai belajar alat musik?
Saya otodidak secara alami. Dari SMP senang main gitar. SMP tuh ada panggilan, karena saya senang cerita. Terus karena sering baca cerita. Bagaimana membuat cerita itu menjadi sebuah karya. Itu kan proses songwriting ya sebetulnya. Ya, secara alami saya senang juga bikin lagu karena saya senang mendengarkan lagu.
Mungkin waktu zaman dulu ‘kan Lionel Richie, Richard Marx. Mulai senang band rock, mulai sama Armand jadi lebih nge-rock. Dengerin Bon Jovi. Ya, macam-macam lah. Belajar nge-band itu justru bareng sama Armand di zaman SMA. Tapi, secara produksi karena saya senang studio, senang alat-alat musik itu. Belajarnya juga bareng antara main band sama cara merekam sendiri karena saya senangnya bikin sesuatu sendiri. Kayak customized gitu. Orang lain bikin rekaman. Saya mah cuma rekam sendiri dengan kaset. Ternyata, itu sarana belajar.
Lalu, menyesuaikan teknologi yang sekarang. Tools yang lama masih dipakai?
Sebenarnya, kalau boleh jujur. Proses digitalisasi ini sebetulnya ‘kan harus ada bahan dasar awal. Bahan dasar awalnya enggak jauh dari konsep analog. Sama kayak kita gambar. Gambar itu ‘kan awalnya di kertas. Sekarang kertasnya pindah ke layar komputer. Tapi, secara teknik gambar, secara teknik warna, secara teknik-teknik melukis itu ‘kan sama prinsipnya. Cuma itu kan dipindahkan ke media lain.
Jadi, sekarang ini kalau saya pikir ada perubahan media saja. Tapi secara teknis, masih sama. Sebetulnya, saya masih 1990-an. Kalau boleh jujur, produksi NOAH pun saya masih menggunakan teknik 1990-an.
Era 1990-an, menurut saya tingkat tertinggi di teknologi analog ya. Pita analog karena setelah itu sudah pindah digital ‘kan. Saya kebenaran pernah album Java Jive 1, 2, 3, 4 masih analog. Itu yang membantu saya saat ini, misalnya dalam produksi. Di telinga saya, di kepala saya. Band itu tetap saja diperlakukan secara analog walaupun medianya digital. Di komputer sendiri kan. Bangsanya mixer, bangsanya efek-efek itu semua sudah pindah ke layar komputer. Sekarang pakai laptop pun kayaknya kita sudah punya studio. Tapi, ya beruntung saya tau proses awalnya. Itu membantu secara sudut pandang bagaimana memproduksi musik secara analog.
Selain canggih, bisa efisiensi waktu juga bukan di masa sekarang?
Itu pedang bermata dua. Di lain pihak kita ada kemudahan. Misalnya gini, saat proses mixing nih. Proses mixing ‘kan zaman dulu kayak semacam sekali tembak gitu. Begitu selesai mixing, hasilnya sudah itu yang bakal keluar. Kalau di era sekarang, kita bisa ada tombol CTRL Z, ada CTRL V. Jadi dengan dua tombol itu saja sudah membedakan bahwa kita bisa mengulang mixing.
Pada zaman dulu mengulang mixing itu enggak mungkin, susah. Kita harus sewa kembali, sound-nya enggak mungkin sama. Kalau di era sekarang, kita mengulang mixing, kita bisa kembali ke posisi terakhir saat kita mixing. Itu yang membedakan. Kita sekarang bisa lebih fleksibel.
Namun, jadinya karena seniman pengin selalu sempurna. Itu membuat revisi bisa terus menerus. Misalnya, hari ini ada launching. Sudah ada produksinya, sudah selesai nih, sudah bikin clip. Ternyata dirasa kurang sempurna. Ada balance, apa backing vocal, apa yang kurang naik. Masih bisa dilakukan revisi. Padahal master itu relatif. Ada master utama terus ada versi B, versi C, ada versi akustik. Ada berbagai macam yang hanya mungkin dilakukan di digital. Kalau zaman dulu enggak bisa. Paling cuma master dan minus one. Enggak ada lagi.
Bagaimana tugas Kang Capung saat menjadi produser musik? Dan perbedaan tugas produser musik era dulu dan sekarang?
Pertama, kita harus memahami musik itu sendiri. Musiknya seperti apa? Sebelum kita bergerak ke arah producering, kita harus suka musiknya. Misalnya, saya ngerjain NOAH, ‘kan band. Saya juga sebagai pemain band bareng sama Java Jive. Jadi, saya tau. Maksudnya, konsep band seperti apa, idealismenya seperti apa. Bagaimana misalnya posisi antara lirik, lagu, vokal, dan musik. Perbandingannya seperti apa.
Di posisi saya, music director adalah pihak ketiga. Pihak pertama adalah pihak manajemen, pihak investor atau label. Pihak kedua adalah artis. Saya menjembatani antara selera band itu sendiri dan kepentingan pihak pertama secara kualitas master harus seperti apa. Karena ‘kan setiap perusahaan punya image masing-masing.
Misalnya, di label Musica standarnya seperti ini. Di Aquarius seperti ini. Kalau di Sony seperti apa. Itu kita yang harus menjembatani antara si karya dan musiknya agar masuk ke standar labelnya itu sendiri. Itu baru satu step.
Yang kedua adalah bagaimana si standar itu bisa diterima di media-media. Maksudnya, standar media sekarang adalah YouTube. Misalnya, kualitas 24 bit. Kasarnya bisa ‘mantes’ masuk ke YouTube.
Terus ketiga bisa diterima oleh telinga seluruh masyarakat mulai dari tingkat awal sampai tingkat profesional. Standar itu yang sekarang yang harus bisa saya penuhi tugasnya. Itu yang penting.
Yang keempat adalah mungkin sebagai produser musik sebagai tempat komunikasi antara karya dan si artis itu sendiri. Namanya karya semacam anak buat si seorang seniman. Si anak itu bisa macam-macam problemnya. Apa itu anaknya bandel, enggak bisa berdiri sendiri atau apa.
Karya itu kayak anak kecil. Kadang-kadang si orang tuanya itu kebingungan. “Ini gimana ya cara ngurus anak ini?”. Membuat anak ini paling tidak lulus SD sebagai patokan. Mungkin saya anggap semacam bimbingan belajar. Gimana caranya atau guru les agar si karya itu menjadi sesuatu yang diharapkan seperti orang tuanya.
Apa saja yang dibutuhkan, macam-macam karena setiap anak itu ‘kan unik. Sama setiap lagu juga unik. Setiap karya juga unik. Jadi, pendekatannya sangat-sangat spesifik. Ada karya di mana saya tugasnya cukup melihat karyanya terus bagaimana masuk standarisasi industri, selesai. Tapi, ada juga yang saya harus involve sampai ke pembuatan lirik atau masuk involve ke pembuatan lainnya karena karya itu sendiri yang harus A, B, C, D.
Selanjutnya adalah bagaimana membuat planning manajemen karya. Bagaimana membuat si anak masuk jenjang yang benar. Mulai dari, kalau karya itu kan pembuatan awal misalnya apakah melodi dan lirik. Pertanyaan basic-nya adalah melodi dan liriknya sudah benar atau belum. Kadang-kadang proses awal cukup dengan gitar dan vokal. Agak lama di situ untuk menentukan feel-nya gimana, enak atau enggak.
Kemudian baru, misalnya bikin scheduling, macam-macam kan. Apa yang harus dilakukan setelah lagu jadi? Apakah kita kerjain musiknya dulu, kita bisa kerjain workshop-nya dulu. Itu juga banyak, setiap produk atau anak tadi beda-beda. Apakah bisa sekali workshop langsung rekaman? Ada yang harus workshop-nya lama. Ada yang sampai cara inspirasi dulu di mana. Banyak problematika karena yang kita atur ini bukan kayak standar militer. Tapi, sesuatu yang abstrak, unik, dan agak sulit.
Apalagi kebetulan saya kebanyakan produksinya di musik pop. Memang bisanya musik pop sih. Dan musik pop itu sendiri saya rasa sekarang sudah ber-evolve, tempatnya sudah ke mana-mana. Kalau di zaman saya, kayak sweet modelnya. Sekarang ada namanya pop rock, ada pop jazz, ada pop fusion, ada pop indie, ada pop folk. Ada berbagai macam model yang mengacu pada intinya pop. Itu ‘kan bisa diterima. Kebetulan spesialisnya saya di band atau solo untuk yang bisa diterima di musik pop. Kesimpulannya, tugas saya bagaimana caranya saya mengantar dari titik A di mana artis itu berada saat ini sampai titik selanjutnya di mana dia punya karya bisa diterima di masyarakat.
Proses merapihkan lagu-lagu Peterpan sendiri dimulai sejak kapan sih dan bagaimana saat Kang Capung diajak untuk memproduseri lagu-lagu mereka kembali?
Awal kerja sama kembali saya sama NOAH di album Keterkaitan Keterikatan, yang ada “Wanitaku”. Saya membantu menyelesaikan proses. Tadinya, mereka mau mengerjakan sendiri. Namanya seniman. Pasti kan banyak hal, mereka juga otaknya ke mana-mana. Butuh orang kedua gitu lah. Saya ditugaskan untuk menyelesaikan.
Setelah selesai, di tengah-tengah itu ternyata si Ariel sendiri punya project konten YouTube. Dia ngerjain misalnya yang lagu “Moshimo Mata Itsuka”. Maksudnya “Mungkin Nanti” yang versi Jepang. Saya terlibat. Itu project solonya Ariel, di mana dia konsepnya main akustik. Uniknya, dia melibatkan personel Nidji juga, musiknya sudah ada waktu itu. Saya bantu menyelesaikan sebagai produser musik. Dari situ mulai tuh banyak, secara project saya banyak berhubungan dengan Ariel.
Untuk project NOAH lebih banyak ikatan emosional antara saya, Ariel sama anak-anak NOAH, anak-anak Peterpan karena awalnya sudah di situ. Kita banyak mengerjakan bareng. Jadi, lebih ke ikatan emosional daripada ikatan secara industri. Dirasa ada ikatan itu, dari Musica menunjuk saya sudah pegang aja terus. Misalnya, album yang Second Chance ini. Uniknya, si Second Chance ini project lama ya.
Mereka tuh memang sudah pengin dari dulu memperbaiki si lagu-lagu Peterpan agar kualitasnya bisa diterima. Proses rekamannya itu kalau enggak salah dari 2016 ya, master itu. Cuma di tahun terakhir. Saya rasa tahun 2021. Kita harus filing gitu karena ada tiga album dengan master yang berbagai macam berbeda dengan keunikannya.
Kita harus mulai dari awal yang paling urgent adalah mungkin kita kalau sekarang tuh lagi musim decluttering. Itu sama. Itu yang dilakukan di project NOAH. Decluttering ini juga melibatkan banyak file yang enggak kepakai. Kita melihat banyak file dari tahun 2016, mana yang harus dipakai, mana yang harus diganti. Kasarnya, dari ide awal 2016 itu, yang kepakai di tahun 2021 itu relatif cuma drumnya Reza karena faktor orisinalitas, gitarnya Uki, dan aransemen dasar.
Aransemen dasar itu adalah bagan yang mereka bikin sesuai dengan, kan kalau kita dengerin yang NOAH ini, sebetulnya kalau kita lihat bagannya sama dengan yang dulu. Paling ada perbedaan sedikit yang membedakan bahwa, “Oh ini ada aransemen baru untuk bisa diterima di era sekarang” dan itu pure ide mereka. Tugas saya di situ me-manage bagaimana agar karya itu bisa sampai selamat ke media sekarang, karena dengan berbagai macam ide itu ternyata kayak misalnya, yang banyak revisi misalnya di kibornya David. Lalu, gitarnya Lukman. Itu yang harus di-retake. Hampir semuanya itu di-retake. Dari situ kita juga, jadi kayak namanya ya remake lah. Kayak merenovasi sebuah rumah lah yang sudah dibangun dari tahun 2016.
Apa sih bedanya Second Chance dengan materi yang awal?
Secara aransemen tidak banyak berubah. Saat pengerjaan album Peterpan dulu, sudut pandangnya ‘kan berbeda. Kita ngerjain masih kaset. Paling banter CD, juga belum banyak tahun itu. Penjualan masih 90% masih kaset. Semua sudut pandang itu masih banyak di kaset. Nah, kualitas kaset sendiri ‘kan enggak lebih jauh dari MP3 ya.
Jadi, si sudut pandang kita, terus konsep produksi kita masih mengacu pada konsep kaset, CD lah paling tinggi. Pas dirasakan di masa kini rasanya kok kayak agak kosong ya. Maksudnya karena memang benar karena teknologi sudah berubah banyak. Di mana secara bitrate, secara kualitas WAV-nya itu sudah jauh. Sekarang gimana caranya si materi-materi lama dari Peterpan lebih bisa dinikmati di zaman sekarang yang headphone-nya lebih bagus, terus kualitas gadget-nya juga sudah semurah-murahnya sekarang sudah bagus, lebih bagus daripada CD. Kita berusaha menyesuaikan si konsep produksi lama di era sekarang.
Karena banyak ruang frekuensi yang kosong. Masih banyak bisa diisi. Akhirnya, banyak ide-ide baru. Misalnya, mastering terus konsep synthesizer-nya jadi bisa lebih banyak, karena zaman dulu enggak bisa. Rata-rata konsep analog terbatas, 24 track. Masa itu rata-rata masih standar 24 track. Kalau sekarang ‘kan bisa sampai ratusan. Kasarnya, benar-benar bisa layering-lah. Konsep musiknya juga bisa lebih deep.
Tapi, secara aransemen enggak berubah karena idealnya pengin memperbaiki kualitas audio saja dan aransemen-aransemen yang salah-salah, yang dulu enggak kepikiran karena pada masa itu kan kita sambil trial dan error. Kita merasa sudah benar berkarya pada saat itu. Ternyata, pas kita dengar lagi dengan kondisi sekarang. Itu ada chord yang salah atau ada yang masih bisa lebih sempurna.
Ketika dilibatkan sebagai produser untuk Peterpan dulu maupun NOAH sekarang, apa yang paling menarik dalam setiap penggarapannya bekerja sama dengan mereka?
Saya pikir, ceritanya. Saya sangat tertarik dengan si cerita secara garis besarnya. Bagaimana seorang Ariel dan teman-temannya mulai dari bermimpi sampai membuat mimpi itu jadi nyata karena itu juga ‘kan melewati karya. Saya senang mengantar dari sebuah ide sampai menjadi sesuatu yang bisa kita nikmati bersama.
Keunikannya, saya suka mimpi mereka karena mimpi mereka itu enggak jauh dengan mimpi saya. Saya juga ‘kan ngelewatin sebagai pemain band. “Oh, saya ngalamin pengin karya saya bisa didengar. Karya saya bisa diterima”. Sama saja. Saya pikir itu, kita kayak punya garis yang sama. Bagaimana membuat karya kita bisa diterima, bisa didengar oleh semua masyarakat.
Di “Menghapus Jejakmu” ada keterlibatan Rejoz (The Groove). Kolaborasi baru yang menentukan dari pihak NOAH atau ada masukan dari Kang Capung?
Kita semua saling berkomunikasi. Tidak terpisah antara music director dan pemain band. Semua keputusan harus diambil bersama. Idenya pasti dari pemain band. Ide semua pasti dari mereka. Banyak ide-ide brilian dari mereka. Tugas saya adalah melihat visibility-nya apakah itu masih ‘mantes’ apa enggak.
Yang ini memang unik. Begitu mendengar, “Oh, iya ya” karena “Menghapus Jejakmu” era dulu konsep perkusinya looping. Jadi, itu yang membedakan di era sekarang. Jadi lebih real. Makanya, itu yang dinamakan Second Chance. Melihat zaman dulu ‘kan enggak kepikiran atau waktunya enggak ada, budget-nya sulit, tekniknya masih belum bisa. Sekarang bisa di era digital.
Ingat enggak pertemuan pertama Kang Capung dengan Ariel dkk? Apakah Kang Capung saat itu memprediksi Peterpan akan sukses bekerja sama dengan Kang Capung?
Saya biasanya melihat enggak pas saat ketemu. Kebetulan saya senang merekam. Jadi saat ngerekam, ini ya mungkin keberuntungan saya sebagai produser musik. Pada saat merekam lagu pertama kali, di situ saya biasanya suka tau, “Wah ini nih lagunya”. Karena semuanya ‘kan berawal dari cerita gitu.
Saya dulu pas merekam “Selalu untuk Selamanya”, begitu dinyanyiin sama Fatur di studio. Begitu mendengar hasilnya, langsung tau ini bakal meledak. Kita ada semacam insight yang, karena kita ngerasain performance si penyanyinya dan lagunya blend dan tiba-tiba kok ada yang membuat kita, “Aduh ini terhibur”.
Dan itu sudah terjadi juga. Misalnya pas Uthe menyanyikan lagu “Keliru” gitu, “Aku cinta…”. Begitu cuma kata itu saja, kok beda banget ya dengan yang pas aku nyanyiin. Kan pencipta melodinya aku. Begitu aku nyanyiin sama dia nyanyiin. Tiba-tiba langsung blek, wah ini meledak nih. Soalnya itu ada satu momen.
Sama Ariel pun begitu. Kita tuh enggak tau lho. Waktu “Mimpi yang Sempurna” direkam di Bandung. Itu masih belum, biasa aja sebagai band jenjang awal lah. Tapi, begitu lagu “Ada Apa denganmu”, itu tuh saya rekamannya berdua gitu dengan mic yang seadanya gitu di studio saya di Bandung, studio di rumah ini. Begitu dia nyanyikan, “Ada apa denganmu…”. Begitu selesai take, itu cuma one take loh dan enggak bisa ulang. Dia enggak bisa ngulang lagi esok hari. Itu momen yang saya pikir enggak akan bisa dibayar oleh apapun karena itu cuma sekali momen dan saya bisa meihatnya langsung dan menikmatinya saat itu.
Biasanya di situ kita sudah tau. Ini pasti bakal hebat. Momen of truth karena ada sekali-kalinya saja one moment in time. Kayak sesuatu yang enggak bisa diulang, ya itu. Memang terbukti betul. Baik itu mulai dari lagu “Selalu untuk Selamanya” sampai “Ada Apa denganmu”. Dulu Rian (D’MASIV) ‘kan dituduh sebagai plagiat. Tapi, dia membuat karya justru ngebalik si tufuhan itu. Bagaimana emosi dia nyanyi dengan kondisi semacam gitu, begitu aku selesai, langsung melihat hebat nih lagu dan benar. Begitu tau, itu momen enggak bisa diulang. Jadi, yang bisa dinikmati kita berdua lah antara si penyanyi dan aku sebagai yang merekam di situ.
Berarti lagu Peterpan yang pertama digarap Kang Capung?
“Mimpi yang Sempurna”. Itu dia masih dalam kompilasi. Belum jadi apa-apa. Ternyata di antara kompilasi itu. Justru lagu “Mimpi yang Sempurna” paling menonjol dibanding lainnya.
Kalau saya sebagai pendengar merasa rekaman yang dulu malah lebih nyaman didengar daripada yang sekarang?
Itu masalah kepekaan terhadap sebuah seni. Beruntung lah bisa mendengarkan semacam itu karena memang enggak semua.
Saat ini kita rekaman itu semacam kayak kosmetik ya. Di mana bunyi kesannya kayak bagus. Tapi ada yang namanya organik dan feel. Itu yang saya bilang tadi bahwa ada satu momen yang enggak bisa diulang. Kalau secara kemasan dibikin bagus bisa. Dibikin orchestra bisa. Kalau kita bicara orisinalitas. Saya punya satu, bukan pedoman kali ya, dalam sebuah karya yang bagus itu selalu ada the bad, the good, and the ugly.
Kalau sekarang semuanya perfecto. Di era Instagram ini semuanya tuh era filter. Padahal namanya sebuah karya itu seperti hidup. Ada the bad, the good, and the ugly. Ada cool-nya the bad yang wow gitu. The good-nya ada bagusnya. Ugly-nya pun ada karena itu kalau secara, karena saya belajar dari Java Jive. Kalau dibilang, skill saya tuh sangat terbatas pada masa waktu album pertama. Main gitar saya tuh masih, enggak lah dibilang pemain virtuoso, karena saya sendiri sebagai gitaris enggak lengkap. Maksudnya, saya senang bikin program. Lebih cocoknya di produser.
Katakan lah aku jadi the ugly-nya tapi sementara the good-nya ada ini, ada itu. Tapi kalau disatukan menjadi sesuatu yang kayak hidup itu sendiri. Jadi, musik itu kan juga kayak semacam perwakilan dari suatu. Itu yang mungkin ditangkap. Beruntunglah.
Pernah enggak, merasa kalau orang yang diproduseri malah lebih sukses daripada band sendiri?
Saya pikir setiap karya punya penggemarnya masing-masing. Musik itu sendiri yang bicara. Enggak bisa disebut mana yang lebih sukses atau mana yang lebih baik karena gini. Misalnya, saya pernah ngerjain sebuah konsep musikalisasi puisi. Itu jelas kan berbeda dengan konsep pop komersial. Musikalisasi puisi, puisinya yang sudah zaman dulu. Karena saya suka ngerjainnya, itu menjadi sesuatu yang unik dan ya itu, komunitasnya cuma di kalangan sastra. Mungkin itu tidak terekspos dan memang enggak bisa diekspos terlalu lebar karena komunitas sendiri. Orang penggemarnya juga cuma di kafe ngumpul banyak. Tapi, itu juga sebuah karya.
Berbeda dengan misalnya kayak Ariel yang bisa dinikmati, maksudnya secara lagunya, musiknya. Bahkan cerita hidupnya. Jadi itu sangat berbeda. Ibaratnya, kayak kita melihat yang satu sinetron, yang satu paling cuma kayak pensi. Pensi ‘kan cuma bisa dinikmati sekali pada satu momen. Sementara kalau sinetron itu sesuatu yang bisa dinikmati terus menerus sampai hari ini. Itu prosesnya juga sangat berbeda.
Tadi Kang Capung sempat bilang musik pop. Menurut Kang Capung apa sih kesuksesan musik pop?
Kesuksesannya adalah yang paling pertama, apakah itu menjadi populer apa tidak. Terlepas dari bagus jelek sangat relatif. Tapi populer apa tidak, menghibur atau tidak. Balik lagi, setiap musik itu punya komunitasnya sendiri, punya dunianya sendiri.
Yang paling penting, bisa enggak musik itu diterima di penggemarnya di dunianya sendiri. Itu saja dulu saat ini karena ibarat musik sekarang, apalagi di era social media begini, bisa diterima di follower-nya. Terlepas itu kalau kita bandingin dengan yang lain kayak enggak bisa dibandingin.
Misalnya Instagram si A dan Instagramnya si B, itu katakan dua-duanya menjadi populer, tapi masing-masing kayak punya bahasanya sendiri. Itu yang penting. Musik itu bisa diterima di kalangannya, di follower-nya sendiri dulu.
Kapan Capung menyadari bahwa musik adalah pilihan atau jalan hidup?
Hmm kayaknya itu sudah lama banget. Waktu itu saya tinggal di Kiara Condong. Kamar saya di loteng, di atas gitu saya agak-agak terkukung. Itu zaman saya belajar bareng Armand. Cuma ada kamar, tempat tidur pendek, ada mixer kecil dan peralatan musik. Di situ saya bermimpi. Seolah-olah saya bisa merekam atau apa gitu.
Terus moment of truth-nya saat saya malam-malam sendiri. Saya suka main gitar di genteng di kamar saya di atas. Saat saya main gitar di situ dengan suara saya seadanya. Saya tuh suka ngelamun. Di saat itu ada sebuah koneksi antara saya dengan dunia mimpi dan lamunan.
Pada saat itu pasti lah kalau anak-anak suka nyanyi-nyanyi sendiri sambil main gitar ‘kan. Ini momennya adalah saya sendiri di atas genteng sambil main gitar. Saat itu saya tuh enggak nyangka. Saya main sendiri sambil setengah melamun ngeliat ke atas. Begitu saya melihat ke bawah. Ternyata ada beberapa ekor kucing sedang nonton saya. Seolah-olah kayak nonton. Padahal mereka mungkin sedang nangkring di situ. Mereka suka gitu. Ya sudah berarti ini saya suka musik. Padahal saya sedang melamun, apakah musik ini bisa diterima atau tidak.
Jadi benar-benar suatu yang pribadi di situ bahwa, “Oh kalian terhibur ya?”. Berarti saya bisa main musik padahal itu kucing bukan orang. Tapi itu yang meyakinkan. Semenjak itu aja kayak lebih semacam lebih yakin saja. Kayaknya saya ini orang musik deh. Saya tuh dari SMP suka di atas genteng kayak gitu tapi baru SMA baru kejadian kayak gitu.
Kapan manggung yang membuat Kang Capung merasa “Wah saya sudah sampai di titik ini nih”?
Setiap band pasti akan merasakan moment of truth bahwa dia sangat populer, dia sangat itu tinggi, pasti ada. Setiap personel pasti beda-beda. Kalau saya pribadi, di tahun rilisnya album Java Jive pertama terus meledak. Di situ kan mulai, bagaimana dari saya nobody menjadi somebody. Seperti orang kenal kita sebagai seorang anggota dari sebuah band.
Semua yang paling terasa adalah saat kita manggung itu betul. Saat kita manggung membawakan lagu kita sendiri dan mereka bernyanyi bersama di satu stadion. Saya pikir momen semacam itu yang membuat kita merasa, “Ya, lagu saya bisa diterima”.
Yang paling unik adalah waktu Java Jive manggung di Riau. Kebetulan kita manggung di stadion terbuka. Isinya hampir berapa ribu. Penonton segitu banyak. Java Jive basic-nya ‘kan band kafe ya. Band kafe paling seribu, dua ribu. Nyanyi bareng, kita sudah tau energinya. Nyanyi bareng itu ada koneksi. Kita bareng-bareng nyanyi bersama di sebuah tempat. Itu membuat satu koneksi energi dan bisa dinikmati.
Bayangin ini di sebuah lapangan, sekian ribu dan mereka bernyanyi bersama. Saya baru merasakan, “Oh my God, segini ya energinya”. Itu rasanya overwhelmed, bahwa melihat ternyata begitu kekuatan massa, kekuatan penonton itu sangat-sangat besar. Kalau kita peka, itu membuat pengaruh buat diri kita. Di situ baru merasa, “Oh, iya kita bisa menghibur sekian banyak orang”.
‘Kan sekarang manggung selama dua tahun ini, manggungnya enggak boleh banyak-banyak penontonnya. Kalau pun ada acara, semua harus di-swab jadi sangat terbatas. Terakhir kita manggung di sebuah acara, di tempat makan yang penontonnya sedikit. Kayak semacam kafe gitu. Tapi tetap kalau mereka bisa menikmatinya, mereka tau lagu-lagu kita dan kita nyanyi bareng. Si energi itu masih sama. Walaupun dengan tingkat, ibaratnya CC-nya lebih besar atau kecil saja. Tapi, sama-sama jalan.
Pandangan Kang Capung, band sukses tuh dinilai dari apa?
Proses. Saya sih enggak ngitung hitnya ya. Tapi prosesnya, karena yang berat itu dari sebuah band itu prosesnya, bagaimana band itu mau manggung, band itu harus bisa manggung prosesnya. Harus bisa menghibur banyak orang di panggung.
Sebelumnya itu adalah, kita punya kapabilitas untuk bisa menghibur, artinya kita punya kemampuan, bisa main gitar, bisa main bas, bisa main drum. Paling enggak, kalau penyanyi enggak fals, kalau pemain gitar enggak salah, lalau pemain bas asyik apa gimana. Jadi, ada nilai-nilai yang harus dicontreng awalnya.
Kedua, proses itu sendiri adalah setelah bisa menghibur kita harus bisa berkarya. Itu yang berat, karena berkarya itu kita harus siap lagu kita dinyanyikan sama yang ribuan tadi. Kebayang enggak sih. Kalau nanti kata-katanya jelek, itu dinyanyikan oleh ribuan orang lho. Jadi enggak bisa sembarang dalam berkarya itu. Terutama untuk dunia komersil karena pop itu yang berat pertanggungjawabannya saat kita setiap semua orang menyanyikan lagu itu, itu maksudnya benar enggak? Sesuai dengan yang dibayangkan oleh penciptanya atau tidak, seumur hidup. Tapi kalau itu benar jadi berkah lah. Jadi, proses.
Terakhir, Kang Capung sekarang ini lagi suka dengerin lagu apa?
Hmmm sekarang aku lebih banyak dengerin, aku masih secara emosional masih tetap dengerin musik 90an karena masa remajaku di situ. Mau gimana pun juga, rasa musik 90an itu the best menurut aku.
Tapi, di lain sisi teknologi sudah berubah. Jadi saya harus belajar menikmati misalnya konsep EDM, bagaimana musik itu diciptakan cukup di laptop tapi kok enak ya. Jadi, sekarang saya belajar menikmati apa saja. Bahkan saya mendengarkan yang anak saya dengerin, saya coba dengerin. “Oh, ternyata ada enaknya ya”. Idealisme boleh lah 90an. Tapi yang namanya bagus jelek sendiri relatif.
Musik sekarang bagus-bagus secara proses, secara kreasi tuh hebat-hebat. Bahkan kalau saya bilang, anak-anak sekarang tuh jauh lebih jeli daripada zamanku, Maksudnya anak-anak sekarang jauh lebih canggih. Jadi ini tinggal masalah berkarya, diterima enggak. Tapi kalau secara musik, aku ngedengerin musik 90an karena aku hidup di situ ya. Aku ngerasain panggungnya, aku ngerasain musiknya, aku ngerasain karyanya. Tapi kalau secara musik sendiri, musik tuh sampai sekarang itu sudah berkembang gitu ya. Musik tuh sudah menjadi musik TikTok. Itu masih musik. Musik jadi soundtrack social media. Pada akhirnya yang kita nilai bagaimana si seniman itu berkarya. Prosesnya benar apa enggak. Kalau benar-benar pasti asyik kok.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Band Metal Singkawang, PAIN Rilis Album Mini Perdana False Victory, Delusion of Profanity
Berjarak 2 tahun dari perilisan single “Swallowed By Reality” dan “Subliminal Message”, band metal asal Singkawang yang menamakan diri mereka Pain resmi meluncurkan album mini perdana berjudul False Victory, Delusion of Profanity November 2024. …
Ghostbuster Asal Padang Menganggap Musik sebagai Suntikan Adrenalin
Band hardcore asal Padang, Ghostbuster resmi melepas single “Insulin Adrenalin” awal Desember 2024. Ghostbuster merupakan proyek besutan Denny Dagor (bas) dan Aank (vokal) di tahun 1999. Formasinya kemudian berubah sejak Ibung (gitar) dan …