Wawancara Khusus Yovie Widianto: Kemacetan Jakarta Banyak Memberikan Inspirasi
Penulis lagu Yovie Widianto dinobatkan sebagai pencipta lagu dengan stream terbanyak di dunia, berdasarkan playlist “Written by Yovie Widianto” berisi lagu-lagu ciptaannya di layanan musik streaming Spotify.
Fakta tersebut bukan sekadar pantauan sekelebat mata, namun diterima langsung oleh manajemen Yovie dari Spotify.
Sebanyak 136 lagu ciptaan Yovie mencapai total lebih dari 500 juta pendengar di Spotify. Tiga teratas dari menghiasi daftar yaitu “Adu Rayu” hasil kolaborasinya dengan Tulus dan Glenn Fredly. Peringkat kedua, “Dengan Caraku” duet Arsy Widianto dan Brisia Jodia, serta yang terakhir yakni “Takkan Terganti” yang dibawakan Marcell.
Pencapaian ini menambah catatan prestasi yang baru setelah pada tahun 2019 lalu, Yovie berhasil menyabet lima penghargaan sekaligus meliputi Karya Produksi Terbaik, Penata Musik Pop Terbaik, Karya Produksi Kolaborasi Terbaik, Produser Rekaman Terbaik, dan Tim Produksi Suara Terbaik untuk “Adu Rayu” di Anugerah Musik Indonesia.
Kami penasaran, bagaimana seorang Yovie Widianto memaknai kesuksesannya, terutama bagaimana ia mendapatkan inspirasi dalam membuat lagu. Kemacetan Jakarta yang selama ini dianggap orang-orang bikin stres, justru menjadi sumbu yang penting bagi Yovie untuk bisa menghasilkan banyak ide. Menarik bukan?
Sekarang saja, Yovie sedang menggarap duet Arsy Widianto dan Tiara Andini di studio rekaman. Kabarnya, single baru ini bakal dirilis secara berseri. Pop Hari Ini mendapat kesempatan berbincang melalui aplikasi Zoom Meeting (29/10) di tengah kesibukannya. Mari simak di bawah ini:
Mas Yovie dinobatkan sebagai pencipta lagu dengan jumlah stream terbanyak di dunia. Bagaimana komentar Mas Yovie mengenai hal ini?
Pertama, saya bersyukur sekali, dan berterima kasih sekali atas sambutan yang luar biasa dari masyarakat musik Indonesia. Artinya, saya ‘kan orang yang lahir di eranya analog. Eranya kaset, eranya CD. Kebetulan dulu mengalami banyak hal, Alhamdulillah dapat berkah juga dari zamannya kaset meledak, kaset berapa kopi. Lalu, begitu juga dengan CD, ledakan CD. Lalu juga dengan jutaan RBT (ring back tone) sempat mengalami itu.
Nah, saya pikir di masa 10 tahun pertama, sukses, Alhamdulillah. Kita dapat pertolongan Tuhan. 20 tahun putaran keduanya, Alhamdulillah masih sukses juga dengan Yovie & Nuno dan sebagainya dengan berbagai produksi termasuk untuk Glenn Fredly, Rio Febrian, untuk banyak artis-artis yang diorbitkan pada waktu itu. Putaran ketiga dimulai dengan generasinya Raisa, Yura Yunita, sampai ke Arsy Widianto – Brisia Jodie, lalu sekarang ada Tiara Andini dan sebagainya.
Sebenarnya, keberuntungan besar buatku. Tapi yang nggak disangka itu adalah di era digital ini saya berhasil mengumpulkan begitu banyak. Nggak pernah terpikirkan sebelumnya, karena aku pikir ya sudah lah, itu sudah jadi kenangan masa lalu, kita tinggal berkarya saja.
Ternyata, sambutan terhadap karya-karya itu masih fantastis. Ya, dengan ada “Adu Rayu” ledakannya luar biasa. “Dengan Caraku”- nya Arsy-Jodie, “Rindu dalam Hati”- nya Arsy-Jodie, lalu ada “Harus Bahagia”- nya Yura Yunita, lalu ada “Terlanjur Mencinta”- nya Tiara dan Lyodra, juga Ziva Magnolya itu juga sangat fantastis.
Dan ternyata, lagu-lagu saya sebelumnya juga hasil jejak digitalnya juga luar biasa, seperti “Terlalu Cinta”- nya Rossa, lalu “Peri Cintaku”-nya Marcell, “Takkan Terganti”- nya Marcell, dan ada BCL (Bunga Citra Lestari – Red), ada banyak lagi artis, Andien dan sebagainya.
Dan di luar dugaan, ternyata jumlahnya itu konon dari Spotify saya dengar melebihi komposer-komposer di Amerika, dan di Asia yang lain-lainnya. Jadi, saya bersyukur di era pandemi ini, setidaknya nama Indonesia didengar di dunia internasional dengan pecinta musiknya, dengan karya-karya musiknya.
Untuk saya ini adalah berkah yang luar biasa, dan semoga ini menjadi sejarah yang baik buat musik Indonesia dan tentunya memberikan kebahagiaan dan kebanggaan untuk rakyat Indonesia.
Selama 37 tahun berkarya, rasanya hampir semua lagu-lagu yang diciptakan selalu bertemakan cinta. Kalau dihitung, ada berapa persen Mas yang memang berdasarkan pengalaman pribadi?
Nah itu nggak tau tuh presentasenya berapa. Yang pastinya ada dan mungkin fifty-fifty kali ya. Tapi pada dasarnya banyak juga sih lagu itu dibuat berdasarkan imajinasi belaka. Maksudnya, dari nonton film, dari baca buku, dari cerita teman-teman, dari artisnya yang bercerita tentang dirinya itu bisa menjadi sebuah inspirasi.
Jadi kalau misalnya, lagu itu ada ratusan lagu begitu. Bahkan mungkin kalau secara komposisi, saya udah sampai lebih dari ratusan, bisa ribuan, tapi yang terproduksi mungkin sekitar setengahnya. Yang lain-lainnya ada musik-musik kontemporer yang direkam secara konsep saya buat komposisi-komposisi yang memang biasanya musiknya lebih kecenderungan jazz, ada yang etnik, tapi di depan ini, ada musik etniknya saya kebetulan akan diproduksi. Jadi ini sebuah kesempatan untuk saya untuk memperdengarkan lagu-lagu saya yang tidak seperti biasanya, tidak biasa di genre industri.
Lalu, kalau mengenai cerita-ceritanya orang banyak berpikir bahwa musisi atau komposer tuh harus menyendiri, harus menjauh, itu nggak kok. Lagu-laguku banyak tercipta di kemacetan, buatnya di mobil, banyak juga di saat bertemu, di saat mepet-mepet pas mau rekaman, di halaman studio baru buat. Jadi, kebanyakan memang waktu-waktu itu adalah waktu yang sangat produktif buat saya.
Jadi, kemacetan Jakarta banyak memberikan inspirasi, memberikan waktu yang luang untuk saya untuk menulis sesuatu sebelum saya sampai ke studio.
Wah, menarik. Nah, sekarang soal proses pembuatan lagu, pastinya berbeda dulu dan sekarang. Kalau Mas Yovie punya cerita tidak, soal beradaptasi dengan teknologi yang sekarang?
Yang lucunya memang begini, saya terlahir dari pemusik-pemusik yang biasa berlatih keras sebelum rekaman. Ketika rekaman itu kalau salah harus ulang bareng-bareng. Awalnya begitu. Kalau sekarang, multi track itu sudah luar biasa, track-nya banyak, dan bisa diedit di mana saja. Jadi, memudahkan saya dalam berkarya.
Terus, kalau dulu yang analog itu ‘kan bentuknya pita dalam rekaman, kalau salah nggak bisa karena harus ulang dari awal. Kalau fals ya nggak bisa diapa-apain lagi, ya sudah memang kitanya fals, nggak bisa diganti. Kalau sekarang ‘kan teknologi begitu maju tapi tetap saja pertanggungjawaban di panggung ‘kan harus benar.
Kalau penyanyi yang benar-benar harus benar, kalau pemusik yang benar harus benar dibuktikan di panggung. Tanggung jawabnya sama saja, tetapi saya punya keberuntungan bahwa saya punya anak yang sangat pintar dalam memainkan teknologi baru itu.
Arsy tuh mengerti betul bagaimana memfasilitasi saya untuk rekaman dengan teknologi terbaru, dengan teknik-teknik terbaru. Jadi, saya tidak perlu harus semuanya mempelajari dengan detil, ada yang bisa lebih cepat di situ dan membantu saya dalam berkarya.
Jadi, kayak proses pembuatan lagu kayak di Indonesian Idol “Terlanjur Mencinta”, itu Arsy banyak turun tangan tuh dalam bentuk komposisi, sound design ketika dalam proses rekamannya. Itu membantu sekali, sama pemusik-pemusik yang bekerja sama, produser-produser saya, itu juga sangat membantu saya untuk mengakselerasi karya-karya dengan menggunakan teknologi baru.
Ini menyenangkan, karena ternyata secara praktis juga kalau saya lagi di rumah, saya bisa rekaman langsung dalam simultan dengan pemusik-pemusik yang saya temui langsung di tempatnya sendiri, di studionya sendiri. Jadi, nggak perlu saya datang ke studio, saya bisa merekam itu dengan teknologi yang begitu maju. Jadi, teknologi sangat membantu.
Kemajuan teknologi itu luar biasa tetapi dalam bermusik ada satu yang selalu sama, dan nggak pernah berubah. Mau analog, zaman pita, dan sebagainya yang tidak berubah adalah kekuatan hati dalam menulis lagu. Mau secanggih-canggihnya kita mengedit-ngedit apa, tetapi tetap saja lagu yang indah dihasilkan dari hati yang sedang indah dalam membuatnya.
Bagaimana sih Mas Yovie melihat arah musik pop Indonesia yang sekarang dan ke depannya, seperti back to 80s-90s lagi ya?
Saya turut harus bertanggung jawab sih soal itu sebenarnya, karena yang bawa-bawa ke sana kemari itu, saya tahu nih lagi kayak begini saya balikin ke mana, sekarang orang lagi begini, saya balikin lagi pergi ke mana.
Jadi, sebenarnya menyenangkan sekali bermain musik ini. Ketika kita berhasil membawa sesuatu ke dalam suatu masa tetapi orang-orang nggak sadar. Ketika saya membuat lagu ini, yang lain secara nggak sengaja, mungkin kebetulan saja saya lebih dulu sedikit gitu. Akhirnya, begitu ke luar “Dengan Caraku” dengan gaya seperti itu lalu di dalam hati, semua balik ke 80s, 90s. Itu menarik, untuk aku fenomena itu ‘kan luar biasa.
Ini menunjukkan bahwa mau alat secanggih apa, tetapi pasti kekuatan dalam komposisi itu menjadi suatu hal yang penting. Sekali lagi, itu bukan saya lebih dulu dari yang lain. Kebetulan saja mungkin saya mendapatkan format itu ada ide-ide itu. Jadi, ada juga sebuah format, tiba-tiba saya buat musik yang sangat digital sekali. Pas orang lagi ramai-ramai gitu, ya sudah ternyata “oh mulai rame banget”. Kita lari ke mana, lari ke mana.
Saya rasa sebagai suatu yang wajar, musik tuh berputar-putar juga dan nggak ada batas 80s, 90s atau 00s karena Bruno Mars juga berhasil membawa musik 80s, 90s-nya untuk menyabet banyak Grammy di Amerika, pada waktu beberapa tahun lalu ya? Ini menarik dilihat ketika “Adu Rayu”, musik yang sangat konvesional dan musiknya live, akustik sekali, dan bisa menyabet banyak penghargaan, dan meraih streaming yang luar biasa di mana-di mana. Saya rasa itu merupakan jawaban, ketika orang ramai-ramai memainkan musik digital pada saat itu.
Tapi nggak tau lah, itu apakah karena saya, atau mungkin kebetulan saja, mungkin sebenarnya momentum saja.
Lalu, bagaimana Mas Yovie menghadapi perubahan zaman serta tren di musik itu sendiri?
Perubahan zaman itu yang paling harus disiasati menurut aku pada sistem industrinya sih. Bagaimana caranya industrinya bisa melindungi para komposer, para artisnya, penyanyinya agar bisa mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan apa yang mereka lakukan.
Jadi, kadang-kadang saya banyak mendengar jeritan-jeritan para musisi yang “Kok kita dapatnya begini ya, kok dapatnya begini”, Kalau jumlah tidak terlalu banyak, terasa banget beratnya. Kalau lagi banyak saja, sebenarnya harusnya kita bisa dapatkan yang lebih apalagi kalau misalnya tidak dibajak.
Nah, sistem ini makanya harus dikembangkan, karena segala sesuatu dengan sistem yang sudah mulai online semuanya secara digital, harusnya ketika kita bisa mengecek hal-hal lain secara online, rasanya hal ini sebenarnya mudah tinggal kita mau nggak gitu dengan melaksanakan metode ini.
Dengan patokan-patokan misalnya “Oh sebenarnya komposer tuh bagiannya berapa persen, penyanyi berapa persen, industrinya berapa persen”. Itu harus terbaca dengan baik semuanya agar para stakeholder industri mengetahui “Kalau saya memproduksi lagu tuh saya harus BIP berapa ya? Modalnya harus berapa ya? Saya bisa untung berapa ya?”.
Dan, kalau ada orang yang tiba-tiba ‘meledak’ dan kaya raya seperti di Amerika sana karena lagunya ‘meledak’, rasanya kita harus mendukung sistem ini sih. Jadi sebenarnya harus didukung sistem ini untuk mengembangkan struktur pengembangan ekonomi kreatif kita. Kita harus punya big data. Memang kalau ditanya, “Wah kan nggak bisa begitu, kita kerjasama dengan pihak-pihak yang lebih kuat di luar sana, dengan super power”.
Sebenarnya, mereka juga butuh negara kita kok. Negara kita tuh punya pasar yang luar biasa. Bayangkan, jika negara lain dilarang memasarkan digital dengan potensi pasar yang luar biasa, pasti mereka juga nggak mau kehilangan. Nah, tapi kita tidak harus menekan dengan cara seperti itu, tapi dengan diskusi yang baik. “Yuk, kamu kan dapat untung dari kita, yuk kita berbagi dari ini yuk”, negosiasilah dengan sebaik mungkin, karena kita ini sudah borderless, semua kita bisa akses ke Jerman, Amerika, dengan berbisnis langsung, jadi mungkin ada baiknya kita mulai melakukan diplomasi dengan baik dalam hal ekonomi ini sehingga bisa menguntungkan negara dan rakyatnya.
Ada tantangan gak sih Mas dalam menciptakan lagu, apalagi lagu-lagu yang Mas ciptakan dibawakan oleh penyanyi dengan karakter yang berbeda-beda atau Mas punya kriteria tertentu tidak dalam memilih siapa yang pas untuk membawakannya?
Dua-duanya betul, jadi pasti saya pelajari benar karakter penyanyinya, dan juga saya benar-benar biasanya memilih sekali begitu. Oleh sebab itu, penyanyi-penyanyi yang membawakannya biasanya sudah melalui pemikiran yang dalam banget. Pemikiran yang dipelajari banget, karakter suaranya, timbrenya, gayanya. Sehingga saya berharap saya tidak punya penyanyi bertabrakan dengan karakter saya.
Lagu saya sudah pernah dibawakan, misalnya katakanlah Rossa, banyak membawakan lagu saya. Rossa dengan gayanya sudah ada. Lalu ada Raisa, lalu ada yang lain-lain, ada BCL, ada Marcell, ada Glenn Fredly almarhum, Rio Febrian, ada band-band seperti Kahitna, ada The Groove, ada macam-macam grup vokal.
Nah semua itu walaupun membawa warna saya, tapi disajikan dengan karakter yang membawa ciri khas masing-masing. Sehingga orang-orang bisa mudah mengetahui, “Oh itu Yura Yunita”, “Oh itu Yovie and Nuno”, diupayakan banget agar bisa menjaga autentisitas dari para artisnya itu sendiri.
Jadi, dijaga banget sama saya. Tapi saya mencoba mengembangkan mereka punya karakter yang kuat di jalurnya masing-masing. Itu juga dilakukan inspirator saya, seperti Quincy Jones dan David Foster. Dia punya banyak artis, banyak yang berhasil tapi gayanya berbeda-beda, warnanya beda-beda. Walaupun tetap pada warna Foster dan warna Quincy Jones, saya mengupayakan itu karena inspirasinya itu, tapi dengan cara yang sangat Indonesia pastinya.
Sekarang ini kan juga ada beberapa nama atau tim pencipta lagu hits di Indonesia. Mas sendiri menganggap mereka saingan atau malah jadi pernah kerjasama bareng, misalnya?
Sikap bermusikku yang khas adalah nggak pernah memandang punya saingan di mana-mana karena musik itu beda dengan balap lari, cepat-cepatan masuk finish yang menang. Karena, semuanya bisa indah secara bersamaan atau indah dalam momentum yang berbeda.
Jadi, saya selalu menganggap semuanya sahabat dan teman. Mungkin bisa dicek sama semua musisi yang lagi aktif, gimana hubungan saya dengan mereka. Kedekatan saya dengan Laleilmanino, misalnya. Lalu kedekatan dengan Eka Gustiwana, misalnya kedekatan juga apalagi dengan yang senior-senior.
Rasanya dari dulu saya cukup dikenal untuk tidak pernah merasa punya persaingan itu. Musisi tuh nggak pernah ada persaingan, yang bersaingnya tuh marketing– nya sama label yang jualannya, “Cepet laku, cepet laku”.
Kalau musisi semuanya, kita bisa melihat dalam beberapa waktu, Raisa bisa indah, kita juga melihat Rossa dengan waktu bersamaan bisa indah, dengan apa yang membuat mereka selalu punya kelebihan masing-masing. Jadi, semuanya bisa indah secara bersamaan atau kadang momentumnya berbeda.
Kali ini, momentumnya lagi katakanlah Tiara Andini. Tapi semuanya tidak mengurangi keindahan yang sebelumnya, tidak mengurangi keindahan Yura, tidak mengurangi keindahan Andien. Semuanya punya keindahan masing-masing.
Sekali kita berpikir bahwa kita punya rasa bersaing, di situlah mulai kita kadang-kadang ada gangguan mulai tidak kreatif karena memikirkan orang lain. Mendingan kita memikirkan karya kita sendiri. Kalaupun ada disebut persaingan, aku mencatat sebuah pengalaman bahwa kadang-kadang kita bersaing sama diri kita sendiri.
Artinya, kadang-kadang kita punya keinginan gini, kita ingin gitu, padahal nggak perlu itu. Tapi tunjukkan saja karya kamu dengan penuh ketulusan karena yang punya kekuatan adalah karya yang penuh ketulusan itu, bukan karya yang dengan niat tertentu ingin menunjukkan “Kalau saya jago piano, saya jago ini”.
Nah itu biasanya cuma jadi sebuah karya yang luar biasa keren tapi tidak berkesan. Tapi kalau karya dari hati itu bisa panjang didengar orang-orang. Misalnya, Alhamdulillah saya dapat berkahnya seperti lagu “Cantik” sampai sekarang orang gak habis-habis menyanyikan lagunya, ”Mantan Terindah” juga. Banyak lagu yang secara nggak sengaja, semua orang nyanyiin lagu itu. “Soulmate”, “Menjaga Hati”, karena itu bukan karena kehebatan saya. Tapi karena memang cintanya fans, pendengar musik untuk saya. Dan saya beruntung soal itu karena banyak pemusik yang hebat, banyak pemusik yang besar, yang keren, tapi saya punya keberuntungan disayangi karyanya oleh banyak orang dalam waktu yang cukup lama dari tahun 80an, dari mulai jaman Indonesia 6, Kahitna, saya memproduksi artis-artis saya, sampai ke masa terakhir ini, sampai penulisnya, sampai masa dari Arsy masih bayi sampai sekarang, kurang lebih begitu.
Kenapa saya selalu berulang-ulang, ini pasti bukan karena kepandaian saya. Tapi karena memang berkah itu dari Tuhan sama memang keberuntungan dengan cinta dan dari yang menyayangi lagu-lagu itu begitu banyak.
Kalau sudah punya banyak pendengar. Menurut Mas, piala penghargaan itu penting nggak sih?
Penghargaan itu sebenarnya adalah bagian titik dari pengakuan bahwa kita mencapai sesuatu. Tetapi banyak sekali teman-teman saya yang nggak dapet penghargaan tapi karyanya bagus-bagus lho. Tapi banyak orang-orang yang tidak mendapatkan penghargaan di luar sana tapi karyanya luar biasa.
Dan kalau sebagai pemusik saya melihatnya dari keindahan karya dan kebagusan itu menjadi kekuatan, bukan sebagai penghargaan. Tapi, karena kebetulan saya sudah mendapat penghargaan tingkat dunia untuk komposisi, banyaknya penghargaan dari Anugerah Musik Indonesia, juga MTV Asia, itu memang sudah di titik kita bisa mencapai sesuatu. Dan saya bersyukur dengan itu semua namun saya tidak pernah melihat bahwa musisi-musisi yang nggak mendapat penghargaan itu nggak bagus karena banyak yang sekali luar biasa bagus dan indah di negeri kita.
______
Buat yang penasaram melihat lagu-lagu apa yang sudah diciptakan oleh seorang Yovie Widianto, simak playlist khususnya Spotify.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Adrian Khalif Rilis Album Baru yang Tampilkan Single Duet bareng Bernadya
Pasca mengeluarkan dua single sekaligus bertajuk “Maling” dan “Sekarang”, Adrian Khalif melanjutkan kiprah bermusiknya lewat peluncuran album kedua berjudul Harap-harap Emas hari Jumat (27/09). Sejumlah lagu dari album mini Mr. Menawan juga masuk …
Agnez Mo Jadi Kolaborator Idol Pop Filipina, BINI
Setelah berkolaborasi dengan Jay Park di single “Party In Bali”, Agnez Mo menjadi kolaborator idol pop asal Filipina, BINI lewat perilisan single remix “Cherry On Top (BiniMo Remix)” hari Kamis (03/10). Lihat postingan …