20 Tahun Album Radja, Langkah Baru dan Wajah Baru Pop Melayu

Jun 20, 2024
radja langkah baru

Sebelum membahas album Langkah Baru milik radja kita harus menengok sejenak ke pertengahan 2000-an. Keseragaman identik dengan band-band pop Melayu yang menguasai klasemen musik pop Indonesia di pertengahan dekade 2000-an: aransemen slow rock yang mendayu-dayu dan deretan lirik yang tidak jauh dari urusan patah hati.

Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Malu-Malu Mengaku Melayu, keberadaan Peterpan dan popularitas album Bintang Di Surga menjadi bagian penting dalam serbuan pop Melayu di periode ini. Pemuda-pemuda Antapani, terutama Ariel, menjadi tolok ukur dalam hal penciptaan lagu, lirik, gaya bernyanyi, hingga attitude. Sebut saja nama-nama seperti Kangen Band, ST12 Hijau Daun, hingga D’Bagindas.

Di antara keseragaman ini, radja berani mengambil langkah berbeda lewat album Langkah Baru yang dirilis 20 tahun silam. Kehadiran album yang kemudian masuk dalam hall of fame album sejuta kopi ini menandai kehadiran gelombang kedua pop Melayu pasca-ekspansi tenaga asing negeri Jiran semacam Search, Iklim, Slam, sampai Exists.

Muncul di pertengahan tahun 2004, saat itu bintang Peterpan sedang terang-terangnya bersinar. Namun radja justru berani mengambil pendekatan berbeda dengan Ariel cs. lewat kombinasi langgam Melayu dengan eksponen rock otot-otot tua Amerika.

Butuh tiga album bagi kakak beradik Ian Kasela (vokal) dan Moldyansyah Mulyadi (gitar), serta Indra Riwayat dan Seno Aji Wibowo sebagai penjaga tempo di bass dan drum untuk benar-benar meninggalkan tapak di kancah musik populer Indonesia. Muncul di pertengahan tahun 2004, saat itu bintang Peterpan sedang terang-terangnya bersinar. Namun empat sekawan ini justru berani mengambil pendekatan berbeda dengan Ariel cs. lewat kombinasi langgam Melayu dengan eksponen rock otot-otot tua Amerika.

Tiga belas lagu di album yang dirilis oleh EMI ini mengeluarkan jejak-jejak kuat band-band pengusung adult oriented rock mulai dari Firehouse, The Goo Goo Dolls, Nickelback, dan tentu saja Creed/Alter Bridge. Ramuan ini yang membuat Langkah Baru lebih punya daya ledak. Dengan asupan suplemen isian gitar yang padat dan laju tempo yang cenderung cepat, radja menghadirkan pop Melayu yang lebih bertenaga dibandingkan sekutu-sekutunya yang sempoyongan dan letoy seperti kekurangan darah.

Di sisi lain, hal ini membuat beberapa lagu terdengar mirip. Dua hits single, “Jujur” dan “Tulus” misalnya. Sulit menyangkal pengaruh kuat “My Sacrifice” milik Creed atau “Open Your Eyes” dari Alter Bridge (hail Mark Tremonti!) di lagu besutan Ian dan Moldy ini. Juga “Manusia Biasa” dan “Butuh Waktu” yang seperti proyek daur ulang pola bangunan aransemen.

 

Dua hits single, “Jujur” dan “Tulus” misalnya. Sulit menyangkal pengaruh kuat “My Sacrifice” milik Creed atau “Open Your Eyes” dari Alter Bridge (hail Mark Tremonti!) di lagu besutan Ian dan Moldy ini. Juga “Manusia Biasa” dan “Butuh Waktu” yang seperti proyek daur ulang pola bangunan aransemen.

Namun barisan lagu lainnya punya keunikan tersendiri. “Selalu Jauh Dari Cinta” punya variasi tempo dan mood di tiap bagan yang melompat-lompat. Kita juga bisa menelusuri kepiawaian Moldy mengutip berbagai rujukan jika lagu berdurasi empat menitan itu punya daftar pustaka. Selain Tremonti, kita dapat melihat kepingan John Rzeznik (The Goo Goo Dolls) dan intro “Big Machine”-nya, setetes kadar jangly ala Gin Blossoms, sampai keisengan menjelajah tanah Inggris dengan menempatkan aksentuasi gerungan gitar ikonik Jonny Greenwood di “Creep”. Persis sebagai ancang-ancang sebelum masuk ke reff! Dan aku harus jujur padamu/Sementara dirimu dustai aku/But I’m a creep, I’m a weirdo…

Sementara “Bulan” mengedepankan penulisan lirik bercerita. Ian Kasela dan Jipeng dengan cerdik dan jenaka membuat rangkuman drama tiga babak yang singkat namun padat selama empat menit. Jika bulan Januari menjadi catatan personal Iwan Fals, mendiang Glenn Fredly, Rita Effendy, sampai GIGI; Maret begitu sentimentil bagi Slank, sampai Desember menjadi amat melankolis lewat nyanyian lirih Efek Rumah Kaca hingga Yuni Shara, maka radja merangkum semuanya sejak pertemuan pertama di bulan Januari sampai perpisahan di ujung tahun.

Kita juga bisa menelusuri kepiawaian Moldy mengutip berbagai rujukan jika lagu berdurasi empat menitan itu punya daftar pustaka. Selain Tremonti, kita dapat melihat kepingan John Rzeznik (The Goo Goo Dolls) dan intro “Big Machine”-nya, setetes kadar jangly ala Gin Blossoms, sampai keisengan menjelajah tanah Inggris dengan menempatkan aksentuasi gerungan gitar ikonik Jonny Greenwood di “Creep”

Gaya penulisan ini mengingatkan saya pada lirik-lirik bertutur seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade hingga prime Azis MS di album Ningrat. Selain itu, penampilan panggung Ian Kasela dengan kacamata hitam sebagai fashion signature menunjukkan ia bukan versi kloning gagal Armand Maulana walau secara jujur ia mengaku terinspirasi dari vokalis GIGI tersebut. Bandingkan dengan vokalis-vokalis pop Melayu lainnya yang malu-malu mencontek Ariel dan berujung tampil begitu menyedihkan.

Seperti band-band pop Melayu, dengan Langkah Barukehadiran radja mendapat kritik sebagai bentuk penurunan kualitas selera masyarakat. Namun Emma Baulch dalam artikel “Pop Melayu Vs. Pop Indonesia: New Interpretations of a Genre into the 2000” (2014) menyebutkan pelabelan pop Melayu merupakan wujud dikotomi kelas sosial kampungan-gedongan. Pop Melayu, tulis Baulch, sebetulnya merujuk penggunaan elemen vokal Melayu (cengkok) dalam produksi karya musik yang memakai instrumen musik modern ala Barat. Profesor bidang media dan komunikasi Monash University menilai penyebutan ini justru menjadi olok-olok kelas menengah metropolis yang dilakukan institusi media, entitas yang saat itu dinilai memiliki otoritas melakukan kerja-kerja kritik musik. Mirip dengan yang dialami dangdut di dekade 70-an. Pop Melayu kemudian menjadi genre yang dianggap berbeda dengan label pop Indonesia yang dipandang lebih mewakili selera kaum urban.

Stigma pop Melayu ini membuat saya enggan menebus kaset Langkah Baru, radja bersampul foto Ian Kasela dkk. Tiap denting piano dan gesekan string section Aprimela Prawidiyanti dan Ricky Surya Virgana (White Shoes & The Couples Company) memulai ratapan jujurlah padaku bila kau tak lagi cinta itu dikumandangkan di stasiun radio favorit, tangan saya secara refleks memutar kenop frekuensi. Mencari-cari lagu-lagu hits Indonesia lainnya yang lebih sophisticated biar citra diri yang tidak bagus-bagus amat ini tidak turun semakin drastis.

Seperti band-band pop Melayu, kehadiran radja mendapat kritik sebagai bentuk penurunan kualitas selera masyarakat. Namun Emma Baulch dalam artikel “Pop Melayu Vs. Pop Indonesia: New Interpretations of a Genre into the 2000” (2014) menyebutkan pelabelan pop Melayu merupakan wujud dikotomi kelas sosial kampungan-gedongan.

Setelah hampir dua dekade, saya baru menyadari jika Langkah Baru adalah wajah baru pop Melayu. Meminjam istilah penulis dan pengarsip musik Gilang “Tahu” Nugraha, saat itu mungkin cakrawala pengetahuan musik masih terbatas. “Gue ngerasa agak cringe aja dengernya. Maklum lagi getol-getolnya dengerin hardcore, punk, melodic. Jadi gue ngerasa kalo musik di luar genre itu tidak layak dengar,” kata Tahu.

Saat radja dengan Langkah Baru menguasai chart radio dan acara musik televisi, Tahu baru duduk di bangku kelas satu SMA di Bogor. Playlist hariannya seputar katalog NOFX, No Use For A Name, Saves The Day, Greenroom, Useless ID, Strungout, Rufio, sampai The Ataris. “Tapi lagu-lagu radja itu sesuatu yang tidak bisa gue hindari. Lucunya, Kris Roe frontman-nya The Ataris kalau dilihat-lihat hairdo-nya mirip Ian Kasela.”

Tahu baru benar-benar intens memutar Langkah Baru secara tidak sengaja “Gue lagi cari kaset album kompilasi KLIK! yg ada lagu “Sinar” nya Piknik tapi harganya nanggung buat dapat free ongkir. Supaya bulet akhirnya gue beli kasetnya radja ini,” ungkapnya.

Mendengarkan kembali Langkah Baru di usia kisaran tiga puluh membuat Tahu merasakan sensasi yang berbeda ketika terpapar album ini saat masih berseragam putih abu-abu. Dan ia pun jujur dan tulus mengakui semua track di album ini begitu kuat. “Catchy parah!”

Menurut Tahu kekuatan album ini adalah pilihan chord-chord gitar Moldy yang sangat alternative-rock.  “Radja itu guitar-driven banget. Seandainya corak sound yg dia pilih tidak seperti itu mungkin bakal beda. Di “Lepas Masa Laluku” kalau jeli ada semburat nuansa Weezer. Ini Moldy apa Rivers? Karakter suara Ian Kasela juga sengau-sengau grungy tapi karena notasi vokalnya ngebikin jadi tetap Melayu,” terangnya. Hanya saja produksi rekaman yang kurang maksimal membuat detail-detail ini tidak begitu kentara. “Seperti rekaman low budget,” cetus Tahu.

Mendengarkan kembali Langkah Baru milik radja di usia kisaran tiga puluh membuat Tahu merasakan sensasi yang berbeda ketika terpapar album ini saat masih berseragam putih abu-abu. ”Ada memori yang nggak sengaja tergali begitu lagu-lagu mereka main. Almarhumah nyokap lumayan suka lagu-lagu mereka sampai beli kaset bajakan split album radja sama Sheila on 7,” kata Tahu. Dan ia pun jujur dan tulus mengakui semua track di album ini begitu kuat. “Catchy parah!”

Bersisian dengan generasi Z mengikuti arahan Ian Kasela, Charly Van Houten, Faank Muttaqin, sampai Babang Tamvan. Di bawah arahan subcomandante pop Melayu ini, pemuda-pemuda yang saya taksir baru masuk usia dua puluhan ini fasih menyanyikan barisan lagu-lagu yang jadi hits saat mereka masih belum aqil baligh.

Aspek memori ini boleh jadi menjawab mengapa Tahu dan generasi seusianya kini tidak lagi malu-malu menyanyikan lagu-lagu pop Melayu. Salah satu momen penting kebangkitan pop Melayu adalah gelaran Synchronize Fest 2019 yang memajang pentolan pop Melayu mulai radja, Wali, Setia Band, sampai duet Andika dan Dodhy dari Kangen Band. Di tanah lapang Gambir Expo Kemayoran kita bisa melihat pemandangan surealis. Anak-anak gaul metropolis yang dulunya mungkin sinis dengan barisan lagu-lagu mendayu pada malam itu bernyanyi tanpa kenal henti. Bersisian dengan generasi Z mengikuti arahan Ian Kasela, Charly Van Houten, Faank Muttaqin, sampai Babang Tamvan. Di bawah arahan subcomandante pop Melayu ini, pemuda-pemuda yang saya taksir baru masuk usia dua puluhan ini fasih menyanyikan barisan lagu-lagu yang jadi hits saat mereka masih belum aqil baligh.

 

Saya menemui Ibnu Nadzir, periset budaya di Badan Riset dan Inovasi Nasional karena penasaran mengapa sesuatu yang dulu dianggap kacangan, “kitsch”, kampungan kini justru malah dirayakan. “Setiap era selalu ada perdebatan highbrow dan lowbrow. Antara produk budaya massa yang dianggap norak dan produk budaya elite yang dinilai lebih intelek,” katanya. Menurut Ibnu, jeda beberapa dekade membuat sesuatu yang dianggap murahan di eranya bisa menjadi sebuah perayaan bersama di masa kini. “Lagu-lagu radja dan band-band pop Melayu jadi semacam nostalgia generasi sebagai musik yang mewarnai masa muda.”

Menurut mahasiswa S3 Antropologi Digital University College London ini, pergeseran konsumsi musik membuat stigma dan bias kelas akhirnya lebur. Streaming memungkinkan untuk memilih berbagai lagu tanpa harus terpatok dalam kemasan album. Hal ini memungkinkan penjelajahan ke genre-genre yang sebelumnya mungkin belum terjamah. “Variasi-variasi ini menembus batas-batas genre dan mengaburkan dikotomi budaya rendah budaya tinggi di masa lalu” jelasnya. Inilah yang menurut Ibnu membuat generasi sekarang tidak punya beban untuk menikmati lagu-lagu pop Melayu. “Bisa saja pagi dengar metal, siang dangdut, dan malamnya punk. Itu possible,” tutup Ibnu.

 


Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …