5 Band Indonesia Tanpa Bassist

Aug 27, 2022

Umumnya, band konvensional terdiri dari format klasik: dua gitaris, satu bassist , satu  drummer dan satu vokalis yang juga kadang merangkap gitar rhythm. Format ini sudah dilakoni oleh banyak band legendaris dunia, dari The Beatles, Rolling Stones sampai di Indonesia dari Koes Plus atau Panbers dan masih banyak lagi.

Perkembangan tren musik yang dinamis menyebabkan banyak modifikasi teknis, salah satunya adalah format line up personil. Kita lihat band seperti Green Day atau Nirvana dengan 3 format (bass, gitar merangkap vokal, drum) sebagai penerus dari band-band enampuluhan yang ada seperti The Jimi Hendrix Experience dan Cream.

Perkembangan musik di Indonesia juga menemukan kondisi yang menarik. Di era 70-an, kita mengenal Guruh Gypsy, band rock progresif dengan format yang super kompleks: vokal, drum, bass, synthesizer, piano/organ, gitar dan gamelan. Kemudian ada band seperti The Rollies dengan format ‘brass-band’ ramai yang terdiri dari keyboard, saksofon, trombon, gitar, drum, bass dan trumpet.

Jika kita lihat pola-pola formasi band konvensional, peran bass sebagai instrumen sangat penting. Hampir semua dari band Indonesia dalam semua dasawarsa hadir dengan bass sebagai elemen dasar dari keutuhan sebuah band, seperti layaknya gitar.

Meski demikian, ternyata ada juga band yang punya pandangan berbeda soal instrumen yang satu ini. Meski mereka menganggap penting frekuensi suara bass, namun beberapa band hadir meniadakan unsur bass secara fisik sebagai sebuah instrumen.

Pophariini merangkum beberapa band yang muncul tanpa menghadirkan bass secara fisik sebagai sebuah instrumen ke dalam lini musiknya.

 

Scaller

 

Scaller adalah duo yang digawangi oleh Stella Gareth (synthesizer) dan Reney Karamoy (gitar) yang eksis membawakan lagu-lagu alternatif rock dengan pendekatan eksperimental. Untuk live, mereka biasanya tampil dengan menambah drum sebagai unsur ritmis. Frekuensi bass dimainkan Stella hanya lewat synthesizer. Somehow, ini menjadikan kekuatan dan keunikan mereka di atas panggung.

 

Hursa

Pendekatan progresif juga dilakukan oleh band yang digawangi Gala (vokal, kibor), Pandji (gitar), Goldy (drum), dan Irvan (synthesizer). Untuk jenis musik kompleks yang mereka mainkan, mereka meyakini bahwa bass dalam bentuk fisik tak berpengaruh secara besar sehingga kehadirannya bisa digantikan oleh frekuensi rendah di synthesizer.

 

Batavia Collective

Batavia Collective. Band yang digawangi Elza Zulham pada drum, Doni Joesran di keyboard, serta Kenny Gabriel memainkan bass synth dikenal sebagai grup yang memadukan ragam genre – terutama jazz dan pengaruh musik house, hip hop, soul – ke dalam sebuah aransemen musik yang intensif.  Jika disimak baik-baik saja, sebetulnya peran bass secara fisik bisa dengan mudah dipakai dalam setiap komposisi mereka, namun entah mengapa frekuensi bass synthesizer justru terdengar lebih menarik ketika dileburkan bersama instrumen lain.

 

Normatif

Musik rock dengan tidak memakai instrumen bass sebagai pendukungnya sepertinya adalah mustahil. Namun nyatanya anggapan ini dipatahkan oleh duo yang hanya beranggotakan Adri (gitar) dan Ical (vokal) saja. Mereka mungkin bisa saja menambahkan pemaian bass ke dalam jajaran musisi additional selain dari backing vocal dan drum, namun mereka justru memilih menambahkan synthesizer yang juga mengatur sampling music ke dalam format live mereka.

 

Matajiwa

Duo yang digawangi oleh Anda Perdana (gitar) dan Reza Achman (drum) melengkapi daftar band yang tak memasukkan instrumen bass secara fisik ke dalam lini musik mereka. Jujur, saya sendiri awalnya bertanya-tanya darimana asal frekuensi bass yang terdengar dalam setiap penampilan live mereka. Namun, jawabannya ada kepada pedalboard yang dikendalikan Anda lewat gitar akustiknya. Kelihaiannya dalam mengendalikan setiap frekuensi gitarnya, kemudian mensikronisasikan dengan timing beryanyi dan kekompakannya dengan beat drum menjadikan band ini terdengar kompleks.

___

Penulis
David Silvianus
Mahasiswa tehnik nuklir; fans berat Big Star, Sayur Oyong dan Liem Swie King. Bercita-cita menulis buku tentang budi daya suplir

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …