20 Tahun “My Diary”, Mocca: Buku Catatan Yang Manis Dari Zaman ke Zaman

Oct 14, 2022
Mocca My Diary

Menulis tentang Mocca, bagi saya akan selalu menjadi hal personal. Kuartet awet Arina Ephipania, Riko Prayinto, Toma Pratama, dan Indra Massad yang bersama sejak 1999, sulit untuk menjadi “sekadar”. Karya-karya mereka, yang terangkum terutama di dalam tiga album awal, sejak “My Diary” hingga “Colour” menjadi lagu latar yang menemani banyak cerita dalam hidup saya.

Jika harus memilih satu di antara tiga. Pilihan saya akan condong ke Friends (2004) .Lagu-lagu di album ini, hampir seluruhnya jadi favorit. Katakanlah kolaborasi yang begitu popish antara Mocca dengan duo swedish pop, Club 8 dalam “I Would Never”, “You and Me Against The World” yang punya kesan agresif, tetapi juga manis di sisi lain, hingga “Buddy Zeus” yang begitu innocent.

Tapi tahun ini, “My Diary” punya hajat. Badut domba yang menari riang dengan seorang gadis perempuan itu genap 20 tahun sudah usianya. Jika ditilik dalam lingkup kecil, “My Diary” adalah roket yang meluncurkan nama Mocca ke belantika. Namun, lebih dari itu, dalam konteks besarnya, “My Diary” juga membuka gerbang kembalinya taji indie pop Bandung pasca-era Pure Saturday, sekaligus membuat peta baru pada lanskap kancah musik independen lokal.

Berangkat dari Itenas

Sebelum era Mocca, Riko, Arina, Toma, dan Indra, telah memiliki proyek musikal masing-masing. Riko misalnya, sempat tergabung dalam sebuah unit indie rock, Frozen Head. Mocca sendiri, mulanya tidak didapuk sebagai proyek serius. Band ini hanya diproyeksikan untuk tampil di acara inagurasi Institut Teknologi Nasional (Itenas), tempat keempatnya berkuliah. Itu terjadi pada 1999.

Dalam lingkup kecil, “My Diary” adalah roket yang meluncurkan Mocca ke belantika. Dalam konteks besar, “My Diary” juga membuka gerbang kembalinya taji indie pop Bandung pasca-era Pure Saturday, sekaligus membuat peta baru pada lanskap kancah musik independen lokal

Namun siapa sangka kalau band seasonal ini jutsru menjadi band yang membesarkan nama mereka. “Setelah main di inagurasi kami berpikir, bisa nih kayaknya jalan sama-sama,” kata Riko ketika saya wawancarai untuk Bandung Pop Darlings.

Jalan mereka untuk menjadi sebuah band yang ajeg terbilang cukup cepat. Sejak mulai aktif manggung pada 2001, sudah empat lagu yang mereka garap. “Secret Admirer” dan “Me and My Boyfriend” menjadi dua lagu awal. Disusul “Twist Me Around” dan “Life Keep on Turning” kemudian.

“Tadinya “Secret Admirer” dan “Me and My Boyfriend” jadi andalan. Dua lagu itu saja diulang-ulang. Tapi ke sininya mikir lagi, enggak mungkin dua lagu terus,” ucap Riko.

Secara bertahap, empat lagu yang selama ini dibuat dan dimainkan sebagai lagu panggung pun mulai direkam. Lagu “Me and My Boyfriend” bahkan masuk radio dan mulai jadi single hits kala itu. Mocca lantas dipertemukan dengan label rekaman independen, Fast Forward (FFWD) Records.

Berjodoh dengan label FFWD

FFWD punya usia yang sama dengan Mocca. Digagas oleh trio Helvi, Marine, dan Dxxxt, label influensial asal Bandung ini memulai debutnya sebagai label indie pop yang merilis sejumlah katalog indie pop manca negara dengan lisensi. Tiga rilisan awal FFWD adalah band indie pop Amerika, Cherry Orchard, band electropop Jepang, 800 Cherries, dan duo Swedia, Club 8.

FFWD punya usia yang sama dengan Mocca. Label influensial asal Bandung ini merilis sejumlah katalog indie pop manca negara dengan lisensi. Alasannya, setelah era Pure Saturday dan Cherry Bombshell belum ada lagi band-band pop lokal yang bagus

Kenapa band luar manca negara? Helvi berdalih, setelah era Pure Saturday dan Cherry Bombshell belum ada lagi band-band pop lokal yang bagus. “Menurut saya, enggak ada,” kata dia.

Namun kemudian Marine membawa kabar tentang Mocca. Jemi, manajer Mocca saat itu, yang juga merupakan rekan Marine dan Helvi menyodorkan demo berisi empat lagu awal Mocca. Sebagai kurator di FFWD, Helvi lantas menguji demo-demo tersebut.

“Satu lagu oke, dua lagu oke, gitu terus sampai lagu keempat. Dalam hati saya, ini yang saya cari!,” kata Helvi.

Tidak perlu waktu lama, Helvi yang begitu excited bersepakat dengan Marine untuk menemui Jemi. Mocca kemudian didaulat menjadi roster lokal pertama FFWD.

Riko punya kenangan lain tentang Mocca yang berjodoh dengan FFWD. Menurut Riko, FFWD saat itu memang sudah menarik perhatiannya karena mengambil posisi sebagai label rekaman indie pop, yang saat itu belum begitu umum.

Mocca dan FFWD mampu membesarkan nama satu sama lain. Kegigihan FFWD membuat album My Diary meledak. Sebaliknya, kesuksesan My Diary membuat  FFWD menjadi salah satu raksasa di kancah musik independen lokal

Kalau melacaknya secara kronologikal, FFWD memang bisa dianggap sebagai label indie pop pertama di Bandung. Baru satu dua tahun setelahnya, muncul label indie pop lain seperti poptastic! (2001), Marmalade (2002), dan Twilight Records serta Dear Son (2003).

Menurut Riko, ketertarikannya untuk menjadi bagian dari FFWD adalah kemampuan label ini mengambil lisensi dari rilisan-rilisan band indie pop luar negeri. Riko berpikir, jika Mocca menjadi roster FFWD, tentu label ini bisa juga merilis bandnya ke luar negeri.

“Sesederhana itu, enggak kebayang bakal sejauh ini,” kata dia.

Namun siapa sangka kalau kerjasama Mocca dan FFWD tidak pernah berjalan sederhana. Kolaborasi keduanya mampu membesarkan nama satu sama lain. Kegigihan FFWD mempromosikan “My Diary” membuat album ini meledak. Sebaliknya, kesuksesan “My Diary” pun mengembangkan peran FFWD menjadi salah satu raksasa di kancah musik independen lokal.

Mendobrak Kemapanan Industri Musik

Menurut Helvi, Mocca dengan My Diary kala itu mampu mendobrak kemapanan industri musik. Sebuah debut dari band baru, dengan lagu yang semuanya berbahasa Inggris, dirilis oleh label independen, mampu terjual 100 ribu kopi hanya dalam waktu beberapa bulan setelah rilis. Mocca bahkan bisa mengisi tangga lagu musik nasional. Kesuksesan yang menurut Helvi, belum pernah lagi dirasakan oleh labelnya.

“Enggak ada lagi (yang seperti Mocca). “My Diary” itu bikin heboh dan jadi fenomena di industri musik Indonesia,” kata Helvi.

Sangking suksesnya, banyak label arus utama yang kemudian menghampiri Mocca. Menurut Riko, Warner dan anak perusahaan Aquarius, Forte, menjadi salah dua label besar yang tergiur mengambil alih hak rilis “My Diary”.

Mocca dengan My Diary kala itu mampu mendobrak kemapanan industri musik. Band baru, lagu yang semuanya berbahasa Inggris, dirilis label independen, mampu terjual 100 ribu kopi dalam waktu beberapa bulan rilis,  bahkan bisa masuk tangga lagu musik nasional

“Itu lumayan bikin gatel juga. Tapi kami bilang, kami sudah punya label,” kata Riko menolak halus tawaran dua label besar ini.

“Saya senang mereka memang enggak aji mumpung. Sempat ditawarkan untuk isi lagu di film. Karena belum siap, ya enggak dipaksakan,” kata Helvi.

Riko menyebut, penolakan mereka pada tawaran label besar bukan tanpa alasan. Menurutnya, saat itu Mocca masih lebih merasa nyaman bergerak lewat jalur independen ketimbang arus utama. “Label yang so-called major label itu cenderung melihat kami sebagai produk. Kami belum siap untuk itu,” katanya.

Ekosistem musik Bandung yang relatif punya lingkup kecil tapi kuat juga membuat daya gedor Mocca lewat “My Diary”. Hits single “Me and My Boyfriend” misalnya langsung digarap video musiknya oleh Gustaff, Edi Khemod, dan Pumpung, tiga orang yang juga punya peran penting di kancah kreatif Bandung. Video ini mengudara di MTV, direspons positif hingga diganjar “Best Video of the Year” oleh MTV pada 2003.

Konsistensi mereka di jalur ini pula yang justru membawa band beranjak ke perjalanan yang lebih jauh lagi. Mocca mulai aktif di kancah indie pop Asia seperti keterlibatannya dalam kompilasi Fruit Records Pop Cuts (2004) di Singapura hingga ke Jepang dan Korea Selatan.

“Menolak tawaran label besar karena masih lebih merasa nyaman bergerak lewat jalur independen ketimbang arus utama. Ditambah label yang so-called major label itu cenderung melihat Mocca sebagai produk. Kami belum siap untuk itu, ” kata Riko Prayitno

“Waktu Mocca naik, heboh pisan. Animonya berkali-kali lipat dari PAS, Puppen, dan Pure Saturday,” kata Helvi.

Story-Telling Pop Band

Untuk merampungkan tulisan ini, saya jadi kembali menziarahi “My Diary”. Ingin merasakan kembali getarannya, sambil menelisik, apa yang membuat album ini berkesan.

Sejujurnya, saya baru mengikuti Mocca mulai album ketiga. Saat “My Diary” dirilis, saya masih berseragam putih merah. Namun bagian bass “Secret Admirer” sudah sering dimainkan berulang oleh abang saya lewat gitar murah di kamarnya. Sedikit banyak, ini mungkin menjadi perkenalan saya dengan Mocca.

Seingat saya, sejak saya mulai rutin menyambangi panggung Mocca, Riko, Arina, Toma, dan Indra, lebih sering mengklaim band-nya sebagai Story-Telling Pop Band. Ini mungkin tidak berlebihan karena –meski baru mengerti betul liriknya di bangku kuliah–, banyak lagu Mocca yang dibangun dari struktur lirik yang bercerita. Lagu pembuka “Once Upon A Time” saja, sudah merujuk pada kalimat mukadimah yang kerap kita temukan dalam buku dongeng berbahasa Inggris.

“Waktu Mocca naik, heboh pisan. Animonya berkali-kali lipat dari PAS, Puppen, dan Pure Saturday,” kata Helvi

Ini sekaligus menegaskan “My Diary” sebagai diary betulan bagi Mocca. “My Diary” adalah satu kisah yang utuh. Dimulai lewat kecemasan, senang tapi bingung saat menghadapi pemuja rahasia, bergombal ria dalam dalam “Twist Me Around” dan “What If”, hingga akhirnya jadian dan berpikir tak butuh lagi diary lewat “Me and My Boyfriend”.

Konflik dibangun lewat “Telephone”. Si Clark Kent yang ketika melintas membuat musim gugur serasa musim panas, justru mulai jarang berkabar. Rasa cemas pun hinggap bahkan sampai terbawa mimpi. Kecemasan ini jadi nyata. Diwakili oleh dua lagu patah hati “When the Moonlight Shine” serta “And Rain Will Fall”.

“Mocca mampu penetrasi di dua pasar sekaligus: Independen yang saat itu mulai terbentuk, dan arus utama yang memang masih besar. Kalau yang sudah tahu indie pop tentu akan mulai menyadari, ini indie pop. Sementara untuk orang yang belum tahu, ya ini tetap diakui sebagai musik yang bagus,” kata Marine dari FFWD records

Tapi setelah semua duka, toh hidup tidak berakhir saat itu juga. “Life Keeps on Turning” lantas menutup “My Diary” sebagai “the final story”. Sebuah debut album yang dikonsep begitu baik oleh semua orang di belakangnya.

Saat saya mewawancarai Marine untuk Bandung Pop Darlings, Marine menyebut salah satu kekuatan Mocca, di samping aransemennya yang ringan dan relatif mudah didengar, adalah kemampuan Arina dalam menulis lirik Bahasa Inggris dan menyanyikannya dengan fasih. Lewat ini, Mocca mampu penetrasi di dua pasar sekaligus: Independen yang saat itu mulai terbentuk, dan arus utama yang memang masih besar. “Kalau yang sudah tahu indie pop tentu akan mulai menyadari, ini indie pop. Sementara untuk orang yang belum tahu, ya ini tetap diakui sebagai musik yang bagus,” kata dia.

Ya, “My Diary” memang layak disebut sebagai salah satu yang terbaik dari Mocca. Dua puluh tahun sudah, 11 treknya bukan hanya menjadi lagu latar bagi satu generasi, tetapi sudah menjadi legasi bagi generasi yang lain. Sebuah buku catatan yang manis dari zaman ke zaman.

 

Penulis
Irfan Popish
Irfan Muhammad adalah jurnalis asal Bandung yang gemar musik. Sejak tiga tahun terakhir dia bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

Eksplor konten lain Pophariini

Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)

Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …